POHON Beringin semakin rimbun daunnya. Si Banteng menyeruduk dengan tanduknya. Namun, ada Bintang yang agak redup sinarnya. Ini bukan kalimat mbah dukun yang biasanya diutakatik dan ditafsirkan ke dalam angka oleh pecandu SDSB. Tapi sebuah gambaran umum kecenderungan menjelang kampanye pemilu yang menunjukkan Golkar akan tetap berkibar pamornya. Sedangkan popularitas PPP bakal digoyang PDI. Inilah sebagian kesimpulan dari hasil observasi dan wawancara TEMPO, sebelum musim kampanye, terhadap 269 sumber berita yang ditemui secara kebetulan, dan tersebar di enam kota besar: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, dan Medan. Ciri-ciri sumber berita yang dihubungi itu diupayakan mendekati komposisi masyarakat perkotaan menurut usia, agama, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dan sebagainya. Komposisi demografi ini kemudian disesuaikan dengan asumsi terhadap kemungkinan keanekaragaman jawaban. Misalnya saja, komposisi jenis kelamin pria lebih banyak 20 persen, karena diasumsikan kaum hawa lebih konservatif dalam menunjukkan sikap politiknya, kendati data statistik menunjukkan di perkotaan jumlah wanita lebih banyak ketimbang pria. Ini tentunya dimaksudkan untuk menjaring sebanyak mungkin variasi sikap politik menghadapi pemilu nanti. Maka, jawaban yang terjaring memang beraneka ragam. Ada yang fanatik terhadap masing-masing kontestan pemilu. Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang bingung. Bahkan, ada yang menyatakan tak mau ikut memilih dalam pemilu mendatang alias golput. Mereka yang cenderung memilih Golkar ternyata semakin banyak jumlahnya dari tahun ke tahun. Partai pemerintah dari observasi ini memang punya akar pemilih yang kuat. Namun, kecenderungan ini diimbangi pula, sekalipun jumlahnya sedikit, dengan mereka yang golput (lihat grafik Kecenderungan Pilihan di Perkotaan). Kalau ada yang percaya bahwa mereka yang golput itu juga memiliki kesadaran politik, boleh jadi fenomena meningkatnya kaum golput ini merupakan cermin adanya ketidaksetujuan pada sistem yang ada, atau mungkin mereka apatis. Maklum, sebagian besar di antara mereka yang memilih golput ini beranggapan percuma saja memilih dua kontestan lainnya untuk mengimbangi Golkar, yang sudah telanjur dominan dalam kancah politik dan pemerintahan dalam dua dasawarsa terakhir. "Tak ada yang bisa diharapkan dari PPP dan PDI. Kasihan, siangmalam mereka jungkir balik mencari simpatisan selama masa kampanye. Hasilnya, kursi yang mereka peroleh tak lebih banyak dari yang didapat ABRI, yang sudah otomatis mendapat jatah 100 kursi di DPR," kata seorang sarjana hukum di Medan yang bersikap golput salah seorang dari 269 sumber berita TEMPO. Kecenderungan bertambahnya fans Golkar mungkin secara gampang menunjukkan hasil kerja mesin politik birokrasi yang efektif. "Golkar memiliki segala-galanya, termasuk finansial, yang tak bisa ditandingi oleh partai. Dengan dukungan birokrasi, Golkar sudah sejak awal di tingkat lokal berhasil mengorganisir pendukungnya," kata Affan Gafar, seorang pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sementara itu, dalam perjalanannya, Golkar memang berhasil menanam citra sebagai suatu wadah politik bagi kalangan profesional dan intelektual. Sehingga, seperti kata Lukman Nya' Abbas, 33 tahun, seorang pegawai negeri di Medan, "Golkar sudah menunjukkan karyanya dalam membangun negara. Jadi, lebih baik pilih Golkar, daripada pilih yang lainnya sama seperti beli kucing dalam karung.". Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah kecenderungan minat untuk mencoblos PPP yang semakin menyusut. Walaupun dari hasil wawancara ini sumber berita yang memilih Bintang tetap meningkat, peningkatannya masih kalah besar dibanding partai Banteng. Perolehan kursi PPP di DPR dalam Pemilu 1987 lalu hanya 61 kursi, anjlok dibandingkan dengan Pemilu 1982 yang 94 kursi. Sebaliknya, PDI malah meningkat tajam. Ini juga logis mengingat hasil Pemilu 1987 lalu si Banteng memperoleh 40 kursi bandingkan dengan Pemilu 1982, yang cuma 24 kursi. Kecenderungan ini, menurut Arbi Sanit, memang memungkinkan. Apalagi melihat penampilan PPP yang kalem dan tak menggairahkan. "Tapi kecenderungan itu terbatas di kota-kota besar saja. Secara nasional PPP tetap akan mengungguli PDI," katanya kepada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Bagaimanapun, ujar pengamat politik dari UI itu, PPP masih punya kantong suara di pedesaan yang sulit digoyahkan. Melorotnya pamor si Bintang ini, menurut Abdurrahman Wahid, disebabkan karena isuisu yang dilontarkan masih seputar isu agama dan "menakutkan orang". Maksudnya? "Kayaknya, diarahkan kepada masalah rasial atau soal kaya miskin. Padahal, orang sudah bosan. Sudahlah, agama jangan direndahkan dengan dikaitkan ke politik," kata Ketua Umum PB NU itu. Menurut dugaan Gus Dur akan ada kenaikan pada si Bintang, karena ada suara yang dulu lari akan pulang kandang. Dinamika pasang-surutnya perolehan suara tampaknya memang menarik untuk dikaji dengan melihat kecenderungan perilaku pemilih dalam dua pemilu lalu. Dari diagram "Perpindahan Pilihan Sumber Berita dari Pemilu 1982 dan 1987", yang diolah dari wawancara dengan sumber berita tadi, terlihat Golkar relatif lebih akomodatif sebagai tempat penampungan "orang yang menyeberang", entah itu dari PPP, PDI, atau golput sekalipun. Dalam Pemilu 1987, ada sekitar sepertiga warga Banteng yang keluar kandang dan berteduh di bawah Pohon Beringin. Sedangkan umat PPP yang menyeberang ke Golkar hanya sekitar separuh dari jumlah itu, atau hampir sama dengan warga golput yang kemudian "insyaf" dengan mencoblos Golkar. Toh akhirnya Golkar juga tumpuan buat pelarian golput, ketimbang PDI atau PPP. Jadi, kalau PDI meningkat suaranya pada Pemilu 1987 lalu, boleh jadi itu karena masuknya para pemilih baru. Sedangkan pemilih yang sebelumnya sudah mencoblos PDI sekali atau dua kali tampaknya punya kecenderungan untuk keluar kandang. Hal yang hampir sama juga dialami oleh PPP, walau jumlahnya lebih kecil. Gejala ini bisa dilihat dari Tabel Kelompok Usia Bakal Pilih Yang Mana. Mereka yang baru pertama kali memilih (17-22 tahun) memang cenderung mencoblos PPP dan PDI. Sedangkan pada usia yang relatif mapan (35-50 tahun) dan veteran (51 tahun ke atas) Golkar lebih populer. Ini amat menarik, karena rupanya basis PPP dan PDI tak sefanatik pemilih Golkar. Seorang dosen senior di Universitas Sriwijaya Palembang mengaku pernah mencoblos PPP di tahun 1977. "Tapi, dalam pemilu berikutnya saya pilih Golkar," katanya. Ia melihat "Program yang ditawarkan Golkar masih lebih jelas dibandingkan dengan PPP atau PDI." Memang, kecenderungan yang lari dari Pohon Beringin hampir tak ada. Tak sampai 2% yang bergabung ke PPP, dan 8,3% yang masuk kandang Banteng. Sedangkan perpindahan pemilih antar PPP dan PDI juga relatif tak berarti. Boleh jadi, itu karena faktor agama masih tetap menjadi perhitungan para pemilih. Tak heran kalau sebagian besar sumber berita yang dihubungi TEMPO itu berkeyakinan bahwa Golkar akan tetap memperoleh suara terbanyak. Ini juga dinyatakan oleh mereka yang mencoblos Bintang dan Banteng. Keunggulan Golkar mungkin karena kondisi masyarakat yang paternalistik seperti di Indonesia ini, yang melihat bahwa panutan, kewibawaan, dan kekuasaan berpusat di golongan "tua". Yaitu, golongan yang berada di pucuk-pucuk birokrasi. Sementara golongan yang muda berada di "pinggiran". "Kalau orang ramai-ramai ke jalan berkampanye mendukung sebuah kontestan, belum tentu semua akan mencoblos kontestan itu," ujar Abdurrahman Wahid. Akhirnya, seperti kata Abdurahman Wahid lagi, observasi tentang perilaku masyarakat kota menjelang pemilu ini hendaknya seperti melihat sebuah ramalan cuaca: Besok hari akan panas, tapi kalau hujan turun juga. "Ya, jangan nyalahin yang bikin prakiraan," katanya. Ahmed K. Soeriawidjaja, Ivan Haris Prikurnia, dan Taufik Rahzen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini