Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hujan deras sudah tiga hari tak berhenti di Desa Biring Ere, Sinjai Utara, Sulawesi Selatan. Senin malam pekan lalu, air merayap cepat di kaki rumah panggung milik Surati yang berada di bantaran Sungai Bua. Janda 48 tahun ini semula tenang-tenang saja. Air su-ngai memang biasa menggenangi lantai rumah kayunya saat turun hujan.
Lama-kelamaan, Surati panik. Air ber-campur sampah terus membubung: satu meter, dua meter, dan tak juga berhenti. Bersama empat anaknya, Jukilah, Dahliah, Syahril, Kasma, serta seorang sepupu yang tinggal bersama mereka, ia buru-buru keluar rumah melalui jendela. Mereka naik ke atap.
Hujan terus tumpah. Suara air gemu-ruh terasa semakin dekat menjelang di-ni hari. Tiba-tiba, gulungan air seperti- menghempas rumah Surati. ”Rumah te-rasa bergoyang. Kami segera melompat dari atap, berpegangan pada pohon-pohon kelapa. Lalu, rumah kami mulai hanyut,” kata Surati.
Setelah air mulai tenang satu jam kemudian, barulah Surati menyadari, Dahliah, Kasma dan sepupunya yang masih bertahan di pohon kelapa. Dua anaknya yang lain, Jukilah, 27 tahun, dan Syaril, 8 tahun, hilang. Syaril ditemukan tak bernyawa esok harinya. Jukilah belum diketahui nasibnya hingga kini meski Surati terus mencari ke sana-ke sini.
Sebanyak 39 rumah di Kampung Bi-ring Ere hancur diterjang air. Banjir bandang dan tanah longsor Senin tengah- malam itu juga melanda desa-desa lain di sembilan kabupaten di Sulawesi Selatan: Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Bone, Soppeng, Selayar, Wajo, dan Luwu Utara. Bencana terparah terjadi di Sinjai, 280 kilometer arah timur Makassar lewat Bulukumba yang dalam keadaan normal bisa ditempuh dalam empat jam lewat jalan darat.
Hingga Jumat pekan lalu, jumlah korban tewas akibat banjir mencapai 209 orang, 193 di antaranya penduduk Sinjai-. Jumlah korban itu masih mungkin bertambah. ”Karena masih ada 64 orang lain yang hilang,” kata Kepala Kepolisian Resor Sinjai, Ajun Komisaris Besar Sudiarto.
Tiga ribuan penduduk di Sinjai harus mengungsi. Sebagian besar di antara-nya kini menghuni gedung Balai Latihan Kerja Sinjai. Sebagian lainnya tinggal di kantor-kantor kelurahan, dan ada juga yang menumpang di rumah sanak keluarga.
Wilayah-wilayah yang dilanda air be-nar-benar hancur. Ratusan rumah ludes, tiga puluhan bangunan sekolah ambruk-, delapan puluhan jembatan rusak-, dan ribuan hektare sawah terancam tak bisa ditanami. Akses jalan ke wilayah-wilayah itu terputus selama dua hari.
Kamis pekan lalu, atau hari keempat setelah bencana, Desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah, masih terisolasi. Di desa ini, sedikitnya 24 rumah tertimbun tanah longsor. Dua alat berat di-kerahkan untuk membuka jalan, tapi tak juga berhasil. Tim relawan akhirnya harus berjalan kaki 20 kilometer untuk menuju ke sana.
Menurut Bupati Andi Rudiyanto Asapa, inilah banjir terhebat yang pernah terjadi di wilayahnya. Ia menyatakan air bah datang dari dua gunung di Kabupaten Gowa yang gundul, yaitu Bawakaraeng dan Lompobattang.
Di Gunung Bawakaraeng, wilayah di antara pos empat dan pos enam, nyaris tak ada pohon tumbuh. Semua pohon musnah dalam kebakaran 10 tahun lalu. Hingga kini, penghijauan kembali tak pernah dilakukan. Badan gunung itu semakin kritis setelah longsor terjadi Maret 2004.
Air dari Bawakaraeng mengalir ke Sungai Bua, adapun air dari Lompobat-tang mengular ke Sungai Ropa. Kedua-nya di Kabupaten Sinjai. Bahrianto- -Bahri, ahli lingkungan hidup di Ma-kassar-, mengatakan, hutan yang gundul- membuat daerah tangkapan hujan di hulu sungai semakin kurang. Akibatnya, air yang turun tak lagi bisa ditahan dan menimbulkan air bah.
Dari pengamatan Tempo, hampir se-mua rumah yang dibangun di pinggir- Kali Bua dan Ropa kini rata dengan -tanah. Pohon-pohon di sana tumbang. Sebagian besar di antaranya hanyut disapu air.
Menurut Tan Malaka Guntur, Kepala- Badan Pengendalian Dampak Ling-kungan Daerah Sulawesi Selatan, se-per-tiga hutan di provinsinya kini gundul. Di sektor selatan, yang antara lain meliputi Sinjai, kerusakan hutan bahkan sudah mencapai 40 persen.
Cuaca di Sinjai yang berbeda dengan- daerah lain juga menjadi penyebab -ban-jir. Menurut Kepala Subdinas Pela-yanan Jasa Badan Meteorologi Sulawesi Selatan, Hanafi Hamsah, puncak musim hujan di Sinjai memang terjadi pada Juni atau ketika daerah lain sudah memasuki musim kemarau.
Kini Nyonya Surati dan ribuan orang lain di Sinjai harus memulai lagi hidup dari titik nol. Air bah telah memusnahkan sanak keluarga, rumah, atau tempat kerja mereka. ”Semua harta saya habis,” kata Surati sambil memandang reruntuhan bekas tempat tinggalnya dengan air mata berlinang.
Budi Setyarso dan Irmawati (Sinjai)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo