Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dalam Pusaran Tuduhan

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah ruang besar di Wisma Kyoei Prince, Jakarta, Letnan Jenderal (Purn.) Djadja Suparman kini berkantor. Ruangan itu berbentuk L, didesain dengan gaya Jepang lengkap dengan panil-panilnya. Dari ruang itu tampak panorama keramaian lalu lintas di sepanjang Jalan Sudirman.

Bendera Merah-Putih dipasang berdampingan dengan Hinomaru, diletakkan tepat di samping kanan meja kerja-nya. Sebuah foto ukuran besar, Djadja mengenakan seragam militer dengan tiga bintang di pundak, dipajang di dinding.

Djadja sekarang menjadi petinggi di Hasana KCV, sebuah perusahaan patungan dengan investor Jepang. Perusahaan ini bergerak di berbagai bidang, dari wiraniaga hingga teknologi informasi. ”Sejam setelah pensiun, saya mulai berkantor di sini,” katanya.

Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu menerima Tempo—yang datang tanpa membuat janji—dengan ramah, Kamis pekan lalu. Ia banyak memberikan pandangannya soal situasi politik saat ini. Namun, ia menolak ketika dimintai komentar atas kisruh pengalihan tanah Kodam untuk proyek tol Surabaya- yang diungkapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Djoko Susilo, dua pekan lalu.

Bapak tiga anak itu ini memang dikenal akrab dengan kalangan pers. Namun, ia selalu menghindari polemik di media massa. Apalagi, untuk kasus-kasus yang dikaitkan dengan namanya.

Tujuh tahun lalu, Djadja dituding terlibat dugaan korupsi di Kostrad. Saat itu, ia pun menolak memberi tanggapan. Padahal, karena tuduhan ini, ia dicopot dari Panglima kesatuan elite baret hijau itu. Belakangan, Inspektorat Jenderal Angkatan Darat yang menyelidiki dugaan itu menyatakan ia bersih dari tuduhan.

Sepanjang karier militernya, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 11 Desember 1949, itu menghabiskan banyak waktunya di lapangan. Lulus Akademi Angkatan Bersenjata pada 1972, ia menjadi Komandan Peleton Kompi A Infanteri 521. Enam tahun kemudian, ia memimpin Batalion Infanteri 507/BS Surabaya.

Setelah menjabat Wakil Asisten Operasi Kasdam Brawijaya dan Komandan Brigif 12/I Kostrad, ia ditarik ke Kodam Jaya sebagai Asisten Teritorial pada 1994. Jabatan kolonel itu ia peroleh saat Kodam Jaya dipimpin Mayor Jenderal Wiranto.

Kariernya terus bersinar. Bintang satu ia raih saat di-angkat menjadi Kepala Staf Kodam I Sriwijaya pada 1996. Se-tahun kemudian, dua bintang di pundak terpasang ketika- ia dipromosikan menjadi Pangdam Brawijaya.

Tak genap setahun, ia digeser menjadi Pangdam Jaya. Saat itu ia harus menangani masalah keamanan yang terjadi di Ibu Kota, di antaranya aksi massa besar-besaran saat digelar Sidang Istimewa MPR 1998. Ia pula yang memimpin Kodam Jaya saat Pemilihan Umum 1999, dan kemudian Sidang Umum MPR 1999, yang menaikkan Abdurrahman Wahid menjadi presiden.

Pada Oktober 1999, ia pun dipromosikan menjadi Panglima Kostrad. Namun, tak sampai setengah tahun, jabatan itu harus ia serahkan ke penggantinya, almarhum Letjen Agus Wirahadikusumah. Djadja selanjutnya menjadi Sekolah Staf dan Komando TNI. Tiga tahun di sana, ia digeser menjadi Inspektur Jenderal TNI. Inilah jabatan yang ia pegang hingga pensiun, awal tahun ini.

BSA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus