Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bagaimana mengambil defisit itu

Menurut laporan BI, ekspor indonesia 1981 mengalami penurunan, meskipun cadangan devisa indonesia akhir 1981 naik 2,7% menjadi us$ 13,2 milyar. devisa ini untuk menghadapi penurunan devisa dari minyak.(eb)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA sulit bagi ekonomi Indonesia untuk tidak terpengaruh ekonomi dunia. Ini terlihat dari angka laporan Bank Indonesia yang mencakup akhir 1981. Menurut laporan tersebut, ekspor Indonesia pada 1981 hanya naik 1% dengan jumlah US$ 21,9 milyar, sedangkan pada 1980, ekspor melonjak 42%, dan pada 1979 naik 38%. Praktis, ekspor Indonesia mandek tahun lalu. Sekalipun ekspor minyak naik 12%, tapi pertambahan ini tak cukup untuk mengimbangi kemerosotan ekspor di luar minyak, yang menurut catatan terakhir, jatuh 29% dari tahun sebelumnya menjadi hanya US$ 4,2 milyar --jumlah terendah selama dua tahun terakhir. Pasaran untuk hampir semua komoditi ekspor Indonesia lesu, dan harga jatuh. Ekspor kayu, penghasil devisa terbesar sesudah minyak, turun 50%, menjadi hanya US$ 948 juta. Kopi, penghasil devisa yang pentinglainnya, volume ekspornya turun 6% dan nilainya jatuh 43%: hanya 224.000 ton kopi yang diekspor selama 1981 dengan hasil devisa US$ 372 juta. Hal yang sama juga terjadi pada minyak sawit, karet, tembakau, lada, bahkan juga pada pendatang baru seperti alat listrik, pupuk dan semen. Hanya teh dan rotan yang mengalami kenaikan ekspor, itu pun naiknya tak sampai 1%. Tapi ada yang menggembirakan Cadangan devisa Indonesia pada akhir 1981 rupanya bertambah sedikit, naik 2,7% menjadi US$ 13,2 milyar. Ini memang diperlukan untuk menghadapi penurunan devisa dari minyak. Sesudah pertemuan OPEC terakhir di Wina, jelas Indonesia hanya diperbolehkan memproduksikan sampai 1,3 juta barrel sehari. Cukup serius bagi APBN 1982/1983 yang mulai berlaku minggu ini. APBN yang masih menggantungkan 70% penerimaannya dari minyak, dan yang baru saja disahkan DPR dihitung atas dasar produksi minyak 1,64 juta barrel sehari, dan atas asumsi harga minyak tidak berubah sampai akhir 1982. Dari pertemuannya di Wina OVEC bertekad untuk tetap mempertahankan harga. Ini cocok dengan kalkulasi APBN. Tapi produksi minyak Indonesia dikurangi dengan 0,34 juta barrel sehari, dan perhitungan matematis sederhana akan menghasilkan pengurangan devisa minyak dengan 365 x 340 ribu x US$ 35 atau hampir US$ 4,5 milyar. Pada transaksi berjalan, Neraca Pembayaran APBN 1982/83 terlihat bahwa defisit diperkirakan US$ 4,5 milyar sendiri. Dengan pengurangan produksi minyak tersebut, maka jelas defisit pada transaksi berjalan Neraca Pembayaran akan melonjak menjadi US$ 9 milyar. Dengan demikian diragukan apakah sasaran penerimaan APBN akan tercapai. Para pengamat ekonomi Indonesia memperkirakan bahwa realisasi penerimaan bisa meleset 15% dari anggaran, dan pertumbuhan ekonomi bisa dibawah 8% tahun ini. Impor Minyak Kalangan industri minyak ada yang berpendapat, penurunan produksi minyak Indonesia tidak harus berarti penurunan devisa minyak. Minyak yang dikonsumsi di dalam negeri, kata mereka, "bisa diambilkan dari impor, bukan dari minyak mentah dalam negeri." Dengan mengimpor minyak yang harganya kini turun, dan menyulingnya untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia, menurut mereka, "mungkin menghemat devisa yang tidak sedikit. Apalagi volume ekspor tak perlu berkurang, kalau produksi dalam negeri untuk ekspor seluruhnya." Indonesia selama ini mengimpor minyak mentah dari Arab Saudi sebanyak 32,9 juta barrel setahunnya, dan mengimpor hasil minyak lainnya seperti avtur (untuk kapal terbang), minyak tanah, solar yang jumlahnya tahun lalu mencapai 21,4 juta barrel. Harga minyak di luar kontrak, terutama dari negara bukan OPEC seperti Inggris, Meksiko, sudah turun dengan US$ 4 per barrel. Begitu pula harga beberapa jenis minyak mentah yang rendah dari Afrika Utara dan Timur Tengah. "Kalau mau, Indonesia bisa membelinya, diproses di dalam negeri atau di Singapura, untuk konsumsi dalam negeri, dan sekaligus menghemat devisa," kata kalangan industri Barat. Ekspor minyak dari Indonesia sampai sekarang kurang lebih masih sedikit di aus sejuta barrel sehari, dengan harga rata-rata US$ 35 per barrel. Andaikata harga tersebut berhasil dipertahankan sepanjang tahun ini, sesuai dengan konsensus OPEC di Wina baru-baru ini, Indonesia pasti akan lebih beruntung ketimbang banyak negeri OPEC lainnya. Apalagi harga minyak di pasar tunai (spot) belum beranjak naik dari US$ 29 per barrel. Bahkan beberapa pengamat minyak di Jakarta memperkirakan harga tunai itu mungkin akan turun lagi dengan sedollar. Para pejabat minyak sampai sekarang belum mau bicara tentang kemungkinan dilakukannya siasat "jual semua, beli dari luar". Tapi mereka juga tak serta merta menolaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus