KETUA PB NU Abdurrahman Wahid ternyata lebih terkenal dari Sekjen Golkar Rachmat Witoelar. Begitu antara lain hasil observasi yang dilakukan para wartawan TEMPO beberapa waktu yang lalu, di enam kota besar di Indonesia. Kenapa bisa? Bukankah Rachmat Witoelar tokoh penting sebuah organisasi politik terbesar? Jawabnya bisa bermacam-macam. Mungkin karena Gus Dur yang punya banyak ide aneh itu sering menjadi bahan berita koran. Atau mungkin juga karena Ketua PB NU ini lebih mengakar ke bawah. Gus Dur sendiri menjawab pertanyaan itu seenaknya. "Guru yang baik di sebuah kampung belum tentu dikenal oleh seluruh warga. Tapi satu orang gila di kampung itu, semua penduduk akan mengenalnya," katanya sambil tertawa. Yang jelas, kesimpulan dari hampir 300 sumber berita yang dihubungi TEMPO di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, Medan, dan Palembang, menunjukkan hal itu. Separuh lebih dari mereka mengaku mengenal nama Abdurrahman Wahid. Sedangkan yang mengaku kenal dengan Rachmat jumlahnya lebih kecil. Malah dari sejumlah sumber yang mengaku mengenal Rachmat, ada pula di antaranya yang memberikan jawaban yang salah, ketika ditanyakan partai mana yang mencalonkan Rachmat. Ada yang menyebut Rachmat dicalonkan oleh PDI, dan lebih banyak pula yang mengatakan Rachmat adalah calon anggota legislatif dari PPP. Untuk mengetahui sejauh mana masyarakat mengenal tokoh-tokohnya, para wartawan TEMPO sengaja membawa nama enam tokoh untuk diujicobakan kepada para sumber. Mereka ialah Abdurrahman Wahid, Kwik Kian Gie, Rachmat Witoelar, Jakob Tobing, Ahmad Muflih Saefuddin, dan Laksamana Sukardi. Semuanya calon anggota DPR RI kecuali Cak Dur dan Kwik. Rachmat dan Jakob calon dari Golkar, Saefuddin dari PPP, dan Laksamana Sukardi dari PDI. Ternyata, di antara para sumber yang ditemui itu -- yang merupakan calon pemilih dalam pemilu ini -- lebih banyak yang tak mengenal calon yang akan dipilihnya pada pemilu 9 Juni mendatang. Abdurrahman Wahid, sebagai tokoh yang paling banyak dikenal para sumber, ternyata cuma dengan pengenalan secara sepintas. Sekitar dua perlima sumber menyebut bahwa Ketua Forum Demokrasi ini adalah calon Golkar atau PPP. Padahal, dalam pemilu kali ini Cak Dur tak dicalonkan kontestan mana pun. Kwik Kian Gie lebih parah. Hanya sepersepuluh dari 2/3 sumber yang mengaku kenal Kwik, tahu ketua Balitbang PDI ini bukan calon anggota legislatif. Namun di antara para calon, Sekjen DPP Golkar Rachmat Witoelar paling dikenal. Hampir separuh sumber berita tahu mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB ini dicalonkan oleh Golkar. Setengah di antara jumlah sumber yang mengaku akan mencoblos Golkar dalam pemilu ini juga tahu bahwa Rachmat Witoelar seorang calon anggota legislatif. Popularitas Rachmat lebih baik bila dibandingkan dengan rekannya Jakob Tobing, salah seorang Ketua DPP Golkar, yang cuma dikenal kurang dari seperempat sumber. Bagaimana dengan calon dari PPP dan PDI? Saefuddin, yang menjadi calon nomor satu PPP untuk daerah pemilihan Jawa Barat, rupanya hanya dikenal oleh sekitar sepertiga sumber yang mengaku akan mencoblos PPP. Malah, sumber yang mengaku akan mencoblos PPP dan berdomisili di Bandung cuma seperempat jumlahnya yang tahu doktor dari IPB itu bakal menjadi anggota Fraksi PP hasil pemilu mendatang. Bankir Laksamana Sukardi, yang menjadi calon PDI untuk daerah pemilihan Jawa Barat, lebih tak populer lagi. Dari sejumlah sumber yang mengaku akan mencoblos PDI, cuma seperempatnya yang tahu bahwa eksekutif Lippobank ini dicalonkan oleh PDI. Pendukung PDI yang berdomisili di Bandung lebih tak mengenal dia. Tak sampai sepersepuluh dari sumber yang mengaku simpatisan PDI, di Bandung, yang tahu Sukardi adalah calon PDI untuk daerah pemilihan Jawa Barat. Mungkin nama depannya membuat bankir itu berkesan sebagai anggota Fraksi ABRI. Boleh dibilang pengetahuan para calon pemilih ini tentang para calon anggota legislatif dan kontestan yang diwakilinya amat minim. Cuma sekitar seperempat sumber yang mengaku akan memilih PPP memberikan jawaban yang benar. Jumlah yang hampir sama ditemukan pada sumber yang akan memilih Golkar. Sedang para calon pemilih PDI terhitung paling parah pengetahuannya tentang soal ini. Cuma seperenam yang menjawab benar. Kenapa fenomena di atas bisa terjadi? Menurut A.M. Saefuddin, semua ini sebagai konsekuensi logis dari sistem yang berlaku di Indonesia. "Calon anggota legislatif didrop dari atas," katanya. Apakah rakyat pemilih mengenal calon itu atau tidak, tak dianggap penting. Akibatnya lebih jauh, si calon juga tak mempunyai akses ke rakyat pemilihnya. "Demokrasi yang dimunculkan dari atas itu ya begini ini akibatnya," kata pengajar IPB itu. Bahkan, menurut Saefuddin, ini jadi petunjuk bahwa para calon setelah terpilih tak merasa perlu mendekati rakyat pemilihnya. Namun, diakuinya seorang tokoh punya wilayah sendiri-sendiri. Ada yang wilayahnya di lingkungan akademik, ada lingkungan politik. Di lingkungan akademik, misalnya, menurut Saefuddin, ia akan lebih dikenal dibanding Rachmat. Dan Rachmat lebih dikenal di kalangan politikus. Masalah ini, kata Saefuddin, sebenarnya bisa dihilangkan kalau seorang anggota DPR itu dicalonkan dari bawah. Yaitu bila pemilu menggunakan sistem distrik. Dalam sistem ini yang dipilih adalah orang atau calon, sehingga setiap calon bersaing merebut simpati rakyat pemilih. Dalam sistem proporsional yang dilaksanakan sekarang, rakyat memilih tanda gambar. Rupanya, mereka tak merasa perlu harus kenal partaipartai itu mencalonkan siapa. Namun, menurut Laksamana Sukardi, soal sistem pemilu itu tak perlu dipersoalkan. "Untuk menumbuhkan kepedulian rakyat agar mengenal calonnya, tak berarti harus melalui sistem distrik," kata Sukardi. Tegasnya sistem distrik tak cocok untuk masyarakat Indonesia yang majemuk. Yang penting sekarang ini, menurut dia, bagaimana membuat rakyat sadar politik. "Ketika rakyat memilih Banteng, Bintang, atau Beringin, mereka tahu artinya. Tahu konsekuensinya," katanya. Calon anggota DPR dari PDI ini menilai ketidakpedulian rakyat itu sebagai hasil dari tak berjalannya pendidikan politik. Dan ini merupakan akibat dari depolitisasi masyarakat yang diterapkan Pemerintah melalui kebijaksanaan massa mengambang. Sekarang, menurut Sukardi, kebijaksanaan itu harus diubah agar masyarakat menjadi sadar politik. "Kalau pemilu itu untuk legitimasi saja, buat apa?" katanya. Dengan kebijaksanaan massa mengambang, partai atau Golkar tak diperkenankan merentangkan sayap ke desadesa. Akibatnya, rakyat di tingkat bawah tak pernah terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan politik. Masuk akal pula kalau mereka tak terlalu mengenal pimpinannya. Kebijaksanaan ini diterapkan Pemerintah Orde Baru dengan alasan agar rakyat bisa lebih berkonsentrasi melaksanakan pembangunan. Sebelumnya, ketika partai-partai berlomba mengerahkan massa untuk menunjukkan kekuatan, desa-desa merupakan sumber potensial bagi rekrutmen kader partai. Desadesa pun terbelah menurut aliran politik partai. Sekarang rakyat desa memang tak lagi terkotak-kotak dalam partai. Satusatunya kekuatan politik yang akrab dengan mereka cuma Golkar. Partai pemerintah ini bisa sampai ke sana melalui para birokrat desa seperti lurah dan camat, yang nota bene kader Golkar. Ahli hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran Bandung Prof. H.R. Sri Soemantri, juga sependapat dengan Laksamana Sukardi. Sistem proporsional sekarang ini, menurut Soemantri, sebenarnya masih tetap layak dipertahankan, sekalipun sistem distrik memberikan peluang lebih besar kepada rakyat untuk lebih mengenal wakilnya. "Tapi sampai 20 tahun lagi pun sistem distrik belum memungkinkan," katanya. Kenapa? "PPP dan PDI pasti tak mau. 'Sebab, sudah pasti mereka bakal kalah," katanya. Lihat saja perolehan kursi lima tahun lalu, di semua lini, baik pusat, provinsi, maupun tingkat kabupaten, Golkar jauh lebih unggul. Namun, agar para calon dikenal pemilihnya, Sri Soemantri punya usul. Yaitu supaya para calon anggota DPR itu dipilih pada setiap konprensi atau kongres DPP tiap organisasi politik. Begitu pula untuk calon anggota DPRD, mereka dipilih dalam konperensi di tingkat wilayah, agar dikenal di bawah. Selama calon ditentukan oleh pimpinan pusat organisasi politik masing-masing, tentu keterikatan calon lebih besar ke pengurus pusat partai daripada kepada rakyat yang memilihnya. Artinya, mereka cuma menjadi kader jenggot, yang menggantung, tak punya akar ke bawah. Buat Abdurrahman Wahid, bukan sistem pemilu yang perlu dipersoalkan, melainkan tradisi politik. Belanda sampai saat ini menggunakan sistem proporsional seperti yang ada di sini, tapi nyatanya hasilnya cukup bagus. Para anggota parlemen di negeri itu, cukup dikenal pemilih. Hal itu karena tradisi politik di sana sudah baik. Lain halnya di sini, yang tak menganggap penting betul lembaga legislatif. Menebak partai mana yang akan menjadi pemenang pemilu, atau siapa saja anggota DPR yang akan datang, bukanlah sesuatu yang menarik perhatian orang. "Di sini, orang lebih tertarik membicarakan siapa yang menjadi dirjen daripada jadi anggota DPR," kata Cak Dur. Agus Basri, Ivan Haris, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini