CERITA tentang "Lusi si Kapal Jompo" mulai memasuki babakbabak akhir. Inilah drama perjalanan kapal Portugal Lusitania Expresso yang sudah bertolak dari pelabuhan Darwin Senin kemarin. Setelah berlayar selama 48 hari dari Portugal, bekas kapal penyeberangan yang berusia 30 tahun ini sekarang mengangkat sauhnya untuk menempuh pelayaran menentukan selama 36 jam menuju Dili. Terhapuslah sudah keraguan yang selama ini menggantung, apakah pelayaran ini jadi dilaksanakan atau tidak. Soalnya, sebelum betul-betul berangkat, jadwal Lusitania Expresso memang sempat tersendat-sendat. Alasannya bermacam-macam, mulai dari terhambatnya pelayaran dari Portugal karena ada badai besar hingga tertundanya izin pesawat sewaan yang membawa rombongan orang-orang VIP dari Portugal ke Darwin. Selain itu, soal dana pun konon sempat menjadi masalah. Pelayaran ini memang tak mainmain, diperkirakan bakal menyedot ongkos sekitar Rp 3 milyar. Sedangkan penyelenggaranya hanyalah sebuah majalah mahasiswa di Portugal, Forum Estudante, yang mengaku tak mendapat bantuan keuangan dari pemerintah Portugal. "Kami adalah perusahaan swasta biasa, duitnya ya dari penjualan majalah dan iklan," kata Rui Marques, pemimpin redaksinya. Majalah bulanan ini, menurut Marques, bertiras 40.000 eksemplar dan belum genap setahun usianya, baru dimulai September 1991 lalu. Keraguan juga meruyak karena yang muncul ke permukaan sebagai perancang misi ini adalah orang-orang yang masih "bau kencur". "Ide awal pelayaran ini datang dari Rui Marques," kata Paulo Veiga, seorang panitia di Darwin yang juga wartawan dari majalah berita Sabado, Portugal. Ia adalah orang yang bertugas menggalang seluruh wartawan yang mengikuti pelayaran ini. Rui Marques baru berusia 28 tahun, sedangkan Veiga sendiri 30 tahun. Menurut Veiga, ketika ide ini muncul Desember lalu, para pemrakarsanya segera membentuk organisasi yang diberi nama Missao Paz Em Timor, yang artinya kirakira Perdamaian Bagi Timor. Organisasi ini bersifat sementara dan akan dibubarkan bila misi pelayaran usai. Organisasi tersebut lalu menggalang dana dari masyarakat. Mereka juga membuka rekening bank untuk menampung sumbangan. "Banyak juga sumbangan yang datang dari bekas jajahan Portugal, seperti Brasil, Angola, atau Mozambik," tutur Veiga, yang garagara mengurusi misi ini berhenti jadi wartawan. Missao Paz Em Timor kemudian menyewa kapal Lusitania Expresso milik perusahaan penyeberangan Lusitania Ferre untuk pelayaran ke Dili. Wartawan dari seluruh dunia dikumpulkan dan organisasi yang giat di bidang hak asasi manusia segera pula dikontak. Pengumuman ajakan juga dipasang di majalah Forum Estudante. Hasilnya, 73 orang peserta dari 32 negara akhirnya ikut berlayar. Belum termasuk 59 orang wartawan dari seluruh penjuru dunia. Ada juga tokoh penting yang ikut berlayar, seperti Antonio Ramalho Eanes, bekas presiden Portugal (1976-1986). Tak semua orang yang berminat bisa naik ke kapal tersebut. Persoalannya adalah tempat yang terbatas. Maklum, kapal ini memang sudah disulap menjadi kapal pengangkut mobil sehingga hanya mampu menampung seratus penumpang dari kapasitas aslinya yang 600 orang. Buntutnya, panitia melakukan pembatasan sehingga tak sedikit yang ditolak ikut berlayar sekalipun sudah berada di Darwin. Ada sedikit kejutan di sini. Ternyata, ada dua orang Indonesia yang berniat ikut bergabung sebagai peserta dalam misi ini. Mereka adalah Juheri Harapan, 35 tahun, dan Reza Muharam, 28 tahun. Juheri alias Eri adalah lulusan antropologi budaya Universitas Amsterdam, dan sudah berada di Belanda sejak 1979. Sedangkan Reza masih kuliah di jurusan sosial politik di universitas yang sama. Keduanya mengaku sebagai anggota organisasi Front Demokrasi Indonesia (FDI) yang berdiri sejak dua tahun lalu di Belanda. Organisasi ini, menurut Reza, sudah beberapa kali melakukan protes atas kejadian yang mereka anggap sebagai palanggaran hak asasi di Indonesia. "Saya pernah mogok makan bersama Eri ketika ada eksekusi atas empat tahanan politik di Indonesia," kata Reza. Kedua mahasiswa ini lantas memutuskan untuk ikut dalam pelayaran Expresso. "Ini adalah salah satu bentuk ekspresi yang bersifat nonkekerasan, maka saya ikut," kata Juheri tentang alasan keberangkatannya. Mereka akhirnya terbang ke Darwin untuk bergabung dengan calon peserta lain. Belakangan keikutsertaan mereka dibatalkan Ruis Marques sendiri. Alasannya, seperti dikemukakan Reza pada TEMPO, kedua orang ini adalah warga negara Indonesia. "Kalau sampai kami ditahan, mereka tak akan bisa menolong, sehingga saya tak jadi berangkat," kata Reza. Batalnya keikutsertaan dua orang ini tentu saja bukanlah perkara besar. Oleh Marques dan kawan-kawannya, pelayaran ini lantas disebut misi damai untuk menggugah perhatian orang pada masalah Timor-Timur. Untuk itu, mereka bermaksud menabur bunga di makam Santa Cruz di Dili untuk mengenang peristiwa penembakan demonstran yang memakan korban sekitar 50 orang, 12 November tahun lalu. Di sinilah pertentangan bermula. Bagi Indonesia, misi ini jelas terasa sebagai sebuah provokasi politik yang berniat buruk. Satu contoh, Paz Em Timor sejak semula tak pernah meminta izin pemerintah Indonesia bahwa mereka berniat untuk melakukan kegiatan itu di Tim-Tim. Bahkan ketika Departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan secara resmi bahwa perairan Indonesia tertutup bagi "Lusi si Jompo", mereka tetap saja tak peduli. Rencana pelayaran, yang semula sedikit mengendur ketika pelarangan itu diumumkan, ternyata kembali kencang dan tetap diteruskan. Persoalan menjadi semakin tak enak ketika pemerintah Portugal menyatakan dukungannya secara terbuka atas misi ini. Sekalipun mengaku tak memberi bantuan uang, pemerintah Portugal menyatakan dukungan moral pada pelayaran ini. Antonio Ravaro, yang menjadi juru bicara Paz Em Timor, mengakui bahwa mereka berkonsultasi dengan pemerintah Portugal sebelum memutuskan berlayar. Kesimpulannya, "Misi ini sejalan dengan kepentingan dan kebijakan pemerintah Portugal," kata Ravaro polos. Bagaimana misi ini direstui orang-orang besar di Portugal juga terlihat dari ikutnya bekas presiden Antonio Ramalho Eanes. Ia adalah tokoh penting yang banyak memainkan peranan dalam Revolusi Kembang, 1974, yang berbuntut dengan dekolonisasi TimTim. Eanes memang mengaku datang sebagai pribadi, namun pengaruh seorang tokoh seperti dia tentu tak bisa dilepaskan begitu saja. Nampaknya, misi ini akhirnya menjadi semacam kampanye tak resmi dari Portugal untuk menggalang opini dunia. Perkara pelayaran ini bakal melanggar kedaulatan Indonesia, mereka tampaknya tak ambil pusing. Ada satu dalih yang diajukan, PBB belum mengakui kedaulatan Indonesia di Timor-Timur sampai saat ini. Fakta bahwa isu Tim-Tim sudah sejak 1982 tak lagi masuk ke dalam agenda sidang Majelis Umum PBB tak dijadikan pertimbangan. "Pokoknya, di sini ada perbedaan persepsi. Kami menganggap itu bukan wilayah Indonesia," kata Paulo Veiga. Dan orang-orang Paz Em Timor bukannya tak sadar bahwa tindakan ini bisa meletupkan insiden. "Mungkin itu tak terhindarkan," kata Veiga lagi. Repotnya, mereka justru memanfaatkan kemungkinan ini untuk membentuk opini dunia agar semakin bersimpati. Maka yang mereka gembar-gemborkan sekarang adalah, pelayaran ini adalah misi damai dengan sebuah kapal tua tak bersenjata. Akankah terjadi bentrokan fisik? Tampaknya tak akan sekonyol itu. Panglima Armada Timur Laksamana Muda Tanto Kuswanto, yang membawahkan gugus tempur yang bertugas di perairan Tim-Tim, menyatakan, "Kapal itu akan diperlakukan sebagai pelanggar wilayah perairan Indonesia. Tak akan ditembak." Selain sikap yang tegas dari angkatan laut bahwa kapal yang menyelusup ini tak akan ditembak, nakoda Lusitania Expresso Kapten Luis Dos Santos ternyata juga sudah memilih sikap menghindar. Jika izin masuk ditolak, ia akan membawa Expresso kembali ke Darwin. "Saya bukan pahlawan, dan ini kapal dagang bukan kapal perang," katanya. Ia memang tetap berlayar sesuai dengan kontrak, perkara balik atau tidak itu akan diputuskannya pada saat terakhir nanti. Kapten Santos memang bisa bersikap demikian. Jika merujuk kontrak sewa-menyewa kapal antara Missao Paz Em Timor dan Lusitania Ferre, penyewaan kapal itu dianggap sebagai kontrak komersial biasa. Maka komando tertinggi atas Lusitania Expresso tetap berada pada Kapten Santos sebagai nakoda kapal. Jadi, sekalipun pemimpin misi, Rui Marques, ngotot misalnya, Kapten Santos tetap mempunyai kewenangan tertinggi dalam menentukan jalannya pelayaran demi keselamatan. Tampaknya, Expresso memang tak akan masuk ke Tim-Tim, bahkan bisa jadi menyentuh perairan Indonesia pun tak akan. Soalnya, tak semua peserta pelayaran ini orang-orang nekat, terutama aktivis organisasi yang sudah berusia lanjut. Dalam sebuah pertemuan, yang dilakukan Minggu malam lalu, mereka mulai serius membahas kemungkinan-kemungkinan apa yang bakal dialami kapal ini. Yang menarik, sebagian dari mereka malah khawatir jika Angkatan Laut Indonesia akan membiarkan kapal itu masuk ke perairan Indonesia dan baru kemudian menangkap para penumpang dengan tuduhan melanggar undang-undang imigrasi. Para peserta itu memperkirakan, kalau itu betul terjadi, kapal mereka bakal digiring ke Pulau Bali dan mereka dideportasikan dari sana. Mereka jelas mengkhawatirkan risiko yang bakal dihadapi sebab sebelum berangkat semua penumpang diwajibkan menandatangani pernyataan. Isinya, keselamatan mereka selama pelayaran ini adalah tanggung jawab masing-masing bukan urusan panitia. Di antara para peserta misi, ada juga dua warga RRC yang menjadi pelarian karena peristiwa Tiananmen. Nasib mereka juga mendapat perhatian sebagian peserta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini