SUKMAWATI Sukarnoputri tiba-tiba muncul di Polres Jakarta Pusat, Senin siang pekan ini. Mengenakan kebaya panjang warna krem dengan kerudung cokelat, putri ketiga presiden Indonesia yang pertama, almarhum Ir. Soekarno, ini tidak sendirian. Ia ditemani 13 orang ibu-ibu lainnya dan menyebut kelompoknya dari Gerakan Rakyat Marhaen. Mengurus izin Munas? Ternyata, tidak. Sukmawati dan ibu-ibu itu menunjukkan aksi menentang operasi yustisi untuk pedagang asongan. Bukan dengan poster, tidak disertai petisi atau unjuk rasa. Mereka merogoh tas dan membayari denda para pedagang asongan yang usai diadili itu. Senin itu, ada 36 pedagang asongan yang beruntung mendapat bantuan. Rata-rata. seorang pedagang asongan yang tengah diadili membayar denda Rp 3.000 plus ongkos perkara Rp 1.000. Bukan itu saja, pedagang asongan ini masih mendapatkan lagi Rp 1.000 sebagai "uang saku" dari Sukma dkk. Para penentang Operasi Esok Penuh Harapan (OEPH), gerakan yang dipimpin dan dicetuskan Menko Polkam Sudomo, tampaknya tak cuma koar-koar di koran. Sejak operasi yustisi -- tindak lanjut OEPH -- dilancarkan 7 Mei lalu, para penentang OEPH juga turun ke kantor-kantor Polres, tempat peradilan kilat dilangsungkan. Seperti halnya kaum yang pro OEPH, para penentang ini juga berangkat dari semangat keprihatinan dalam memandang pedagang asongan. "Anak-anak asongan itu kan juga anak-anak bangsa Indonesia dan menjadi tanggung jawab kita bersama. Kami dari Gerakan Rakyat Marhaen ingin membela hak mereka yang mencari nafkah secara halal," kata Sukmawati penuh semangat. Bukan cuma Sukmawati yang "prihatin". Jauh sebelumnya, beberapa anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sudah turun ke Polres untuk membantu para wong cilik ini. Ide itu datang dari Tarto Sudiro, anggota MPR dari fraksi PDI. Kepada wartawan, Tarto menyatakan bersedia membayari denda para pedagang asongan yang tidak punya uang. Pengasong itu dipersilakan datang ke kantornya di Gedung DPR/MPR Jakarta. Tak ada pengasong yang memenuhi imbauan Tarto itu. Bukan apa-apa. Dari kantor-kantor Polres ke Gedung DPR/MPR terbentang jarak yang tidak dekat. Lagi pula, mana mungkin pengasong datang ke sana, sedang denda harus dibayar begitu vonis hakim jatuh. Kalau tidak, mereka dikenai hukuman kurungan alias masuk lembaga pemasyarakatan. Namun, agaknya, Tarto sendiri sadar kurang gesit. Setelah idenya direstui oleh Ketua Umum PDI, Drs. Soerjadi, terobosan nyata mulai dilakukannya. Ia mengumpulkan dana. Tak kurang dari Rp 500.000 yang sudah disalurkannya lewat para pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menemani para pengasong. "Motif utama saya kemanusiaan," kata Tarto. Ia mengakui dengan membayar denda itu tidaklah menyelesaikan masalah. Namun, toh ia bertekad akan tetap dengan usaha kemanusiaan itu sampai operasi yustisi berakhir, akhir Juni nanti. Bahkan teman Tarto separtai, Suko Waluyo, ikut juga bergerak ke kantor-kantor Polres sejak Selasa pekan lalu. Ia misalnya berhasil menghentikan tangis seorang anak pengasong yang didenda Rp 5.000 -- karena dua kali terjaring operasi. Banyak juga orang yang mencemooh dan menentang gaya sinterklas-sinterklasan model Tarto atau Suko ini. Fraksi Karya Pembangunan di DPRD DKI, misalnya. Lewat konperensi pers Selasa pekan lalu, sekretaris fraksi ini, Subagjo Partodihardjo, menyatakan dukungannya terhadap OEPH termasuk tindakan hukumnya. Mereka mencela pihak yang membayari denda para pengasong itu sebagai tindakan yang tidak mendidik. Salah seorang anggota fraksi, Albert Sirait, lalu memberi jalan keluar untuk pedagang asongan ini. Ia membuka kotak pos nomor 94. Pedagang asongan boleh melamar pekerjaan lewat kotak pos ini. Seminggu setelah pernyataan itu, kabarnya ada delapan pengasong mengirim lamaran dan semuanya ditampung. Sayangnya, Albert tidak ingin berlama-lama membuka kotak pos pribadinya. Alasannya, menambah kerja saja. Gubernur DKI, Wiyogo Atmodarminto, salah seorang penanda tangan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dijadikan dasar hukum penindakan pedagang asongan itu, tidak kurang berangnya. Ia mencela orang-orang yang membantu pedagang asongan membayar denda. "Itu tidak mendidik. Kalau mau bantu, berilah pancingnya, bukan umpannya," katanya. Purnawirawan letnan jenderal ini tampaknya konsisten dengan sikapnya membubuhkan tanda tangan di SKB itu bersama Ketua Pengadilan Tinggi, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Kapolda walau ia menandatangani paling belakangan, yakni ketika Sudomo berkunjung ke kantornya, 3 Mei lalu. Pro dan kontra terus berjalan. Pedagang asongan terus di jalanan. Operasi yustisi terus dijalankan. Di Polres Jakarta Timur, misalnya, sampai Sabtu pekan lalu, sudah disidangkan 350 orang. Sampai Senin siang lalu masih ada 25 pengasong terjaring. Sudomo sendiri tetap konsisten dan tetap siap dikritik. Apalagi, katanya, tindakannya itu didukung oleh Kepala Negara. "Presiden menyatakan agar meneruskan operasi ini. Beliau juga minta agar masyarakat tidak melihat dari segi penertiban saja, tapi harus dilihat sebagai pembangunan nasional secara menyeluruh. Bahkan, Presiden mengatakan agar masyarakat membantu atau mencari alternatif yang lebih baik dibanding OEPH," kata Sudomo seusai menghadap Kepala Negara, Rabu dua pekan lalu. Diah Purnomowati, Linda Djalil, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini