BETULKAH pertalian negeri leluhur (zuguo) dengan kelompok etnis Cina tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan? Benarkah kesetiaan mereka selalu terbagi, sehingga patriotisme mereka selalu diragukan? Benarkah mereka selalu menjadi alat RRC untuk mengomuniskan kawasan ini? Itulah serentetan pertanyaan kalau kita membicarakan sepak terjang minoritas Cina di Asia Tenggara. Masalah ini memang kontroversial hingga selalu timbul pro dan kontra. Di satu pihak ada yang mengatakan hubungan orang Cina di luar negeri dengan Cina Daratan takkan pernah hilang lantaran nasionalisme kebudayaan mereka takkan pernah lenyap. Dengan kata lain, "Sekali Cina tetap Cina". Maka, mereka punya potensi menjadi "kolone kelima" dan karenanya mereka harus dicurigai. Tapi, di pihak lain ada teori yang mengatakan, perkembangan zaman, baik di Cina sendiri maupun di kalangan minoritas Cina, telah mengubah semuanya. Maka, tak layak lagi apabila golongan etnis Cina masih dicurigai. Kecurigaan terhadap golongan minoritas Cina yang dahulu lebih dikenal dengan sebutan Cina Perantauan (huaqiao atau hoakiao) itu bermula dari kebijaksanaan pemerintah RRC yang pada tahun-tahun awal memang berusaha menarik mereka. Kecenderungan itu telah menimbulkan reaksi kuat dari pemerintah-pemerintah Asia Tenggara yang umumnya antikomunis dan anti-Cina. Dan juga karena sekitar tiga perempat dari 20 juta etnis Cina yang berdiam di luar Cina, Taiwan, dan Hong Kong, tinggal di Asia Tenggara. Keterkaitan antara RRC dan Cina Perantauan sejak 1949 itu biasanya dihubungkan dengan pasal 58 UUDS (1949) dan pasal 98 UUD 1954, yang menyatakan RRC akan "berusaha keras untuk melindungi kepentingan semua orang Cina Perantauan yang tinggal di luar negeri". Malah golongan Cina perantauan ini punya beberapa wakil dalam Kongres Rakyat Nasional, badan semacam DPR di RRC. Jadi, pada mulanya kebijaksanaan RRC mengenai Cina Perantauan adalah berusaha mempengaruhi mereka agar mereka "setia" kepada Cina sebagai "tanah air" mereka. Malah Cina membujuk agar mereka sudi kembali ke Cina dan turut aktif dalam "pembangunan sosialis", mengirim anak-anak mereka untuk mendapat pendidikan Cina, menanamkan modal di Cina, dan mengirim uang untuk sanak keluarga mereka yang masih tinggal di Cina. Sebagai imbalan, Cina berjanji melindungi mereka dari perlakuan "tak adil" pemerintah tempat mereka tinggal. Dengan demikian, kebijaksanaan Beijing terhadap Cina Perantauan didasarkan pada prinsip ius sanguinis: kebangsaan seseorang ditentukan oleh kewarganegaraan orangtuanya. Beberapa krisis yang kemudian terjadi antara RRC dan beberapa negara Asia Tenggara sering berpangkal pada itu. Motif utama sikap Cina terhadap etnis Cina itu adalah uang. Setelah berhasil mengalahkan kaum nasionalis (Kuomintang), kaum komunis mewarisi sebuah negeri yang porak-poranda akibat perang yang tak pernah terputus selama lebih dari satu abad. Karenanya, tugas raksasa RRC dan paling mendesak pada waktu itu adalah membangun kembali negara. Untuk itu mereka memerlukan modal, dan karenanya dana dari mana pun dan sebesar apa pun harus dikonsolidasikan, terrnasuk uang dan para huaqiao. Apalagi uang dari mereka itu berupa devisa asing, karena dana tersebut umumnya dikirim via Hong Kong. Khusus untuk mengatur hubungan dengan para huaqiao ini, pemerintah RRC membentuk badan yang disebut Komisi Masalah Cina Perantauan (Huaqiao Shiwu Weiyuanhui) dengan kedudukan yang sama dengan kementerian. Dilihat dari perspektif sejarah, RRC bukanlah pemerintah Cina satu-satunya yang menjalankan kebijaksanaan seperti itu. Sebenarnya, ia hanya meneruskan kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah ahala Qing (1644-1911) maupun Kuomintang (1912-1949), yang sama-sama mempraktekkan asas ius-sanguinis. Dengan demikian, RRC hanyalah meneruskan tradisi. Tapi, lantaran ia pemerintah komunis dan pada waktu itu komunisme sedang sibuk-sibuknya berekspansi, ditambah lagi dengan suasana perang dingin, kecurigaan terhadapnya dan terhadap golongan etnis Cina sendiri semakin besar. Akibatnya, tak mengherankan apabila golongan Cina itu dicurigai. Di Indonesia sendiri, kecurigaan pemerintah dan rakyat Indonesia akan sepak terjang RRC dan golongan etnis Cina itu bertambah besar karena, begitu kedutaan RRC di Jakarta dibuka pada 14 Agustus 1950, duta besar pertama Cina, Wang Renshu, dengan segera menghubungi berbagai organisasi kemasvarakatan Cina dan mencoba mengalihkan simpati dan kesetiaan mereka dari pemerintah Kuomintang ke Beijing. Kemudian terjadilah perebutan pengaruh antara Kuomintang dan RRC di kalangan etnis Cina. Ini sungguh tak menggembirakan Jakarta. Karena itu pulalah di kalangan pejabat pemerintahan, ilmuwan, dan pendapat umum, muncul teori-teori tentang "kolone kelima", "bahaya kuning", dan huaqiao sebagai "saluran untuk menaklukkan" Asia Temggara. Dikatakan pula, mereka adalah aset buat mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah-pemerintah lokal terhadap huaqiao dan terhadap Cina sendiri. Pendeknya, kedudukan golongan etnis Cina dalam politik luar negeri Cina adalah strategis dan unik. Apalagi mereka itu menguasai sebagian besar bidang ekonomi kawasan ini. Tapi, ada pendapat alternatif yang mengatakan, sejak 1955 RRC telah meninggalkan kebijaksanaan di atas. Perubahan itu terjadi berhubung untuk pertama kalinya Beijing menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat di kalangan golongan etnis Cina dalam persoalan kesetiaan kepada Cina. Dalam pada itu, pemerintah RRC pun tak bisa lagi mempengaruhi orang-orang Cina yang tinggal di luar Cina, lantaran hampir semua pemerintah lokal menutup sekolah-sekolah Cina yang pada masa-masa lalu menjadi "jembatan" politik dan kebudayaan antara etnis Cina dan Daratan Cina. Karenanya pula generasi muda golongan ini mau tak mau harus mengalami proses menjadi penduduk lokal. Sebuah studi yang dilakukan Wu Chun-hsi menunjukkan keuntungan finansial dari kaum Cina perantauan yang dinikmati pemerintah Cina pada 1950-1964 cenderung menurun (lihat Grafik). Stephen Fitzgerald, seorang profesor Australia, adalah orang yang untuk pertama kalinya mengatakan, sejak 1955 pemerintah RRC telah beberapa kali berusaha melepaskan diri dari persoalan Cina perantauan itu. Usaha yang disebut Fitzgerald sebagai "upaya dekolonisasi" itu terdiri dari tiga segi. Pertama, menganjurkan agar orang-orang Cina yang berdiam di luar negeri menjadi warga negara lokal. Kedua, berusaha tak campur tangan dalam kebijaksanaan pemerintah-pemerintah lokal dalam masalah golongan Cina. Ketiga, menganjurkan kepada golongan Cina yang tak kuasa berasimilasi untuk kembali ke Cina. Malah dalam masalah kiriman uang,kata Fitzgerald lagi, sejak akhir 1957 pemerintah Cina telah memisahkan masalah ekonomi dari politik. Artinya, uang yang dikirimkan oleh orang-orang Cina perantauan itu adalah demi kesejahteraan saudara-saudara mereka yang masih ada di Cina, dan tidak lagi dinikmati oleh pemerintah Cina. Perubahan politik ini terjadi pada waktu yang bersamaan ketika politik luar negeri Cina mulai beralih ke "tengah". Itu terjadi sebagai akibat tanda-tanda adanya keretakan dengan Uni Soviet dan untuk pertama kalinya Cina melihat potensi negaranegara netral -- termasuk Indonesia untuk menjadi sekutu Cina melawan imperialisme Barat. Ini mencapai puncaknya dengan partisipasi Cina dalam Konperensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955. Dilihat dari segi ini, bukan hal yang kebetulan kalau kemudian RRC menandatangani Perjanjian Dwikewarganegaraan dengan Indonesia tak lama sebelum KAA berlangsung. Persetujuan itu menyatakan, Cina perantauan di Indonesia diberi kesempatan selama dua tahun untuk memilih menjadi warga negara Indonesia atau tetap mempertahankan kewarganegaraan Cinanya. Perjanjian tersebut pada dasarnya mengubah kebijaksanaan Cina akan masalah huaqiao. Sejak saat itu, pada pendapal kedua ini, Cina telah menganjurkan orangorang Cina yang tinggal di luar negeri untuk menjadi warga negara lokal. Sedangkan perjanjian dengan Indonesia akan dijadikan model untuk memecahkan masalah huaqiao. Walaupun hubungan Jakarta Beijing sempat memburuk sebagai akibat keluarnya PP 10 1959 yang melarang orang asing (baca: Cina) berdagang dan bertempat tinggal di desa-desa, Perjanjian Dwikewarganegaraan sempat ditandatangani. Tapi, meletusnya Revolusi Kebudayaan di Cina memunculkan kembali kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara akan kemungkinan Cina menggunakan golongan ini untuk kepentingan politiknya. Kecurigaan itu timbul lantaran adanya seruan dari Daratan Cina agar orang-orang Cina yang tinggal di luar negeri turut mempraktekkan ajaran-ajaran Mao. Akibatnya, pada 1966-1969 di beberapa negara Asia Tenggara -- Indonesia, Burma, dan Kamboja -- terjadilah serangkaian insiden antipemerintah dan terjadi pula huru-hara anti-Cina. Di Indonesia peristiwa itu diperhebat dengan adanya perisiwa G30S-PKI. Isu hubungan Daratan Cina dengan golongan minoritas Cina ini muncul kembali pada akhir 1977 ketika koran RRC Harian Rakyat menyerukan kepada mereka untuk turut dalam pembangunan Cina atas dasar program Empat Modernisasi. Akibatnya, timbul lagi kecurigaan bahwa RRC sekali lagi sedang berusaha menarik etnis Cina agar mereka berorientasi kembali ke Cina secara ekonomis, politis, dan budaya. Kali ini Cina mulai membedakan antara huaqiao dan keturunan Cina yang sudah menjadi warga negara Indonesia yang disebutnya sebagai qinji pengyou (sanak saudara dan handai tolan). Kecurigaan ini diperhebat lantaran konflik bersenjata Cina-Vietnam pada 1979 yang pemicunya antara lain masalah etnis Cina juga. Muncullah tuduhan baru bahwa dalam penyelesaian masalah Cina, pemerintah Cina pasca-Mao lebih "galak" ketimbang pemerintah semasa Mao. Ada juga yang mengatakan pernyataan 1978 itu harus dihubungkan dengan program Empat Modernisasi (Sige Xiandaihua). Dikatakan, untuk memacu program tersebut, pemerintah Cina memerlukan pakar teknologi tinggi keturunan Cina dan modal besar, yang dimilik banyak kapitalis keturunan Cina. Merekalah yang diimbau untuk berpaling kembali ke negeri leluhur. Atas dasar itu "orang Cina kebanyakan" tak termasuk ke dalam hitungan yang diimbau oleh RRC. Maka, kecurigaan pun muncul karena imbauan itu ditujukan kepada masyarakat Cina secara menyeluruh. Mungkin, untuk menangkis tuduhan itu, menjelang 1979 RRC mengesahkan UU Kewarganegaraan baru yang pasal-pasal tiga, empat, dan limanya antara lain mengatakan, RRC tak lagi mengakui prinsip dwikewarganegaraan, bahwa seseorang yang lahir di luar negeri dari orangtua berwarga negara Cina tapi sudah lama berada di luar negeri dan sudah menjadi warga-warga asing, tak secara otomatis warga negara Cina. Asas yang dianut pemerintah Cina untuk menentukan kewarganegaraan sekarang tak lagi ius-sanguinis semata, tapi juga dengan ius-soli yang menentukan kewarganegaraan pada tempat kelahiran. Atas dasar itu pula muncul pendapat, istilah huaqiao yang secara bebas dapat diartikan orang Cina yang pergi ke luar negeri dan akan kembali ke Cina, tak berlaku lagi. Sebagian besar etnis Cina di kawasan Asia Tenggara sudah menjadi warga negara lokal, kecuali sejumlah orang yang resminya masih berstatus warga negara RRC -- termasuk 300 ribu yang berdiam di Indonesia. Mengikuti pendapat ini, istilah huaqiao hanyalah diterapkan pada orang Cina yang berdiam di luar negeri dan masih mempertahankan kewarganegaraan Cinanya. Sedangkan untuk orang Cina lokal ada yang mengusulkan istilah huayi (etnis Cina) atau huaren (orang Cina). Ada yang menggunakan istilah "keturunan", atau istilah yang salah kaprah "WNI". Lalu, bagaimana dengan kesetiaan dan keterikatan kepada "negeri leluhur"? Sementara pengamat mengatakan itu tak perlu dirisaukan karena hanya generasi tualah (yang berusia di atas 60 tahun) yang masih merindukan zuguo. Terputusnya hubungan diplomatik Indonesia -- Cina selama 23 tahun telah memutuskan pula hubungan batin itu -- kalaupun ada. Tambahan lagi, setelah terjadinya peristiwa Tiananmen pada 4 Juni tahun lalu siapa pula dari generasi muda etnis Cina yang tertarik untuk kembali ke Cina. Walaupun ada ketertarikan untuk mengunjungi Cina, itu tak lebihdari perasaan ingin tahu belaka. Namun, bila RRC masih juga menggunakan istilah huaqiao yang begitu rancu, tanpa peduli apakah keturunan Cina itu masih menjadi warga negara Cina atau bukan, kecurigaan itu pasti akan terus ada. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini