GOLPUT sebenarnya bukan barang baru di sini, dan itu tak cuma kelakuan orang kota. Lihatlah Pesantren Gentur di Desa Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat. Tak ada tanda gambar apa pun yang menempel di sana, dalam suasana maraknya kampanye di mana-mana. Soalnya, penghuni pesantren ini tak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti. "Saya hanya meneruskan tradisi," kata H. Darul Afiah alias Haji Dar, pimpinan Gentur. Tradisi ini, menurut Haji Dar, sudah berlangsung sejak pemilu pertama, 1955. Ia tak tahu persis alasan almarhum Kiai Abdulhaq Enoch, bapaknya, untuk memilih sikap itu. Namun, ia sendiri berpendapat, dengan menjadi golput, pesantrennya yang dihuni 100 santri itu akan jauh dari dunia politik. "Pesantren kan tempat belajar mengaji, bukan berpolitik," tutur Haji Dar. Pokoknya, menurut dia, tujuannya menjadi golput bukanlah untuk memusuhi Pemerintah. "Pada hari pencoblosan kami akan membaca salawat, mendoakan agar pemilu berlangsung aman dan tertib," tuturnya. Sejauh ini, tak seperti mahasiswa di Semarang yang dituduh melanggar pasal 154 KUHP, Haji Dar amanaman saja, sekalipun apa yang terjadi di sana sudah diketahui oleh Pemerintah setempat. Apalagi, kabarnya, Haji Dar tak pernah menyebarluaskan pahamnya ini ke luar pesantren. Kecenderungan pesantren untuk "menjauh" dari politik juga tampak di beberapa pesantren di Jawa Timur. Sekalipun tak sampai jadi golput, Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Asembagus, yang terkenal dan disegani itu, tiba-tiba menyatakan diri sebagai pesantren netral yang tak akan mendukung kontestan mana pun. Ini kabar besar. Maklum, pesantren ini dikenal sebagai pendukung fanatik PPP sejak 1977. Bahkan, pada pemilu 1987 lalu, di bawah pimpinan almarhum Kiai As'ad Syamsul Arifin yang amat berwibawa, Pesantren Sukorejo tetap "berkelahi" untuk PPP. Padahal, saat itu PPP sedang kena gelombang penggembosan NU. Maka, sementara di tempat lain suara PPP anjlok drastis, di Sukorejo PPP berkibar dengan mengantungi 70 persen suara. Sekarang, saat putranya K.H. R. Fawaid Syamsul Arifin menjadi pimpinan, muncullah pernyataan netral itu. "Itu karena wasiat Kiai As'ad. Saya disuruh sepenuhnya mengelola pesantren dan tak berpolitik praktis," kata Gus Fawaid, pemimpin sekitar 8.000 santri. Sekitar separuh dari santri itu adalah anak pejabat atau pegawai negeri. Sekalipun secara resmi pesantren besar ini menyatakan netral, gambar PPP banyak tertempel di kamar-kamar santri serta di kaus yang mereka kenakan di balik baju gamis yang putih. Banyak kiai di sana yang tampaknya masih berat melepas PPP. Taufik Abriansyah (Bandung), Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini