ORANG akan menduga ia hoakio dari Indonesia kalau berbicara dengan dia. Bahasa Indonesianya amat lancar. Bahkan, sih dan deh termasuk dalam perbendaan kata yang sering diucapkannya. Profesor madya Ju San Yuan, 53 tahun, -yang ahli bahasa dan kesusastraan Indonesia terkemuka di RRC. Tapi, siapa yang mengira Ju baru sekali menginjak Indonesia, itu pun pada 1988, sebagai penterjemah rombongan akrobat Shen yang berkunjung ke Jakarta. Kecintaan Ju pada bahasa Indonesia tumbuh ketika ia akan masuk ke Universitas Beijing pada 1956. Ketika itu, padanya diperdengarkan rekaman bahasa Indonesia "Bunyinya merdu beseperti kecimpung air di kampung halaman saya," tanya. Sejak itu, bulat tekadnya memilih jurus ini sebagai jalan hidupnya. Jurusan Bahasa Indonesia (BI) Universitas Beijing sudah didirikan pada 1949. Kelas pertama untuk 25 mahasiswa, dengan dosen yang - umumnya bekas hoakio dari Indonesia. Dalam tempo tiga tahun, muridnya mengembang jadi 100 orang. Kuliah bisa diselesaikan dalam waktu 4-5 tahun. Mata kuliah yang diberikan antara lain Dasar Bahasa, Tata Bahasa, Sastra Indonesia, dan Hukum Islam. Selain Universitas Beijing, Bahasa Indonesia juga pelajari di Universitas Bahasa Asing Beijing, dan Institut Bahasa Asing Guangzhou. Akibat Revolusi Kebudayaan, penerimaan mahasiswa jadi tersendat-sendat. Setelah terhenti empat tahun, 1970 diterima lagi 22 orang mahasisa baru. Terhenti lagi. Lalu, dibuka kembali pada 1983, dan para mahasiswa terkhir yang kini masih kuliah di tingkat IV adalah angkatan tahun 1986. Lulus pada 1961, hanya Ju yang direkomendasi melanjutkan kuliahnya ke jenjang S3. Disertasinya yang berjudul Urutan Kata-Kata Bahasa Indonesia selesai tahun 1964 dengan hasil baik. Tapi Revolusi Kebudayaan merenggut semuanya. Gelar doktor yang seharusnya digondol Ju tidak diberikan. Ia dikirim untuk "belajar pada buruh, tani, dan prajurit" di Provinsi Jiangsi dan beberapa kabupaten di luar Beijing selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, ia terkena kerja paksa. Ia merasa beruntung karena sempat membawa sebuah kamus bahasa Indonesia. "Hingga saya tak melupakan sama sekali bahasa Indonesia." Tatkala bekerja di suatu pertanian ia bertemu dengan seorang hoakio asal Indonesia, hingga bisa mempraktekkan pengetahuannya. Setelah Revolusi Kebudayaan dan gelombangnya usai, Ju bisa kembali ke posisinya di Dewan Guru Bahasa Indonesia pada Maret 1977. Kemudian, berbekal Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta, Ju bersama 26 orang dosen dan lulusan BI ikut menyusun Kamus Baru Indonesia-Tionghoa yang sudah dimulai dua tahun sebelumnya. Penyusunan kamus itu dipimpin oleh Profesor Liang Liji, Direktur Pusat Penelitian Masalah Kebudayaan Indonesia dan Melayu Universitas Beijing. Kamus ini selesai pada 1986, tapi baru bisa diterbitkan akhir 1989 (setelah ditambahi kata-kata baru dari Kamus Besar Bahasa Indonesia) sebanyak 45 ribu eksemplar dengan harga 29,50 yuan (sekitar Rp 11.000). Buku ini adalah pembaruan dari kamus serupa yang terbit tahun 1963. Kamus dengan 754 halaman itu dicetak 45 ribu jilid, dan di luar dugaan sangat laris seperti pisang molen. Karena keseriusannya, Ju diizinkan pergi ke luar negeri untuk memperluas pengetahuan bahasa Indonesia. Tentu saja Ju ingin sekali ke Indonesia, tapi saat itu mana mungkin? Dari seorang sarjana Belanda yang pernah memberikan ceramah di Universitas Beijing, Ju akhirnya bisa berhubungan dengan Profesor A. Teeuw di Belanda. Pada awal 1980-an Ju pergi ke Belanda. Dengan bimbingan A. Teeuw, Ju berhasil mempublikasikan sebuah karyanya yang berjudul Hukum DM dan Lingkungan Pemakaiannya. Tidak pernah terpikirkan oleh Ju kecil bahwa ia akan bergelar profesor. Ia dilahirkan pada 1937 di desa kecil di luar kota Changzhou di RRC selatan dari keluarga petani miskin. Ayahnya meninggal sebelum ia lahir, sedang ibunya buta. Maka, ia dibesarkan oleh pamannya yang hanya menyekolahkan sampai tamat SD. Sesudahnya, ia harus bekerja di toko obat. Majikannya kejam, dan Ju kecil kerap mendapat hadiah pukulan darinya. Ju terselamatkan dengan keluarnya kebijaksanaan pemerintah bahwa sekolah terbuka untuk anak petani miskin. Ia bisa menyelesaikan SMP dan SMA-nya di Suzhou -- kota terdekat dari desanya -- dengan beasiswa pemerintah. Minatnya yang besar untuk mempelajari bahasa menyebabkan ia dianjurkan masuk ke Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Beijing. Ketika masih mahasiswa, JU sudah menerjemahkan beberapa sajak Indonesia mengenai pembebasan Irian Barat yang dimuat di Renmin Ribou (People's Daily). Ia juga menyadur beberapa karangan, seperti Kunanti di Sela Bali karangan Suparto Brata, kutipan Hang Tuah diutus ke Negeri Cina dari Hikayat Hang Tuah, dan menerjemahkan saja Chairil Anwar Aku. Di luar itu, puluhan buku Indonesia lainnya telah diterjemahkan di RRC oleh para rekan JU. Buku pertama yang diterjemahkan adalah Salah Asuhan karangan Abdul Muis, yang menurut Ju amat disenangi anak muda Cina pada akhir 1950-an karena persamaan setting: bentrokan antara Timur dan Barat. Setelah itu, diterjemahkan juga Belenggu (Armijn Pane), Roro Mendut saduran Ajip Rosidi, Bila Malam Bertambah Malam dan Pabrik dari Putu Wijaya, Harimau, Harimau dari Mochtar Lubis. Hampir semua karya Pramudya Ananta Toer juga diterjemahkan di RRC. Belenggu tercatat paling laris, dicetak 40 ribu buah dengan harga sekitar Rp 1.800 per eksemplar. Disusul Roro Mendut 31 ribu buah. Ju, bapak dua anak perempuan ini, amat gembira dengan normalisasi hubungan RI-RRC. "Air akan mengalir lebih lancar," katanya. Pertukaran sarjana dan mahasiswa bisa dilakukan. Kesulitan memperoleh bahan bacaan untuk penelitian, yang dulu terasa sekali, diharapkan bisa teratasi. Dan, yang membahagiakan wakil sekjen di Pusat Penelitian Asia Pasifik Universitas Beijing ini adalah meningkatnya minat generasi muda RRC untuk mempelajari bahasa yang "bunyinya seperti kecimpung air" itu. Diah Purnomowati dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini