Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jembatan layang di kawasan -Bun-daran Waru, jalur utama menuju Surabaya, Jawa Timur, itu telantar. Bangunannya sudah berdiri, tapi jalan yang seharusnya tersam-bung dengan jembatan itu masih be-rupa gundukan-gundukan tanah. Ilalang tumbuh subur di sana-sini.
Delapan tahun lalu, jembatan itu mulai dibangun di atas tanah milik Koman-do Daerah Militer V Brawijaya. Inilah- awal pembangunan proyek jalan tol Sim-pang Susun Waru-Tanjung Perak sepanjang 26 kilometer. Rencananya, jalan ini akan disambung dengan Tol Ling-kar- Timur Surabaya dan terangkai de-ngan- Jembatan Suramadu, yang meng-hubungkan Surabaya dengan Madura.
Semula proyek ini berjalan lancar, tapi akhirnya dihentikan karena ada persoal-an pembebasan tanah yang belum beres. Hal ini diungkap oleh anggota Komisi Pertahanan di DPR, Selasa pekan lalu. Dalam rapat dengan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal- Djoko Santoso itu, dia mempertanyakan penggunaan dana Rp 17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada, pelaksana- proyek tol Simpang Susun-Tanjung Perak itu.
Duit telah diberikan kepada Kodam Brawijaya pada 1988 untuk kompensasi- pengalihan hak atas tanah tersebut, tapi hingga sekarang tanah itu belum juga menjadi milik Citra Marga. Diduga penggunaan dana itu tidak transparan. Berdasarkan data dari sumber tepercaya, Djoko menjelaskan adanya Rp 13 miliar- dari dana itu tak jelas pertanggung-jawabannya. ”Apakah sudah ada audit untuk proyek ini?” tanyanya.
Jenderal Djoko Santoso mengaku belum paham mengenai persoalan itu dan berjanji akan mengeceknya. ”Itu urusan Kodam Brawijaya dan Cipta Marga, belum sampai ke kami,” katanya.
Masalah ini sebenarnya sudah di-endus- Markas Besar Angkatan Darat sejak akhir tahun lalu. Berdasarkan pene-lusuran Tempo, tim dari Inspektorat Jenderal AD bahkan telah dikirim ke Surabaya untuk menyelidikinya. Hasilnya, tim merekomendasikan kepada KSAD untuk mengusut dana yang tidak jelas itu.
Menurut sumber Tempo, petinggi Ang-katan Darat memilih sikap berhati-hati karena kasus ini melibatkan Letnan Jenderal (Purn.) Djadja Suparman. Ketika menjadi Panglima Kodam Brawijaya, dialah yang menandatangani beri-ta acara pengalihan hak pakai tanah untuk proyek tol Waru-Tanjung Perak.
Proyek itu memang melintasi 8,82 -hektare tanah milik Kodam, yang berada di belakang Markas Korem Bhaskara- Jaya, Surabaya. Kodam telah setuju menghibahkan tanah yang mereka kuasai. Proses administrasinya juga sudah diurus. Kodam mengirim surat per-mohonan izin penghibahan tanah kepada Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, KSAD kala itu,
Subagyo pun setuju. Sesuai dengan prosedur, persetujuan ini seharusnya dipakai untuk mengurus izin ke tingkat yang lebih tinggi: Panglima TNI, Menteri Pertahanan, dan Menteri Keuang-an. Meski prosedur itu belum dilalui, belakangan diketahui proses penyerahan tanah telah dilakukan. Pada 30 April 1998, Jenderal Djadja menandatangani be-rita acara hibah bernomor 06/8A-CMNP/IV/1998 bersama Eko Yuwono, pe-mimpin proyek tol Waru-Tanjung Perak, dan Benny Hakim Setiawan, kuasa hukum Citra Marga.
Di situ disebutkan, Jenderal Djadja menghibahkan tanah hak pakai Kodam di Dukuh Menanggal, Kecamatan Gayungan, Surabaya, kepada Direktorat Jenderal Bina Marga. Tanah ini, tertulis- dalam berita acara itu, akan dipakai- -untuk tol yang pembangunannya dilakukan Citra Marga.
Meski ditulis sebagai hibah, peng-alih-an tanah itu lebih mirip tukar guling. -Itu karena Citra Marga ternyata juga memberi kompensasi kepada Kodam. Bentuk-nya berupa penyerahan 20 hektare tanah- di Pasrepan, Kabupaten Pasuruan, pembangunan dua lantai Markas Kodam, pem-bangunan Mess Perwakilan Kodam di Jakarta, pembangunan kantor Yayasan Kartika Jaya, rehabilitasi gedung Markas Kodam, rehabilitasi asrama Kompi C Tuban, rehabilitasi kantor Ketua Persit Kodam, dan pembangunan pagar Balai Kartika.
Pengalihan status tanah itu seolah-olah beres. Djadja pun kemudian meninggalkan pos Pangdam Brawijaya. Ia menjadi Pangdam Jaya. Setahun kemudian, ia pun dipromosikan menjadi Pang-lima Komando Cadangan Strate-gis Angkatan Darat. Setelah itu ia digeser menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI. Jabatan terakhir- sebelum- ia pensiun, awal tahun ini, adalah Inspektur Jenderal TNI.
Menjelang Djadja pensiun itu, Inspek-torat Jenderal Angkatan Darat ternyata sedang menyelidiki perjanjian hibah tanah Kodam Brawijaya. Penyebabnya, kuasa hukum Citra Marga menagih hak pakai tanah yang belum juga dilepaskan oleh Kodam Brawijaya.
Menurut sumber Tempo, kepada tim dari Inspektorat Jenderal yang menyelidiki kisruh tanah itu, manajemen Citra Marga buka kartu. Mereka menunjukkan berita acara hibah dengan nomor dan tanggal yang sama, tapi berbeda isinya.
Perbedaan isinya ada pada bentuk kompensasi dari Citra Marga. Pada perjanjian ”resmi” disebutkan bahwa per-usahaan itu menyerahkan tanah di Pasuruan hingga pembangunan pagar Balai Kartika. Tapi pada berita acara hibah yang disimpan Citra Marga, ber-bagai kompensasi itu diganti dengan uang Rp 17,64 miliar. Padahal, perjanjian ini ditandatangani orang yang sama: Djadja Suparman, Eko Yuwono, plus Benny Hakim sebagai saksi.
Melihat kejanggalan ini, tim Inspek-torat Jenderal terus bergerak. Kolonel (Purn.) Maskup, Kepala Zeni Kodam Brawijaya saat itu, pun dimintai kete-rangan. Maskup membenarkan adanya pembelian tanah di Pasuruan, pemba-ngunan dua lantai markas Kodam, dan berbagai kompensasi yang tercantum pada berita acara hibah versi pertama.
Tapi, menurut Maskup, total uang yang dikeluarkan untuk semua keperlu-an itu hanya Rp 4,3 miliar. Maskup memberikan perincian pengeluaran uang untuk semua bentuk kompensasi itu dalam tulisan tangan, yang ia tanda tangani pada September tahun lalu.
Dari penelusuran Tempo, catatan Maskup itu cukup valid. Untuk tanah seluas 20 hektare di Pasuruan, misalnya, ia menulis dibeli Rp 606 juta. Ketika dicek ke penduduk setempat, delapan tahun lalu harga tanah di daerah itu memang berkisar pada Rp 2.000–4.000 per meter persegi.
Tanah kompensasi yang kini milik Kodam itu dibelah oleh jalan beraspal rusak. Di setiap pojok ditancapkan sebuah pal batas dari beton bertulisan ”DAM V”. Hamparan tebu tumbuh di atasnya. Sejak tiga tahun lalu, tanah ini memang disewa Pabrik Gula Kedawung. ”Pada 1998, Kodam membeli tanah ini melalui perantara,” kata Sujoko, Sekretaris Desa Pasrepan.
Jika semua keterangan Maskup itu benar, artinya ada Rp 13,34 miliar dari Citra Marga tak jelas rimbanya. Untuk itu, ”Kami menyarankan agar diada-kan pengusutan terhadap dana yang belum dapat dipertanggungjawabkan itu,” demikian tertulis dalam surat dari Inspek-torat Jenderal Markas Besar Angkatan Darat kepada KSAD Djoko Santoso, akhir tahun lalu, yang salinannya diperoleh Tempo.
Benny Hakim Setiawan yang ikut me-nandatangani berita acara hibah menga-takan, semua proses pemindahan aset Kodam itu diatur oleh Kodam Brawijaya. ”Citra Marga hanya pelaksana proyek. Jadi, tanyakan saja ke Kodam.”
Juru bicara Kodam Brawijaya, Letnan- Kolonel Bambang Sulistiyono, me-ngatakan, institusinya belum meng-ambil keputusan apa pun atas kasus ini. ”Pemindahan aset ini terjadi delapan tahun lalu. Kami masih mempelajari -kasus ini,” katanya.
Adapun Jenderal Djoko Santoso -menganggap kisruh tanah ini hanya masalah administrasi yang belum selesai. Kepada wartawan pekan lalu ia menyatakan kasus ini sedang diselidiki- -Kodam Brawijaya. Ditanya apakah- -Dja-dja akan dimintai keterangan, ia men-jawab diplomatis: ”Itu urusan Kodam.”
Djadja Suparman yang kini berkantor di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, menolak berkomentar apa pun terhadap kasus ini. ”Semua sudah dijawab KSAD di DPR,” katanya.
Namun, seorang sumber yang dekat dengan Djadja menyatakan, berita acara hibah versi kedua yang mencantumkan kompensasi dalam bentuk uang itu palsu. Ia pun menuduh pengungkap-an masalah tanah yang melibatkan mantan Panglima Kostrad itu bermuat-an politik. Sumber itu menyatakan, -Djadja di-anggap masih memiliki kekuat-an politik. ”Jadi, dia terus dipojokkan mes-kipun sudah pensiun,” sang sumber menambahkan.
Benarkah? Djoko Susilo yang membuka kasus ini di DPR menjawab: ”Lha wong saya memang politikus kok. Pak Djadja harus memberi klarifikasi atas kasus ini dong.…”
Budi Setyarso, Ami Afriatni, Nur Aini, Sunudyantoro (Surabaya), Bibin Bintariadi (Pasuruan)
Dari Surabaya ke Senayan
1998
16 Februari: Kodam Brawijaya mengajukan izin kepada Kepala Staf Angkatan Darat guna menghibahkan tanah untuk proyek tol Waru, Surabaya.
30 April: Mayjen Djadja Suparman, Eko Yuwono (pemimpin proyek), dan Benny Hakim Setiawan (kuasa hukum) menandatangani berita acara penyerahan bantuan dana dari PT Citra Marga Nusaphala Persada kepada Kodam Brawijaya. Belakangan diketahui adanya berita acara dengan nomor dan tanggal yang sama, tetapi berbeda isinya.
Juli: Djadja digeser menjadi Panglima Kodam Jaya.
2005
Maret: Jenderal Djoko Santoso dilantik menjadi KSAD, menggantikan Jenderal Ryamizard Ryacudu.
September: Markas Besar Angkatan Darat melihat ketidakberesan pengalihan tanah Kodam Brawijaya yang dilakukan Djadja.
28 September: Tim Angkatan Darat meminta keterangan Kolonel (Purn.) Maskup, Kepala Zeni Kodam Brawijaya, yang menangani pengerjaan berbagai kompensasi dari Citra Marga. Ia membuat pernyataan tertulis bahwa nilai pengerjaan yang ditangani hanya Rp 4,3 miliar—jauh di bawah nilai uang yang diberikan Citra Marga Rp 17,6 miliar seperti tertulis di berita acara hibah.
31 Oktober: Kuasa hukum Citra Marga mengirim surat ke KSAD. Isinya, meminta perlindungan hukum karena tanah milik Kodam Brawijaya belum juga dilepaskan kepada Bina Marga melalui Citra Marga.
2006
13 Juni: Anggota DPR Djoko Susilo membuka kisruh pengalihan tanah Kodam Brawijaya ini saat rapat Komisi Pertahanan DPR dengan KSAD Djoko Santoso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo