Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Rencana relokasi warga desa terkena dampak tambang di Pulau Obi, Halmahera Selatan, masih menyisakan polemik.
Keputusan relokasi tertuang dalam nota kesepahaman pejabat bupati sebelumnya.
Warga berpotensi terkena ISPA.
JAKARTA – Rencana relokasi warga Desa Kawasi, Halmahera Selatan, masih menyisakan polemik. Pembangunan rumah dan fasilitas sudah hampir rampung, tapi sebagian warga menolak keputusan bupati untuk memindahkan warga di desa di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bupati Halmahera Selatan, Usman Sidik, berkukuh relokasi warga urgen dilakukan karena kondisi lingkungan yang berbahaya. ”Warga sudah enggak boleh tinggal di situ terus karena berbahaya. (Ada) debu akibat kegiatan perusahaan tambang. Desa itu berada di tengah-tengah perusahaan,” ujar dia saat dihubungi Tempo pada Selasa, 25 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perumahan untuk merelokasi warga Desa Kawasi, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera, Maluku Utara, 2 Maret 2023. Dok. Walhi Maluku Utara
Usman menjelaskan, debu yang dimaksudkan mengganggu warga tersebut berasal dari kegiatan penambangan yang ada di kawasan Desa Kawasi. Sejumlah perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Kawasi, di antaranya, adalah PT Halmahera Lygend, PT Megah Surya Pertiwi, PT Halmahera Jaya Feronikel, dan PT Trimegah Bangun Persada (TBP). Mayoritas saham perusahaan-perusahaan ini dimiliki Harita Group, yang bergerak di sektor sumber daya alam.
Keputusan untuk merelokasi warga, kata Usman, bukan semata-mata keinginan dan kebijakannya. Menurut dia, keputusan relokasi ini sudah tertuang dalam nota kesepahaman alias memorandum of understanding (MoU) antara PT Harita Group dan pemerintahan bupati sebelumnya. Usman menyebutkan MoU saat itu diteken dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Halmahera Selatan pada 2019, Iswan Hasjim.
Usman mengklaim, berdasarkan data pemerintah daerah setempat, dari sekitar 600 keluarga di Desa Kawasi, hanya 15 keluarga yang menolak relokasi. Jumlah suara mayoritas warga inilah yang menjadi dasar bagi Usman untuk melanjutkan MoU. Dia mengatakan warga Desa Kawasi nantinya direlokasi ke tempat yang berjarak 4-5 kilometer dari lokasi mereka bermukim saat ini.
Usman menjelaskan, pembangunan hunian untuk warga sudah hampir rampung. Secara bertahap, warga yang setuju pindah akan direlokasi. Usman menegaskan bahwa relokasi menjadi hal yang mendesak dilakukan. Warga berpotensi terkena ISPA atau infeksi saluran pernapasan atas—infeksi virus atau bakteri di saluran pernapasan. “Dampaknya terkena ISPA juga banyak. Warga di desa itu, kan, berada di tengah-tengah perusahaan. Jarak perusahaan dengan permukiman warga hanya 100-200 meter,” ujarnya.
Usman membantah jika dikatakan terjadi pencemaran lingkungan di Desa Kawasi akibat kegiatan tambang PT Harita Group. Dugaan pencemaran itu sebelumnya sempat diberitakan dan dimuat dalam laporan lembaga swadaya masyarakat Jaringan Tambang (Jatam). “Kalau menyebut pencemaran, harus ada data. Itu data dari mana dan di mana? Ada datanya enggak?” kata Usman.
Laporan Jatam yang ditulis Koran Tempo pada edisi 3 April lalu menyebutkan adanya dugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan di Desa Kawasi. Berdasarkan temuan Jatam, beberapa sungai di Pulau Obi ditengarai sudah tercemar dan terjadi sedimentasi hingga ada sungai yang hilang akibat pengendapan tersebut. Misalnya Sungai Loji. Dulu warga Kawasi memanfaatkan air sungai itu untuk mencuci serta mencari kerang.
Laporan tersebut juga mengutip hasil uji sampel yang dilakukan The Guardian terhadap air terjun di Desa Kawasi pada Februari 2022. Hasilnya, air itu disebut mengandung zat karsinogenik (Cr6) yang cukup tinggi, yaitu sekitar 60 bagian per miliar. Karsinogenik merupakan zat yang berpotensi menyebabkan kanker. Selain itu, Jatam menduga limbah beracun tersebut dibuang ke laut. Masalah lain, kualitas udara di Kawasi semakin buruk sejak tambang-tambang nikel beroperasi di Pulau Obi.
Meski membantah adanya dugaan pencemaran lingkungan di Kawasi, Bupati Usman tidak menjawab tegas perihal adanya uji laboratorium terhadap dugaan pencemaran air tersebut. Usman berkilah uji laboratorium bukan wewenangnya. “Itu bukan kewenangan daerah. Soal lingkungan, itu menjadi wewenang pemerintah provinsi dan pusat,” kata dia.
Hal yang pasti, Usman melanjutkan, saat ini pihaknya berfokus pada rencana relokasi warga. Di kawasan relokasi nanti, kata dia, masyarakat yang bersedia pindah akan menerima pembagian lahan terbuka untuk kemudian digarap.
Salah seorang warga Desa Kawasi yang enggan disebutkan namanya mempertanyakan keputusan Bupati. Dia menilai, jika kegiatan tambang nikel disebut menjadi penyebab adanya permasalahan lingkungan warga, mengapa mereka yang justru harus meninggalkan rumahnya? “Relokasi ini dasarnya bukan kepentingan umum, melainkan kepentingan perusahaan yang didukung oleh pemerintah daerah,” ujar sumber tersebut kepada Tempo, kemarin.
Sumber Tempo itu merupakan salah seorang warga yang menolak direlokasi. Alasannya, dia sudah nyaman tinggal di desa tersebut. Ia juga merasa akan kesulitan jika pindah, mengingat profesi kesehariannya adalah nelayan. Desa Kawasi yang saat ini dia tinggali lebih dekat dengan garis pantai.
Warga beraktivitas di Desa Kawasi, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera, Maluku Utara, 2 Maret 2023. Dok. Walhi Maluku Utara
Sumber lain yang juga warga Desa Kawasi mengatakan hanya beberapa warga desa yang menyetujui relokasi. Menurut dia, sebagian warga desa tidak mengetahui adanya relokasi. Sosialisasi soal relokasi dilakukan dalam pertemuan warga dengan Bupati pada 6 Maret lalu. Tapi, perihal adanya nota kesepahaman atau MoU yang diklaim Bupati sebagai dasar relokasi, ia pun menanyakan hal itu. “MoU itu terjadi kapan? Kami enggak tahu!” ujar warga tersebut.
Tempo mendapat sepenggal rekaman video dari pertemuan sosialisasi Bupati Usman dengan warga soal relokasi. Sosialisasi itu tampak digelar di sebuah ruangan yang dihadiri sejumlah perangkat desa dan warga Desa Kawasi. Usman tampak meyakinkan masyarakat bahwa rumah dan fasilitas relokasi untuk warga sudah disiapkan, termasuk fasilitas lain seperti pertanian. Dalam tayangan rekaman video itu, Usman menegaskan bahwa dirinya hanya meneruskan kebijakan relokasi berdasarkan MoU yang diteken pejabat pemerintahan sebelumnya. Warga tampak sangsi akan pernyataan sang Bupati.
Tempo berupaya meminta konfirmasi dengan menghubungi Corporate Affairs Manager Harita Group, Anie Rahmi. Namun pesan pendek ataupun telepon Tempo tidak direspons. Upaya permintaan konfirmasi juga dilakukan dengan mengirim melalui surat elektronik atau e-mail. Namun, hingga berita ini ditulis, hal itu juga tidak direspons.
Meski begitu, dalam pemberitaan Tempo perihal dugaan kerusakan Desa Kawasi akibat tambang, Harita Group membantah tudingan tersebut. Anie mengatakan perusahaannya selalu mengedepankan praktik pertambangan terbaik dengan mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik.
Baca: Hak Jawab PT TBP Atas Tudingan Kerusakan Lingkungan
Anie juga membantah anggapan Harita Group telah mencaplok lahan warga Kawasi. “Seluruh area Harita Nickel di Pulau Obi yang beroperasi saat ini berada dalam kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan produksi konversi. Harita memegang izin pinjam pakai kawasan hutan atas setiap bukaan lahan,” ujar dia pada 3 April lalu.
Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara, Faisal Ratuela, mengatakan relokasi dilakukan bukan hanya karena kualitas udara yang memburuk. Menurut dia, Bupati semestinya juga mempertimbangkan dampak dari kewenangan yang timbul, yakni soal pemberian izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) serta kegiatan operasi tambang.
Faisal menilai Bupati seharusnya mengevaluasi proses terbitnya dokumen amdal. “Dokumen amdal semestinya sudah menyusun dampak-dampak yang terjadi, termasuk dampak fungsi udara dan dampak air bersih serta kualitas lingkungan,” ujarnya. Dengan begitu, kata Faisal, semestinya warga tidak dijadikan kambing hitam ketika lingkungan desa dianggap tidak layak lagi dihuni.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo