Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Atmajaya, dengan sedih

Rektor frans danuwinata mengundurkan diri, menolak memecat sejumlah dosen dan karyawan yang ikut menandatangani petisi (yang dianggap menghambat kenaikan status berbagai fakultas).(pdk)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI pertama ia menjadi rektor (Desember 1980), mahasiswanya mogok, gara-gara malam kesenian mahasiswa tak diizinkan rektor terdahulu. Tapi Frans Danuwinata, lebih populer dengan panggilan Pater Danu, bukanlah tipe rektor yang suka menskors, apalagi memecat mahasiswa. Dengan bujukannya akhirnya mahasiswa mau belajar kembali. Maka agak mengejutkan, persis 1 April, di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, ada upacara serah terima jabatan rektor - kepada dr. Gerard Bonang. Seharusnya masa jabatan Frans Danuwinata baru berakhir Desember 1983. "Beliau mengundurkan diri karena alasan pribadi," kata Sekretaris Eksekutif Bidang Sosial Yayasan Atmajaya. Tapi suasana upacara Kamis pagi itu terasa tak enak. Beberapa pidato dibatalkan -- termasuk pidato perpisahan Frans Danuwinata. Beberapa mahasiswa membawa karangan bunga duka cita dan membagikan selebaran "Kami kehilangan seorang Bapak yang penuh kasih sayang." Pater Danu konon berhenti bukan semata-mata alasan pribadi. "Ada persoalan antara rektor dan Yayasan," tutur seorang mahasiswa. Persoalan itu muncul mulai Februari. Beberapa dekan meminta rektor supaya memecat tujuh dosen dan karyawan Universitas Atmajaya. Ketujuh orang itu ikut menandatangani pernyataan politik, seperti Petisi 360, Petisi 61 dan Petisi 30. "Pater Danu sebenarnya tidak setuju terhadap petisi-petisi itu. Tapi beliau menghargai pendapat kami," tutur seorang dosen Atmajaya yang ikut menandatangani petisi. Tapi ada kabarnya "teguran" rektor terhadap para penandatangan. "Pater menghimbau kami agar bersikap low profile sampai pemilu nanti," lanjut dosen tersebut. Frans Danuwinata, yang rapi berjas sewaktu upacara serahterima, tak bersedia memberikan komentar. Tentu, menurut beberapa sumber, para dekan mempunyai alasan lain pula. Dari enam fakultas, misalnya, baru Fak. Ilmu pengetahuan Kemasyarakatan (IPK) dengan ijazah sarjana muda dan sarjananya diakui pemerintah. Dari fakultas lain (seperti Ekonomi, Hukum, Keguruan dan llmu Pendidikan) baru sarjana mudanya saja yang diakui. Bahkan Fak. Teknik dan Fak. Kedokteran baru berstatus terdaftar. Nah, para dosen penandatangan petisi itu dianggap menghambat kenaikan status berbagai fakultas. Tapi, menurut seorang dosen, yang ikut menandatangani petisi, alasan itu dicari-cari. "Secara obyektif persyaratan di fakultas-fakultas Atmajaya sendiri kurang," katanya. Dilihat dari sarana fisik -- gedung, laboratorium dan perpustakaan -- Atmajaya tergolong unggul, bila dibandingkan dengan beberapa universitas negeri sekalipun. Berdiri megah di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, gedungnya berlantai delapan. Mahasiswanya berjumlah tiga ribu lebih. Tapi sedikit sekali dosen tetap di situ.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus