BAGI yang biasa di Desa Pasar Jati, seperti hari-hari musim kemarau selama ini, berembun dan dingin. Yang tak biasa mungkin hanya Haderi, seorang pendulang intan dari desa itu, sebuah desa di Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. "Semalam aku tak dapat tidur sepicing pun," kata Haderi, Kamis pagi itu, kepada Mahfud, sejawatnya satu tim pendulang, sebagaimana dikisahkannya kemudian. "Kenapa?" tukas Mahfud. Haderi hanya menggeleng. Lalu mengunci mulut. Haderi, 35, bekerja satu tim bersama Mahfud. Sedangkan Djuni, lelaki separuh abad itu, pemilik mobil Hi Jet, kendaraan yang selama ini mereka pakai untuk mengarungi jalanan di kawasan kebun karet, menuju tepian Kiam Kiwa (Sungai Raya). Dan pagi itu, mereka bertiga berangkat mendulang dengan impian masing-masing. Djuni berkicau, "Semalam saya bermimpi melihat bungkahan batu besar melesat dari dasar sungai, lalu meledak di ketinggian sekitar tiga meter." Kedua rekannya serempak menatapnya. "Jangan-jangan hari ini kita mamicik," kata Mahfud, menimpali. Mamicik berarti menemukan intan, batu berharga yang di kawasan itu dijuluki Si Galuh. Sementara Haderi tetap diam. Lazim di situ, para pendulang intan bekerja dalam tim kecil antara tiga dan empat orang. Tiap hari, per orang rata-rata menghabiskan makanan Rp 750,00. Mereka bekerja dari pukul 7 pagi hingga sore selepas asar. Sebagian tak pulang langsung hari itu, menginap untuk memburu intan keesokannya. Salah seorang di antara mereka tidak harus ikut berendam di sungai, tetapi bertugas sebagai penyedia sarana dan makanan. Seperti hari itu, umpamanya, Djuni hanya menatap dari mobilnya di kejauhan, ketika Haderi dan Mahfud merambah jalan setapak meninggalkannya, menuju sungai. Di sungai sudah ada 20-an orang berendam, melakukan maambuh (menciduk bebatuan dari dasar kali) dan malinggang (memilah-milah batu-batu itu, siapa tahu terselip intan di antaranya). Haderi dan Mahfud langsung membenamkan sebagian badannya di air. Tengah hari, ketika tiba waktu makan siang, belum juga ada pendulang yang berhasil menggaet Si Galuh. Usai makan, Haderi, seperti juga lainnya, maambuh lagi, malinggang kembali. Satu ambuhan, dua malinggang.... Tiba ambuhan keempat, ketika tiba-tiba lelaki yang meninggalkan istrinya di rumah dalam keadaan hamil tua ini memekik, "Allahuma shalli 'ala sayyidina Muhammad..." Suaranya bergetar, tangannya mengepal. Orang-orang di sekitarnya tertegun, lalu menyadari keadaan, seseorang telah mamicik. Haderi orangnya. Si Galuh sebesar kelereng ada di genggamannya. Orang-orang merubung. Nampak sebutir intan jadi (air pol, bangunan pol, menurut istilah para pendulang), dengan tahi lalat di sisi luarnya. Haderi masih tertegun, dengan mata basah, sewaktu Mahfud merangkulnya dan mengajak naik ke tepian. Pulang. Bak pengantin, Haderi, didampingi Mahfud, menuju rumah dengan iringan sekitar 30 orang pendulang. Kabar Si Galuh 33 karat itu segera menyebar. Di rumah, di antara rubungan banyak orang, Haderi dipeluk istrinya, Siti Rahmah. "Rezeki kandungan," bisik istrinya. Camat Astambul, Drs. Ikhwan Ishak, didampingi kepolisian setempat, datang. Intan 33 karat selama tiga hari diinapkan di kediaman penemunya, lalu tiga hari lagi di kantor kecamatan, dalam penjagaan kepolisian. Hari ketujuh diadakan transaksi. Semula Haderi minta Rp 350 juta. Namun, setelah tawar-menawar, ia lepas juga dengan nilai Rp 80 juta. Pembelinya H. Muchlis dari Martapura. Sebagian besar wilayah Kabupaten Banjar (11.903 km persegi) memang menyimpan intan. Sepanjang sejarah, intan temuan Haderi adalah nomor dua terbesar. Sebelumnya, Agustus 22 tahun lalu, H. Matsam mendapatkan Intan Trisakti 156,72 karat di Desa Sungai Tiung. Akhir 1970-an, Galuh Cempaka (29,72 karat) dan Galuh Badu (26,50 karat) merupakan contoh lain penemuan penting, kendati tak spektakuler seperti temuan Matsam atau Haderi. Selebihnya merupakan temuan rutin, kecil, harganya ditentukan piat-perpiat. Satu piat, atau seperempat karat, bernilai + Rp 45 ribu. Sesudah Haderi, penemuan yang lumayan diperoleh Hamsan, seorang pemuda berusia 18 tahun. Jumat, 21 Agustus lalu, ia bersama empat temannya, semuanya warga Desa Mataraman, menyebut pula salawat "Allahuma sayiddina Muhammad." Ia berhasil mamicik Si Galuh 14 karat, yang kemudian laku Rp 50 juta. Setiap anggota tim mendapat Rp 8.360.000, sisanya entah dikemanakan. Hamsan, yang sebelumnya bermimpi mengangkat orang hamil, memanfaatkan uang itu untuk biaya kawin. "Uang pinangan sudah saya berikan," katanya, kepada TEMPO Selasa pekan lalu di pendulangan Lok Cintung, Kecamatan Simpang Empat. Haderi punya rencana yang lebih besar. Ia, yang pernah terlunta-lunta sebagai petani di Palangkaraya sebelum akhirnya 1982 mudik dan ditampung adiknya untuk hidup sebagai pendulang, mendapatkan bagian Rp 40 juta. Ditemani istri dan lima anaknya, plus adiknya, Intan, yang sudah menjanda, ia bercerita. Sebagian uangnya sudah dibelikan sawah 40 borongan (35 borongan adalah 1 ha), dan yang dibagikan kepada masyarakat setempat Rp 2,5 juta. "Saya juga akan beli rumah, karena yang saya tinggali sekarang adalah milik adik saya," katanya. Selebihnya? " Untuk naik haji tahun depan, bersama istri dan adik saya. Selebihnya lagi saya simpan di bank." Mohamad Cholid (Jakarta), Aimin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini