TERNYATA sulit bagi ekonomi Indonesia untuk tidak terpengaruh
ekonomi dunia. Ini terlihat dari angka laporan Bank Indonesia
yang mencakup akhir 1981. Menurut laporan tersebut, ekspor
Indonesia pada 1981 hanya naik 1% dengan jumlah US$ 21,9 milyar,
sedangkan pada 1980, ekspor melonjak 42%, dan pada 1979 naik
38%.
Praktis, ekspor Indonesia mandek tahun lalu. Sekalipun ekspor
minyak naik 12%, tapi pertambahan ini tak cukup untuk
mengimbangi kemerosotan ekspor di luar minyak, yang menurut
catatan terakhir, jatuh 29% dari tahun sebelumnya menjadi hanya
US$ 4,2 milyar --jumlah terendah selama dua tahun terakhir.
Pasaran untuk hampir semua komoditi ekspor Indonesia lesu, dan
harga jatuh. Ekspor kayu, penghasil devisa terbesar sesudah
minyak, turun 50%, menjadi hanya US$ 948 juta. Kopi, penghasil
devisa yang pentinglainnya, volume ekspornya turun 6% dan
nilainya jatuh 43%: hanya 224.000 ton kopi yang diekspor selama
1981 dengan hasil devisa US$ 372 juta.
Hal yang sama juga terjadi pada minyak sawit, karet, tembakau,
lada, bahkan juga pada pendatang baru seperti alat listrik,
pupuk dan semen. Hanya teh dan rotan yang mengalami kenaikan
ekspor, itu pun naiknya tak sampai 1%.
Tapi ada yang menggembirakan Cadangan devisa Indonesia pada
akhir 1981 rupanya bertambah sedikit, naik 2,7% menjadi US$ 13,2
milyar. Ini memang diperlukan untuk menghadapi penurunan devisa
dari minyak. Sesudah pertemuan OPEC terakhir di Wina, jelas
Indonesia hanya diperbolehkan memproduksikan sampai 1,3 juta
barrel sehari.
Cukup serius bagi APBN 1982/1983 yang mulai berlaku minggu ini.
APBN yang masih menggantungkan 70% penerimaannya dari minyak,
dan yang baru saja disahkan DPR dihitung atas dasar produksi
minyak 1,64 juta barrel sehari, dan atas asumsi harga minyak
tidak berubah sampai akhir 1982.
Dari pertemuannya di Wina OVEC bertekad untuk tetap
mempertahankan harga. Ini cocok dengan kalkulasi APBN. Tapi
produksi minyak Indonesia dikurangi dengan 0,34 juta barrel
sehari, dan perhitungan matematis sederhana akan menghasilkan
pengurangan devisa minyak dengan 365 x 340 ribu x US$ 35 atau
hampir US$ 4,5 milyar.
Pada transaksi berjalan, Neraca Pembayaran APBN 1982/83 terlihat
bahwa defisit diperkirakan US$ 4,5 milyar sendiri. Dengan
pengurangan produksi minyak tersebut, maka jelas defisit pada
transaksi berjalan Neraca Pembayaran akan melonjak menjadi US$ 9
milyar.
Dengan demikian diragukan apakah sasaran penerimaan APBN akan
tercapai. Para pengamat ekonomi Indonesia memperkirakan bahwa
realisasi penerimaan bisa meleset 15% dari anggaran, dan
pertumbuhan ekonomi bisa dibawah 8% tahun ini.
Impor Minyak
Kalangan industri minyak ada yang berpendapat, penurunan
produksi minyak Indonesia tidak harus berarti penurunan devisa
minyak. Minyak yang dikonsumsi di dalam negeri, kata mereka,
"bisa diambilkan dari impor, bukan dari minyak mentah dalam
negeri." Dengan mengimpor minyak yang harganya kini turun, dan
menyulingnya untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia, menurut
mereka, "mungkin menghemat devisa yang tidak sedikit. Apalagi
volume ekspor tak perlu berkurang, kalau produksi dalam negeri
untuk ekspor seluruhnya."
Indonesia selama ini mengimpor minyak mentah dari Arab Saudi
sebanyak 32,9 juta barrel setahunnya, dan mengimpor hasil minyak
lainnya seperti avtur (untuk kapal terbang), minyak tanah,
solar yang jumlahnya tahun lalu mencapai 21,4 juta barrel.
Harga minyak di luar kontrak, terutama dari negara bukan OPEC
seperti Inggris, Meksiko, sudah turun dengan US$ 4 per barrel.
Begitu pula harga beberapa jenis minyak mentah yang rendah dari
Afrika Utara dan Timur Tengah.
"Kalau mau, Indonesia bisa membelinya, diproses di dalam negeri
atau di Singapura, untuk konsumsi dalam negeri, dan sekaligus
menghemat devisa," kata kalangan industri Barat.
Ekspor minyak dari Indonesia sampai sekarang kurang lebih masih
sedikit di aus sejuta barrel sehari, dengan harga rata-rata US$
35 per barrel. Andaikata harga tersebut berhasil dipertahankan
sepanjang tahun ini, sesuai dengan konsensus OPEC di Wina
baru-baru ini, Indonesia pasti akan lebih beruntung ketimbang
banyak negeri OPEC lainnya. Apalagi harga minyak di pasar tunai
(spot) belum beranjak naik dari US$ 29 per barrel. Bahkan
beberapa pengamat minyak di Jakarta memperkirakan harga tunai
itu mungkin akan turun lagi dengan sedollar.
Para pejabat minyak sampai sekarang belum mau bicara tentang
kemungkinan dilakukannya siasat "jual semua, beli dari luar".
Tapi mereka juga tak serta merta menolaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini