PERISTIWA Tiananmen 4 Juni 1989 mengundang reaksi keras dunia. Amerika Serikat, misalnya, memboikot hubungan ekonomi dengan Cina setelah pemerintah Beijing menurunkan tentara membubarkan dan membantai 22 demonstran yang menuntut demokrasi di negeri itu. Seluruh program alih teknologi dan kerja sama militer dibekukan. Demikian pula dengan Eropa Barat. Ternyata, protes bukan cuma di tingkat antarnegara. Ada pula bentuk protes dengan kapal seperti yang sekarang ini dilakukan Lusitania Expresso dari sekelompok pemuda dari Portugal sehubungan dengan masalah Tim-Tim. Pada 17 Maret 1990, sebuah kapal penangkap ikan berbobot hampir 1.150 ton meninggalkan Paris. Itulah kapal cokelat karat yang dijuluki "Dewi Demokrasi", nama patung bikinan para demonstran penuntut hak demokrasi di Tiananmen. Kapal itu milik Front Demokrasi Cina, organisasi pelarian politik Cina di Prancis. Dengan bantuan sponsor, antara lain majalah Prancis Actuel, kapal itu dirombak menjadi stasiun pemancar radio dengan 11 awak, terdiri dari 10 warga Prancis dan seorang Taiwan. Rencananya, kapal itu sampai di Selat Taiwan sebelum 1 Mei 1990. Dari sana mereka akan mengumandangkan pesanpesan demokrasi ke Cina Daratan. Siaran dibuka dengan seruan Chai Ling, pemimpin mahasiswa Cina yang baru tiba di Prancis. Lalu diputarlah rekaman wawancara dengan para aktivis demokrasi Cina, yang mengungkapkan kekejaman pemerintah Cina terhadap rakyatnya. Agar siaran tak menjemukan, "Dewi Demokrasi" memutar juga musik pop. Pemerintah Cina menggertaknya dengan ancaman militer. Kapal itu akan dihancurkan bila nekat menyeberangi Selat Taiwan. Soalnya, siaran tanpa sensor di Cina Daratan digolongkan sebagai aksi subversi. Maka, kapal itu tak membawa seorang pun aktivis demokrasi Cina. Para sponsornya di Prancis menyurati Sekjen PBB agar menghalangi tindakan keras Cina. Alasannya, kapal mereka cuma berlayar di jalur perairan internasional. Perjalanan "Dewi Demokrasi" tidaklah mulus. Pemerintah Singapura, yang semula siap menerima kapal itu, berbalik. "Dewi Demokrasi" boleh datang tapi tak boleh merapat. Pengisian perbekalan dilakukan di lepas pantai. Rupanya, Singapura, yang volume perdagangannya dengan Cina amat besar, ditekan Beijing. Hong Kong, sebagai pelabuhan berikutnya, tegas-tegas menolak kapal itu lantaran takut menjadi ajang perang politik negara lain. "Dewi Demokrasi" baru disambut meriah ketika merapat di Keelung, Taiwan. Murid-murid sekolah berbaris, lengkap dengan nyanyian dan drum band. Mahasiswa dan pemuda mengeluelukan kapal itu dengan pidato-pidato. Namun, pemerintah Taiwan tak berani menyambut secara resmi. Berbagai fasilitas yang dijanjikan pemerintah Taiwan tinggal janji belaka. Alat pemancar kuat tak kunjung tiba. Malah, paspor awak kapal ditahan. Para awaknya mencoba jalan lain. Mereka berlayar ke Tokyo untuk mengambil alat pemancar. Namun, karena tekanan Cina, pemerintah Jepang pun memilih tak bersahabat dengan "Dewi Demokrasi". Akhirnya, kapal itu dilego. Tekanan masyarakat biasa terhadap tindakan pemerintah yang terlibat peristiwa berdarah pernah juga terjadi di Israel. Sepuluh tahun silam, Israel menginvasi Beirut, yang baru saja ditinggal pergi gerilyawan PLO. Lalu meletuslah pembantaian para pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, 18 September 1982. Aksi itu merenggut sekitar 1.000 jiwa orang Palestina. Dewan Keamanan PBB mengecam. Anehnya, Israel ikut mengutuk peristiwa itu. Menurut Israel, pihaknya sudah mencegah kelompok Phalangist yang membunuh warga Palestina. Kutukan dan protes bermunculan dari luar negeri. Gelombang protes kaum Yahudi pun marak di New York, Kopenhagen, Amsterdam, Paris, Bonn, London, Toronto. Karena berbagai desakan, Perdana Menteri Begin terpaksa membentuk "dewan penyelidik negara" yang bebas untuk mengusut pembantaian Sabra-Shatila. Hasil komisi yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Yitzhak Kahan itu memutuskan: Menteri Pertahanan Sharon dicopot (kini ia menjabat menteri perumahan dalam pemerintahan Shamir). Dari Jepang juga pernah ada sebuah kapal yang berkelana ke negara-negara bekas jajahan Jepang untuk misi damai. Itulah kapal yang membawa aktivis "Peace Boat", organisasi yang berdiri pada 1983. Sasarannya adalah memprotes pemerintah Jepang, yang memalsu sejarah Perang Pasifik (antara lain menghapus kata invasi dari buku-buku sejarah). Organisasi itu mencarter kapal Nippon Maru yang berbobot 10 ton, lalu mengunjungi berbagai negara Asia. Tahun lalu, mereka mengadakan lawatan yang ke-13 dengan nama Golden Asia Cruise, ke Hong Kong, Kamboja, Vietnam, dan Filipina untuk bisa bergaul dengan bekas jajahan orangtua mereka. Di "Peace Boat" bergabung para intelektual, guru besar, kritikus, dan wartawan ternama Jepang. Entah seberapa besar pengaruh "Peace Boat". Yang jelas, tahun lalu untuk pertama kali pemerintah Jepang meminta maaf atas kekejaman tentaranya pada masa Perang Pasifik. Ardian Taufik Gesuri (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini