Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUSITANIA Expresso akhirnya memang menghindari "perang" dengan Armada Timur TNI-AL. Tapi sesungguhnya ada perang lain yang terjadi di atas kapal berbendera Portugal itu: perang informasi. Yang terlibat, wartawan Portugal dan nonPortugal. Jumlah kedua kubu cukup berimbang, 26 orang dari Portugal dan 34 orang nonPortugal -- jumlah peserta misi nonwartawan 75 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun tak secara langsung, perang antarwartawan inilah yang kemudian ikut mempengaruhi keputusan Kapten Luis dos Santos untuk menjauhi perairan Indonesia dan kembali ke Darwin. Di awal pelayaran, "perang" masih dalam batas wajar yakni adu cepat mengirim berita. Jaringan televisi dan radio ABC dari Australia, misalnya, enak saja membuat reportase langsung dari atas Lusitania ke negerinya lewat radio telepon yang dibawanya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, media massa yang memanfaatkan jasa telepon atau faximile dari kapal harus sabar menunggu. Sebab sistem penghubung dari kapal ke satelit telekomunikasi yang dipunyai Lusitania ngadat pada mulanya. Kabarnya, perbaikan sistem inilah yang sempat memperlambat jadwal keberangkatannya dari Darwin, Senin pekan lalu.
Setelah telepon dan fax hidup, yang terjadi adalah antrean panjang seperti orang bui menunggu makanan. Sebab di kapal itu hanya ada dua terminal. Belum lagi biayanya yang kelewat mahal. Percakapan telepon dikenai US$ 60 atau sekitar Rp 120 ribu per lima menit. Pengiriman fax dikutip US$ 20 sehelai. Repotnya, kalau saja giliran wartawan Portugal tiba, mereka akan nyerocos membuat laporan ke kantornya di negeri Matador sedikitnya 15 menit atau bahkan berlama-lama. Dan mereka biasanya antre berderet-deret "memblokir" telepon.
Untuk menghindari bentrokan, panitia memindahkan satu terminal ke dek, khusus untuk wartawan Portugal, dan satu lagi tetap di ruang pers untuk nonPortugal. Suasana makin mencekam ketika tiga helikopter Indonesia berputar-putar di atas kapal. Yang menjadi pokok soal, wartawan nonPortugal tak tahu persis apa yang akan dilakukan misi ini setelah dihadang armada Angkatan Laut Indonesia. Terus nekat? Atau balik ke Darwin? Maklumlah, konfirmasi yang diminta dari bekas Presiden Portugal Antonio Ramalho Eanes, misalnya, selalu ditolak.
Eanes hanya mau bicara dalam bahasa Portugis kepada wartawan Portugal. Tanda-tanda kenekatan memang tak terlihat. Ketika Lusitania Expresso berhenti sekitar lima mil dari wilayah Indonesia, ada penjelasan pimpinan rombongan, Rui Marques, "Misi tengah mengupayakan kontak dengan Sekjen PBB". Namun, para wartawan Inggris dan Australia menganggap ini hanya taktik mengulur waktu. Sedangkan para wartawan Australia, terutama jaringan televisi, tak kenal kompromi dengan deadline. Mereka bersaing ketat untuk menyiarkan perjalanan ini.
Sampai-sampai sebuah helikopter sudah disiapkan di Darwin untuk menjemput film liputan. Maka mereka mendesak kapten kapal untuk cepat kembali. Antonio Ravara, dari Channel 9 Australia, contohnya, terang-terangan mengatakan akan membuat liputan negatif kalau Lusitania tak cepat kembali ke Darwin.
Akhirnya pimpinan misi dan nakoda kapal menyetujui permintaan itu. Tentu saja banyak peserta dan wartawan Portugal dan peserta garis "keras" yang kecewa. Armine Seebass, mahasiswa Universitas Freiburg, sebagai contoh, langsung menghardik sekelompok wartawan nonPortugal di ruang makan. "Anda, kelompok media telah menyalahgunakan kekuatan Anda untuk memaksa kapal ini kembali. Anda mengancam akan melaporkan yang bukan-bukan kalau kami tak balik," kata pemuda Jerman ini.
Manuel Acacio, wartawan dari TSF Portugal yang mengaku pernah mewawancarai Fatima Gusmao (istri tokoh Fretilin Xanana Gusmao), juga kecewa berat. "Saya sebenarnya sudah menyerahkan nasib agar kami sampai di Dili. Kalau saya sampai mati, apa boleh buat," kata wartawan 28 tahun ini. Ada juga wartawan Portugal yang memilih tak ikut "perang" itu.
Rui Araujo, wartawan Radio Televisi Portugal Saluran Dua, misalnya, melihat kepentingannya di kapal hanya soal berita, tak ada urusan politik. Rui, 38 tahun, yang pernah ikut program Nieman Fellowship di Harvard University, AS, itu khawatir rakyat Timor Timur mengharapkan sesuatu yang tak dapat diberikan misi itu. "Sebagai pemerintah kolonial, Portugal tak berbuat apaapa," kata pemenang penghargaan tertinggi jurnalistik Portugal atas liputannya di kamp pengungsi Mozambik itu.
Minat untuk meliput perjalanan misi itu memang besar. Maklumlah, bercerita soal pelayaran ke Dili tentu tak terlepas dari Peristiwa 12 November, yang beritanya menyebar ke seluruh dunia. Quentin Fogarty dari Channel 9 Australia menyatakan alasannya, "Pelayaran ini saja sudah dimulai dengan sangat emosional. Peristiwa ini punya potensi besar dan dampak internasional." Maka jaringan televisi CNN -- yang terkenal dengan liputan Perang Teluk -- sampai ikut meliput.
CNN mengontrak Ian Hyslop, wartawan Channel 7 Australia, untuk membuat liputan bagi stasiun televisi Amerika itu. Di saat kapal hendak angkat jangkar, Senin pekan lalu, Hyslop diturunkan panitia karena paspornya kedaluwarsa. Hyslop tak putus asa, ia segera mengurus paspor baru.
Sehari setelah Lusitania Expresso berangkat, Hyslop mencarter sebuah motorboat (dengan tarif Rp 3,2 juta) untuk mengejar kapal itu. Akhirnya Hyslop bisa naik ke Lusitania Selasa siang sekitar pukul 12.00. Para wartawan ini memang diundang Paulo Veiga, redaktur majalah Sabado yang terbit di Lisabon, untuk meliput misi itu dengan biaya peliputan ditanggung masing-masing.
Harapannya, tentulah, liputan yang promisi ini. Bahwa akhirnya jadi berantakan, dan liputan pun sepi, barangkali ini memang soal bobot berita Lusitania sendiri yang sudah ngacir setelah diancam lewat radio.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis Dewi Anggraeni dari atas kapal Lusitania Expresso yang dilengkapi reportase Toriq Hadad dari Jakarta