Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kalahnya

Mbah Watah Wiryosentono, Kepala Desa Wonocoyo dan Mbah Kartorejo, Kades Hargomulyo di Bojonegoro, menguasai tambang sumur minyak tua secara liar selama bertahun-tahun. Gubernur Wahono bertindak.

26 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA bukan Ibnu Sutowo. Bukan Ramly. Ia hanya Haji Masyhuri. Tapi tokoh tak dikenal ini kini harus mengelola 44 sumber minyak bumi, yang selama ini jadi sengketa. Dia kepala desa, juga ketua Koperasi Unit Desa Bogo Sasono -- nun jauh di Desa Sambeng, Bojonegoro, Jawa Timur. Tak urung ia kaget. "Saya seperti ketiban sampur," kata Pak Haji, mengungkapkan perasaannya yang senang-senang cemas, mendapat sebuah kans. Kesempatan mengelola sumber kekayaan itu datang dari Gubernur Ja-Tim, Wahono, melalui Kantor Koperasi Bojonegoro. Itu pertanda bahwa Gubernur telah menemukan penyelesaian atas sebuah konflik setempat yang unik: bagaimana mengambil alih sejumlah sumber "petrorupiah" yang beberapa tahun lamanya dikuasai oleh segelintir "orang kuat". Sudah beberapa dasawarsa sumur-sumur tua -- yang dalamnya bervariasi dari 50 hingga 700 meter itu -- ditambang secara tradisional. Minyak ditimba dengan ember besi yang bertalikan kawat baja. Dari 227 buah sumur yang ada, 44 buah masih subur. Letaknya di Desa Wonocoyo dan Hargomulyo, keduanya di Kecamatan Kasiman. Hasilnya 150 sampai 220 barel, atau sekitar 25 ribu hingga 35 ribu liter per hari. Milik siapa? Menurut konstitusi, seharusnya dikuasai negara. Tapi konstitusi, di kedua desa itu, rupanya tak berlaku. Di sana ada Mbah Watah Wiryosentono, 56 tahun, dan Mbah Kartorejo, 64 tahun. Masingmasing Kepala Desa Wonocoyo dan Hargomulyo. Keduanya tokoh di belakang bisnis minyak ini. Merekalah yang dianggap menikmati "petrorupiah" dari sumur-sumur minyak tua itu. Rumah Mbah Watah memang tampak lain. Hampir semua bagian penting terbuat dari kayu jati berukir. Apa yang dipajang di dalamnya? Kendi-kendi berlapis emas. Dan di luarnya, mobil cukup banyak, apalagi buat ukuran desa. "Mbah hanya punya sembilan mobil," kata Sukoco, carik Wonocoyo, orang kepercayannya. Tapi orang melihat sebuah kontras. Di luar rumah Pak Lurah, rumah-rumah desa tampak suram. Di lorong-lorong berseliweran bocah-bocah kurus bertelanjang dada. Rezeki limpahan minyak tampaknya tak menyebar rata. Menurut Sukoco, 20% dari keuntungan penjualan minyak jadi hak 10 orang pengurus usaha. Yang 20% lainnya dialokasikan untuk tunjangan lima pamong desa terpilih. Sebesar 10% lagi untuk upeti anggota Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Dan akhirnya, menurut teori, 15% dari hasil minyak bumi untuk kas dan 25% buat pembangunan desa. Sisanya, 10%, untuk pemeliharaan perlengkapan. Bahwa yang jadi amat makmur adalah pamong, itu ada sebabnya: baik pengurus usaha perminyakan lokal maupun pamong desa terdiri dari orang yang sama. Dan tak jelas bagaimana warga desa bisa mengontrol jalannya uang. Lalu keadaan itu pun terdengar ke luar. Mungkin ada yang iri, mungkin ada yang mencium ketidakberesan. Fraksi PDI DPRD Bojonegoro, misalnya, tahun lalu mempersoalkan hak pengusahaan minyak di situ, dan meminta agar pengelolaan dikembalikan kepada negara. Juga, Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas (PPT Migas) Cepu, 25 km dari Wonocolo, tak henti-henti mengklaim bahwa sumur-sumur itu ada dalam kewenangannya. Ir. Muchtisar Daeng Putra, Kepala PPT Migas Cepu, bisa memperlihatkan peraturan Menteri Pertambangan yang memberikan konsesi sumur itu kepadanya. Dan pers pun mendengar. Lalu bersuara. Tapi selama ini protes toh tampak tenggelam begitu saja. Mbah Watah tetap berkibar dengan sumur minyaknya. Ada kesan, "Raja Minyak" ini punya pelindung kuat. Betul atau tidak, perlindungan itu jebol juga setelah Gubernur Wahono turun tangan. Tapi tak berarti Gubernur tak dapat hambatan. Akhir April lalu, misalnya, Wahono sudah mengirim nota dinas kepada Bupati Bojonegoro. Disebutkan agar penyaluran minyak hasil penambangan di dua desa itu ditangani KUD, dan dijual ke Pertamina melalui ke PPT Migas Cepu. Pesan Gubernur: agar dibentuk koperasi untuk mengurus penambangannya. Namun, instruksi Gubernur tampaknya terhambat. Atau dihambat. Bahkan yang terjadi, di Wonocolo diselenggarakan pertemuan untuk membentuk koperasi lain. Rapat itu dihadiri pejabat perekonomian Pemda dan Kantor Koperasi. Di sana didirikan sebuah koperasi -- dengan nama yang agaknya melambangkan apa yang di baliknya: Sumber Rezeki. Pengurusnya? Mbah Watah ketua, dan Mbah Kartorejo wakilnya. Untuk posisi manajer diangkatlah Suminto, menantu Mbah Watah. Tapi tak semua aparat pemerintah di pihak mereka. Permohonan Koperasi Sumber Rejeki untuk disahkan oleh Kantor Koperasi di Surabaya ditolak. Alasannya, dalam satu wilayah kecamatan hanya boleh ada satu koperasi. Akhirnya turun nota dinas gubernur, yang tegas menunjuk KUD Bogo Sasono sebagai pengelola sumur minyak itu. Dan awal bulan ini tampaknya perintah itu tak bisa ditawar lagi. Pihak Sumber Rejeki menyerah. "Terserah apa kata atasan, tambang minyak itu bukan milik saya," kata Lurah Kartorejo. Di pihak lain, PPT Migas tentu lega. "Penambangan di dua desa itu liar," kata Ir. Muchtisar Daeng Putra, yang kini lebih bisa berperan. Menurut Muchtisar, betapapun sumur itu tak lagi ekonomis untuk ditambang secara modern, eksplorasi oleh penduduk menyalahi peraturan. Kini PPT Migas akan membayar Rp 89 untuk satu liter minyak kiriman Bogo Sasono. "Tak ada istilah jual beli," kata Muchtisar pula." Kami hanya memberikan imbalan jasa. Sekaligus pesangon bagi penduduk." Akankah dengan pengelola baru ini rakyat di kedua desa itu lebih bisa menikmati "petrorupiah", belum jelas. Yang pasti, tiga bulan lagi, menurut instruksi Gubernur, semua sumur minyak di situ akan dinyatakan tertutup bagi penambangan, dan diserahkan kepada P'PT Migas. Sumber Rejeki tak ada lagi. Putut Tri Husodo (Jakarta) dan Budiono Darsono (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus