SEORANG wartawan Indonesia, yang berkunjung ke Tembok Besar Cina beberapa tahun silam, kaget ketika beberapa kali disapa orang. Apalagi setelah seorang penerjemah menjelaskan, para penyapa itu ingin tahu, si wartawan datang dari provinsi mana. Kekagetan itu bisa dimengerti. Matanya tidak sipit, ciri fisiknya yang lain juga jauh dari "Cina". Belakangan ia maklum. Di RRC memang ada sekitar 4 suku bangsa dengan bahasa atau dialek dan budaya yang berbeda. Ciri fisik mereka pun berbeda. Yang berkulit putih dan bermata sipit dari Fujian. Yang berkulit hitam, berhidung mancung, dan keriting dari Xinjiang. Keturunan Cina yang ada di Indonesia jumlahnya 3 sampai 4 juta -- dan di Asia Tenggara umumnya, juga sangat heterogen Heterogensi itu bisa dilihat dari berbagai segi: dari hubungan dengan 'negeri leluhur', lamanya mereka tinggal di Indonesia, provinsi asal bahkan kota atau desa asal, dialek, pekerjaan, dan malah sampai ke pandangan politik. Kenyataannya, masyarakat Cina di Indonesia tidaklah monolit. Keadaannya sama dengan masyarakat Cina di Daratan Cina menjelang akhir abad lalu, yang dilukiskan oleh pelopor nasionalisme dan pendiri negara Cina Dr. Sun Yatsen sebagai "segenggam pasir" yang mudah tercerai-berai. Dilihat dari lamanya mereka berdiam di Indonesia, yang dengan sendirinya bisa dijadikan ukuran untuk memperkirakan seberapa jauh hubungan mereka dengan negeri leluhur, kita mengenal istilah peranakan dan totok atau singkek. Cina peranakan adalah mereka yang lahir di Indonesia dan sudah beberapa generasi tinggal di negeri ini. Orientasi kebudayaan mereka biasanya lebih ke Indonesia dengan campuran sisa-sisa kebudayaan Cina. Mereka umumnya tak bisa lagi berbahasa.Cina dan lebih fasih berbicara bahasa Indonesia afau bahasa lokal. Golongan totok atau singkek biasanya dilahirkan di Cina, masih berbahasa Cina (Mandarin) atau bahasa daerah asal mereka, dan masih beronentasi pada kebudayaan Cina. Orang-orang keturunan Cina datang ke Indonesia secara bergelombang, walaupun menurut kronik-kronik sejarah kuno sudah sejak abad ke-13 atau ke-14 telah ada beberapa permukiman orang-orang Cina di Indonesia. Gelombang pertama tiba di Indonesia sekitar akhir abad ke-16, ketika kaum kolonial Belanda mulai memperkuat kedudukannya. Gelombang berikutnya datang ketika di Cina terjadi kekacauan sebagai akibat runtuhnya ahala Ming (1368-1644) dan digantikan oleh ahala Qing (1644-1911) atau Manchu, yang dianggap sebagai penjajahan asing. Ketika itu banyak sekali patriot Cina yang tak suka dinasti Qing lari ke wilayah Nan Yang (Laut Selatan), yang telah menunggu mereka dengan kehidupan yang lebih baik. Kekacauan di Cina pada pertengahan abad ke-19 dengan adanya Pemberontakan Taiping, Boxer, dan makin lemahnya dinasti Qing, menyebabkan makin -- banyak lagi orang Cina yang lari ke atan. Kedatangan gelombang ini bersamaan waktunya dengan makin berkembangnya perekonomian Indonesia karena ia dikaitkan dengan ekonomi dunia. Sejak kedatangan gelombang besar orang Cina ke Indonesia pada abad akhir abad-16, dimulailah persekutuan ekonomi antara penjajah Belanda dan golongan huaqiao tersebut. Lantaran letak geografisnya yang lebih dekat ke wilayah Nan Yang, kebanyakan orang Cina di Indonesia datang dari dua provinsi di Cina Selatan: Hokkian (Fujian) dan Kwangtung (Guangdong) serta Pulau Hainan. Keragaman itu sampai saat ini masih berhekas dari macam-macam restoran Cina di Jakarta: ada Hokkian, Kanton (Guangzhou), Teochiu, Sichuan, dan lain-lain. Kebinekaan itu juga terlihat dalam pengambilan profesi yang mereka pilih. Sampai awal abad ini, setengah lebih dari semua orang Hokkian berkecimpung daiam perdagangan. Tapi di Jawa Barat dan pantai selatan-Sumatera, kebanyakan orang Hokkian terjun di bidang pertaman dan perkebunan, di Bagansiapi-api menjadi nelayan. Cukong besar Liem Sioe Liong adalah orang yang berasal dari Fujian, sedangkan Eka Tjipta Widjaja berasal dari Hakka. Orang Hakka di Jawa dan Madura lebih banyak bergerak dalam perdagangan, di samping juga aktif dalam industri. Di Sumatera mereka bekerja sebagai buruh tambang dan pertanian, sedangkan yang tinggal khusus di pantai barat Sumatera hidup dari perkebunan tembakau. Ada kekhususan dari orang Hakka ini: banyak dari mereka yang mendapat pendidikan tinggi. Orang-orang Hakka, Teochiu, dan Hailam (Hainan) juga berasal dari Provinsi Fujian. Dialek membedakan mereka dengan suku Hokkian, ma-yoritas penduduk Provinsi Fujian. Suku Kanton atau Kongfu agak berlainan dari yang lain. Mereka berasal dari Provinsi Guangdong. Mereka kebanyakan terjun ke lapangan industri, tapi ada juga yang menjadi tukang mebel. Di kalangan buruh-buruh tambang di Bangka dan Belitung, merekalah yang jadi mayoritas. Pembagian golongan etnis Cina menurut profesi seperti yang disebutkan di atas berlaku sampai akhir abad lalu. Ketika ekonomi Indonesia makin berkembang setelah masa Tanam Paksa, lebih banyak lagi dari mereka yang kemudian terjun ke lapangan perdagangan. Bahkan setelah kemerdekaan, mayoritas mereka sudah terjun ke bidang perdagangan, dan kecenderungan itu terus berlaku sampai sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini