UNTUNG, ada hukum laut modern. Kalau tidak, sukar dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh pejabat Indonesia dalam menghadapi Lusitania Expresso, kapal yang dikabarkan membawa para "penabur bunga" ke Dili itu. Tanpa hukum laut seperti yang dikenal sekarang, satu negara tak bisa berbuat banyak bila ada kapal asing yang terus-terusan nangkring di muka batang hidungnya kecuali langsung menembaknya dari darat. Sebab pada mulanya negara tidak mempunyai kekuasaan di bahari. Artinya, penguasa negara akan menghentikan komandonya, begitu kakinya menginjak air asin. Coba kalau tidak ada hukum laut modern, maka Portugal akan bilang ia masih tetap berkuasa di seluruh samudra di dunia ini mulai dari timur Laut Antlantik, sedangkan Spanyol dari arah baratnya. Ini hukum mereka yang dicanangkan lewat Perjanjian Tordesillas 1494. Waktu itu laut dipenuhi oleh kontes supremasi antara negara yang punya keandalan maritim yang tangguh. Di sekolah, kita diajari bahwa selain Portugal dan Spanyol adalah Belanda serta Inggris yang petantangpetenteng di segara. Mulai abad ke19, pertentangan bukan lagi antara sesama para penguasa laut di atas tapi antara negara yang punya armada maritim yang tangguh dan negara pantai. Yang satu berpijak atas dasar kebebasan di laut (freedom of the seas), sedangkan satu lagi adanya kekuasaan negara di laut, sesuai dengan kepentingan negara masing-masing. Hingga sini muncul tokoh Pontanus yang memperkenalkan konsep laut teritorial (territorial sea), yang tunduk pada kedaulatan negara pantai. Sedangkan semua daerah laut di luar laut teritorial adalah laut lepas (highsea). Jadi, negara tidak hanya berdaulat di daerah darat saja tapi juga sampai ke lingkaran laut yang mengeliling negara itu. Namun, kedaulatan di bagian laut itu ada minusnya. Setiap kapal asing harus dijamin untuk menikmati hak lintas damai (innocent passage) di situ. Artinya, pelayaran kapal asing di laut teritorial sama sekali tidak boleh dihalanghalangi dan disyaratkan untuk memberitahukan atau mendapatkan izin lebih dahulu. Kapal asing dapat melintasi laut teritorial satu negara dan terus masuk ke pelabuhan negara itu, tentu kalau pelayaran itu berstatus innocent. Yang innocent itu, bagaimana? Kalau dulu, pokoknya tidak bertentangan dengan peace, good order or security dari negara pantai. Ini rumusan yang serba nisbi. Dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982, ketiga ukuran di atas dirinci menjadi 12 butir, termasuk setiap ancaman terhadap kedaulatan dan integritas teritorial atau kemerdekaan negara pantai, atau tindakan apa pun yang bertentangan dengan prinsipprinsip dalam Piagam PBB. Yang lain adalah setiap tindakan propaganda yang ditujukan untuk mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai. Konvensi Hukum Laut 1982 masih belum berlaku, namun ini hanya soal waktu. Negaranegara yang telah menandatangani dan meratifikasi sudah berjumlah 51 termasuk Indonesia tinggal 9 lagi agar Konvensi Hukum Laut menjadi efektif. Portugal sendiri sudah menandatangani tapi belum meratifikasi. Selain itu, konsep laut teritorial praktis sudah diterima sebagai hukum kebiasaan internasional. Boleh dibilang, tidak ada negara di dunia ini yang menolak eksistensi konsep yang menjembatani kepentingan negara pantai dan negara berarmada kuat itu. Nah, lalu bagaimana dengan Lusitania Expresso? Innocentkah pelayarannya? Ini tinggal penilaian konkret dari pihak yang berkompeten bila tiba saatnya. Apabila tindakan itu merupakan perbuatan provokasi, prinsip-prinsip menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 jelas akan terlanggar. Dan Indonesia berhak menolak masuknya kapal itu. Tapi bagi Portugal, resmi atau tidak, ini bukan sekadar aplikasi prinsip-prinsip innocent-passage. Negara itu masih melihat Timor Timur sebagai ajang nostalgia sisa-sisa masa Bartholomew Diaz dan Vasco da Gama, saldo akhir Perjanjian Tordesillas. Artinya, Lusitania Expresso mungkin sengaja diluncurkan sekadar untuk menguji apakah masih ada sisa romantika masa lalu yang dapat dibangkitkan, yang adalah idem dito dengan mencoba efektivitas kekuasaan Indonesia di daerah tersebut. Sebab orang sudah tahu bahwa salah satu ukuran kekuasaan di satu wilayah adalah bahwa ia dapat dijalankan secara efektif, artinya ampuh terhadap berbagai macam cobaan. Dan Portugal memang cukup getol. Tahun lalu ia menggugat Australia di International Court of Justice lantaran Australia (waktu itu) mengadakan negosiasi dengan negara ketiga mengenai kemungkinan pengusahaan sumber minyak di Celah Timor padahal, menurut Portugal, ia yang berhak di situ. Sementara itu, petualangan Lusitania Expresso bisa juga ditinjau dari aspek laut yang lain. Soalnya, laut punya pesona dan tempo sendiri. Perjalanan laut, dibandingkan dengan melalui udara, sangat berlamalama sehingga bisa menciptakan momentum tertentu dan memberi kesan monumental. Kalau tidak, kenapa para calon "penabur bunga" itu tidak langsung saja terbang ke Dili? Sampai tingkat ini, mereka tampaknya berhasil. Baru saja kapal itu memulai pelayarannya, orang di seberang sudah geger mempercakapkannya. Hawa provokasi sudah ditebar di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini