PETANI Nyoman Jagra, 45 tahun, tak peduli pada larangan menanam padi dari Bupati Tabanan. "Soalnya, hasil palawija tak begitu memuaskan, bahkan sering gagal," katanya memberi alasan. "Daripada saya tidak bisa hidup kan lebih baik tak mematuhi aturan." Jagra tak sendirian. Puluhan petani anggota kelompok Subak Priyuk juga berkeras. "Dari sekitar 100 ha tanah anggota kami, masih 30 ha yang ditanami padi," kata Wayan Rugag, pimpinan Subak Priyuk, yang didukung oleh 200 petani. Subak adalah organisasi tradisional Bali yang mengatur urusan irigasi tanah garapan anggotanya. Subak Priyuk di Kecamatan Penebel itu juga bukan satu-satunya subak yang membandel. Subak Jamanik dan Subak Uma Loda di Kecamatan Marga juga bertindak sama. Mereka menolak permintaan pemerintah untuk menanam palawija pada musim tanam April sampai Juli nanti. Akibatnya, Bupati Tabanan, I Ketut Sundria, memerintahkan agar saluran air ke tiga subak ini ditutup. Tapi itu tidak berarti persawahan ketiga subak itu kering. "Mereka merupakan subak natak tiyis yang mengambil airnya bukan dari sungai melainkan dari tirisan sawah di sebelah hulunya," kata Ir. Dwipa Wiyasa, Kepala Cabang Dinas PU Kabupaten Tabanan, kepada Silawati dari TEMPO. Jadi, penutupan sumber air hanya mengurangi tak menghentikan sama sekali aliran air. Dari sisa yang mengalir, Wayan Rugeg memperkirakan masih cukup untuk mengairi 30 ha sawah di kelompoknya. Oleh karena itu, para anggota Subak Priyuk sepakat untuk tetap menanam padi di sepertiga luas tanah mereka dengan harapan hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga panen berikut. "Tapi sebagai pimpinan, agar tak terlalu melanggar aturan, saya tak ikut menanam padi," kata Wayan Rugeg. Walhasil, tanahnya dibiarkan tak tergarap. Mengapa tak ditanami palawija seperti dianjurkan pemerintah? "Dengan kondisi tanah yang selalu basah sulit untuk mendapatkan hasil palawija yang baik," jawab Rugeg. Nasib ketiga subak itu ternyata mengundang sejumlah kritik. Dr I Nyoman Sutawan, seorang peneliti subak lulusan Los Banos, Filipina, melihat kasus ini sebagai contoh khas intervensi pemerintah terhadap lembaga tradisional subak. "Sanksi penutupan seperti itu saya kira mengancam eksistensi kemandirian subak," kata Sutawan. Ketua koperasi Bali-NTB itu menyadari maksud baik Bupati. Yakni agar rakyat menyelingi tanaman padinya dengan palawija. Itu adalah upaya mengamankan persawahan di Bali dari serangan hama. Hanya saja pakar ini menganggap seharusnya pemerintah daerah Tabanan bisa bertindak lebih persuasif. "Kalau sanksi penutupan itu memang dirasakan perlu, ya silakan saja," katanya. "Asalkan anggota dan pimpinan subak diajak bicara sebelumnya. Untuk menimbang apakah hal itu bisa diterima dalam awik-awik mereka," tambahnya. Awik-awik adalah semacam undang-undang yang hidup di kelompok subak. Para anggota sangat menghormati awik-awik itu. Bagi yang melanggar, sudah disediakan hukuman. Sanksi terberat adalah pengucilan dari kelompok. Bagi masyarakat Bali ganjaran itu akan terasa sangat berat. Menurut Sutawan, pemerintah seharusnya mengembangkan lembaga tradisional seperti subak dalam menjalankan pembangunan. Bukan melakukan "intervensi". Sebab, seperti yang diutarakan oleh Dr.Ir. Nyoman Sutjipta -- dosen di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali, "Dalam sejarah terbukti bahwa intervensi terhadap subak ternyata berdampak negatif." Menurut penelitian Sutjipta -- alumnus IPB -- hasil panen Bali dari tahun 1934 sampai 1981 selalu lebih tinggi daripada Jawa dan Madura. Bahkan tingkat produktivitas pada tahun 1935 mencapai 28,31 kuintal/ha atau 43% lebih tinggi dari panen di Jawa. Bahkan pada 1981 pun Bali masih memproduksi 6% di atas produksi Jawa. Tapi sejak terjadinya intervensi terhadap subak, keadaan berubah. Menurut Sutjipta, ini dimulai dengan dijalankannya proyek Insus di Bali pada 1979. Proyek itu membutuhkan dibentuknya kelompok baru petani untuk memastikan berjalannya sistem pertanian sesuai dengan rencana. Misalnya dalam soal pemupukan, waktu tanam, dan jenis padi yang ditanam. Walhasil, kelompok subak tersaingi dan ditinggalkan. Akibatnya mulai terasa tiga tahun kemudian. Sejak 1982 hingga sekarang tingkat produksi padi di Bali 3% -- 10% di bawah tingkat produksi di Jawa. "Itu akibat intervensi pemerintah, dengan program-program pertaniannya, merusak otonomi subak," kata Sutjipta. Suara senada dikemukakan Sutawan, yang merasa aneh dengan terjadinya kasus penolakan menanam palawija oleh kelompok subak. "Palawija adalah tanaman yang ditanam dalam pola tanam tradisional subak zaman dahulu," katanya. Justru program pertanian pemerintah sebelumnya yang mengubah. Yaitu program: padi-padi-padi dengan padi umur pendek, yang kemudian menggeser pola tradisional menyelingi dengan tanaman palawija demi peningkatan produktivitas. Baru setelah terbukti pola "padi-padi-padi" ini menyebabkan munculnya serangan hama besar-besaran, pemerintah mengubah programnya menjadi "padi-padi-palawija". Perubahan, itu menyebabkan petani bingung. "Sering juga karena petani melihat hasil padinya bagus lalu terus mau menanam padi saja," kata Gubernur Bali Ida Bagus Oka. Padahal, bila hal ini dibiarkan, bisa membahayakan program pemerintah memutuskan siklus hidup hama. Walhasil, Gubernur Oka tak mengesampingkan kemungkinan pemerintah akan mempusokan sawah petani yang membandel. "Tapi itu wewenang Bupati," katanya. Bupati Tabanan sebenarnya juga tidak anti pada kelompok subak. Pekan lalu, misalnya, ia memberikan bantuan kepada Subak Samsam berupa 50 kantung semen dan uang Rp 250 ribu untuk memperbaiki saluran irigasinya yang sering rusak. Djoko Daryanto (Denpasar) & Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini