PUKUL 23.10, Sabtu malam, Presiden Soeharto keluar meninggalkan ruang sidang B 9 di Jakarta Convention Centre. Ia sedikit menunduk. Kali ini, tanpa senyumnya yang khas, ia berjalan membelah barisan wartawan. Di belakang Pak Harto ada pemimpin PLO Yasser Arafat dan PM Malaysia Mahathir Mohamad. Ada apa? Malam itu Sidang Biro Konperensi Nonblok sedianya akan merampungkan semua resolusi dari Komite Politik. Rupanya, sidang yang dimulai pukul 21.30 itu macet. Akhirnya upacara penutupan KTT pada Minggu lalu diundur dari Pukul 10 pagi hingga pukul 15.00. Padahal, sebenarnya Komite Politik dan Komite Ekonomi telah selesai dengan resolusinya. Namun, kata Menteri Ali Alatas, ada delegasi yang menganggap statemen mengenai Bosnia Hercegovina "kurang tegas". Mereka adalah dari Malaysia dan Iran. "Yang kami inginkan adalah statement tentang Bosnia itu lebih keras dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya," kata Menlu Malaysia Ahmad Badawi seusai sidang yang macet tadi. Katanya, Nonblok tak boleh membuat pernyataan kompromistis tentang pelanggaran hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat. Sementara itu, Iran tampaknya membawakan suara vokal dari pertemuan negara Organisasi Konperensi Islam (OKI) di Jakarta pekan lalu. Resolusi Bosnia ini adalah salah satu dari enam resolusi yang dihasilkan komite politik. Disebutkan, Gerakan Nonblok secara khusus mengutuk kekejaman pada rakyat di republik yang baru berdiri itu. Nonblok juga mengutuk kebijaksanaan pembantaian etnis di Bosnia dan menyerukan agar martabat manusia dihormati, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB dan resolusi badan dunia lainnya yang bicara soal Bosnia-Hercegovina. Kalimat keras begini rupanya belum cukup memuaskan Malaysia dan Iran. Akhirnya Wakil Ketua Nonblok Ali Alatas dan Ketua Komite Politik Obed Asamoah dari Ghana bertemu sampai pukul 03.30 subuh Minggu lalu. Konon, menurut sumber TEMPO, rumusan yang diinginkan Malaysia disetujui: memasukkan tambahan Serbia sebagai agresor dalam kasus Bosnia. Walau tak semua negara setuju, rumusan keras inilah yang diajukan ke Sidang Pleno. Yang menarik ialah bahwa dalam perkara lain, kesepakatan dengan mudah diperoleh: dalam sikap mengenai hak asasi manusia. Komite politik menelurkan resolusi, dengan nada keras dan lugas, bahwa tidak ada negara yang boleh menggunakan kekuasaan untuk mendikte negara lain dalam soal hak asasi manusia. Negara-negara anggota Nonblok memang pada umumnya dewasa ini menghadapi gerak diplomasi yang datang dari Eropa dan Amerika Serikat, yang mengaitkan bantuan ekonomi dengan syarat agar hak-hak asasi manusia di negeri yang dibantu dihormati. Bagi negeri-negeri Dunia Ketiga, seperti Indonesia dan Cina, soal menghormati hak asasi adalah soal dalam negeri -- dan apa yang disebut hak asasi manusia bisa punya tafsir lain. Masalahnya, sampai seberapa jauh negara Nonblok bisa bertahan dari desakan yang akhir-akhir ini semakin nyata dari negara maju. Dan negeri yang maju ekonominya punya banyak sarana untuk menekan. Misalnya dengan menggunakan dana bantuan dan perdagangan. Di samping itu, seperti dinyatakan Todung Mulya Lubis, ahli hukum dan bekas Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, keberatan negara Nonblok dalam soal hak asasi manusia adalah sikap yang mendua. Sikap Nonblok tentang Bosnia pun bisa diartikan sebagai intervensi urusan dalam negeri. "Bagaimanapun, itu bentuk intervensi. Sementara kita tak mau negara maju mencampuri urusan dalam negeri kita dengan mensyaratkan soal hak asasi atau perbaikan lingkungan," kata Mulya Lubis. Kesulitannya, tentu: suara yang terdengar dalam sidang-sidang Nonblok adalah suara para pemegang tampuk pemerintahan, bukan suara dari kalangan masyarakat yang takut akan terinjak hak-hak asasinya oleh negara mereka sendiri. Resolusi lain adalah tentang demokratisasi PBB. Ide membuat peta kekuatan dunia lebih berimbang ini rupanya juga tak semudah mengucapkannya, walau memang pantas terus digulirkan (lihat Sulitnya Menembus Gembok Veto). Tetapi, yang menjadi soal, pada dasarnya -- di luar forum bersama Nonblok seperti di Jakarta itu -- negara-negara Dunia Ketiga bukanlah sebuah kekuatan yang utuh dan seia sekata. Ada Iran-Irak, Irak-Kuwait, soal Kamboja, Cina-Vietnam, atau perebutan Kashmir antara India dan Pakistan. Dan seperti dikatakan oleh Juwono Sudarsono, guru besar politik internasional di Universitas Indonesia, semua soal ini, "Sudah penyakit langganan Nonblok sejak 1961." Apa yang kelak bisa dilakukan Indonesia dengan urusan politik yang selalu berulang itu? Tampaknya, upaya keras pimpinan Nonblok yang baru adalah menggeser urusan politik ke urusan ekonomi dan sosial -- suatu usaha yang diharapkan lebih produktif, dan dalam banyak hal dibuktikan dalam politik luar negeri Indonesia yang pragmatis sejak tahun 1966. Maka, misalnya, dalam resolusi kerja sama internasional dijajaki kemungkinan diadakannya KTT khusus soal ekonomi dan sosial. Kalau ini terlaksana, Nonblok akan mencatat babak ekonomi (tanpa politik). Bisakah urusan mengubah jalur Nonblok itu kelar dalam tiga tahun? Insya Allah. Bila benar, Indonesia, di bawah Presiden Soeharto, akan membuat sejarah baru. Toriq Hadad, Liston P. Siregar, dan Bina Bektiati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini