ADA satu pertanyaan (yang Anda mungkin pernah dengar) tentang dunia dan kemiskinan: "Seandainya di tahun 2000 nanti negeri-negeri yang ekonominya maju tiba-tiba tenggelam, akan jadi lebih baik atau lebih burukkah keadaan negeri miskin?""Akan lebih baik," jawab sebagian ahli."Lebih buruk," jawab sebagian ahli yang lain. Yang bilang bahwa Dunia Ketiga "akan lebih baik" tanpa negeri-negeri kaya, untuk mudahnya disebut saja Bibir Mer. Yang menyahut "akan lebih buruk"disebut saja Bibir Bir. Di tahun 1960-1970an, suara Bibir Mer cukup terdengar keras. Ini tak selalu ada hubungannya dengan gerakan kaum komunis. Ini lebih berupa cerminan dari suatu masa ketika frustrasi berkecamuk di mana-mana, melihat megap-megapnya proses pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga. Ini juga ekspresi dari rasa jengkel yang menyebar. Tidak mengherankan. Orang pernah mendengar tentang "Dasawarsa Pembangunan" yang dicanangkan PBB di pertengahan 1960an, disertai imbauan agarnegeri-negeri kaya menyumbang sedikitnya satu persen dari produk bruto nasional mereka untuk membantu ekonomi negeri-negeri yang tak berpunya. Tetapi apa hasilnya? Banyak yang berpidato (termasuk John F. Kennedy), tetapi tak banyak yang mau membayar penuh (termasuk Amerika Serikat). Dalam masa yang sama pula ekonom terkemuka asal Argentina, Raul Prebisch,aktif sebagai penganjur alternatif lain. Dalam analisanya, ia mengemukakanbahwa untuk kemajuan ekonomi bukan bantuan dari negeri kaya yang perlu. Yang perlu adalah perbaikan syarat-syarat perdagangan, yang selama ini hanyamenguntungkan "pusat" (negerinegeri kaya) dan merugikan "periferi" (negerinegeri miskin). Ketika di tahun 1964-1969 Prebisch menjadi Sekretaris Jenderal UNCTAD, konperensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan, itulah yang dikumandangkannya. Tetapi apa hasilnya? Harga hasil bumi -- ekspor utama negerinegeri miskin -- tetap dengan mudah terguncang turun. Di tahun 1970an ada usaha memobilisasisebuah Dana Bersama, untuk memberi bantal bagi negeri-negeri miskin jika guncangan harga komoditi terjadi. Tapi sampai hari ini gagasan bagus itu, seperti banyak gagasan bagus lainnya, tidak jelas di mana buahnya.Negeri-negeri kaya tak tertarik. Atau cuma purapura tertarik. Bibir Mer muncul dari kenyataan yang masam ini. Negeri kaya, kata Andre Gunder Frank, "mengeterbelakangkan" negeri miskin. Kerja sama antara masyarakat-masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan yang melarat mempersulitusaha di "periferi" buat memilih gaya pembangunannya sendiri. Bantuan asing,menurut Bibir Mer yang lebih radikal, hanya bagian dari sistem pengisapansecara internasional. Bantuan hanya memperpanjang umur rezim-rezim yang "reaksioner". Maka, yang harus dilakukan ialah "delinking" atau "decoupling". Dengan kata lain: bebaskan diri dari sistem pertalian ekonomiinternasional yang ada. Lepaskan diri dari ketergantungan, dari dependencia. Tutup pintu rapat-rapat. Lihat betapa hebatnya Korea Utara, Kuba, Cina, UniSoviet . . .. Tiba-tiba tahun 1980an berakhir. Uni Soviet hilang, berubah menjadi banyak negeri yang semuanya ingin ikut mencicipi kue ekonomi Eropa. Sementara itu, Cina sendiri (tetap Marxis Leninis, mereka bilang) menampik untuk terus "delinking". Hanya Korea Utara dan Kuba yang tinggal. Mungkin mereka bisa bertahan, mungkin tinggal menunggu waktu, tetapi yang jelas, Bibir Mer mulaihilang suaranya. Kini Bibir Bir bertepuk tangan. Bibir Bir, kita ingat, menganggap bahwa Dunia Ketiga akan menjadi lebih buruk seandainya di seberangnya tak ada negeri kapitalis. Mereka menunjukkan fenomena "macan masuk" yang terjadi di Asia Timur. Korea Selatan, Taiwan,Hong Kong, Singapura (dan kemudian Malaysia, Muangthai, dan Indonesia) membuktikan bahwa dengan masuk dan mengintegrasikan diri ke dalam sistem perdagangan, bantuan, investasi dan uang internasional, sejumlah negeri maju dengan pesat. Pesimisme tiga dasawarsa sebelumnya sedang dibantah. Ketika kemudian RRC ikut jalan ini, dan bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di atas10%, Bibir Bir kian keras bersorak sorai. Jadi, perlukah negerinegeri kaya bagi negeri-negeri miskin? Mungkin itu pertanyaan sebelum "macan masuk". Pertanyaan yang akan segera datang kiranya lain: "Seandainya di tahun 2030 negeri-negeri kaya yang disebut sebagai'kapitalisdemokratis' tenggelam, akan lebih buruk atau akan lebih baikkah keadaan hak asasi manusia dan proses demokratisasi di Dunia Ketiga?" Kitabelum tahu bagaimana jawaban Bibir Mer dan Bibir Bir. Kini banyak orang memang sedang bingung. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini