Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari sukarno-hatta sampai dengan...

Hubungan diplomatik indonesia-cina mengalami pasang surut.sejak oktober 1949 cina berprasangka buruk & menuduh soekarno-hatta fasis. cina mendukung pki. hubungan putus setelah peristiwa g30s/pki.

11 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUBUNGAN Indonesia -- Cina kembali cair. Prosesi huifu waijiao guanxi (pemulihan hubungan) kedua negara, sesudah 23 tahun beku, diawali dengan kedatangan Perdana Menteri Li Peng di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin sore lalu. Tanda-tanda kepastian huifu waijiao guanxi itu sebetulnya telah tampak sebulan lalu bersamaan dengan lawatan Menteri Luar Negeri Alatas ke Beijing. Di ibu kota Cina itu, Menteri Ali Alatas menandatangani kesepakatan untuk menjalin kembali hubungan diplomatik kedua negara yang terputus sejak 1967 dengan Menteri Luar Negri Qian Qichen. Keadaannya sekarang telah matang," ujar Qian seusai penandatanganan kesepakatan tersebut. Maka, kedua pejabat tinggi itu tak ragu-ragu menetapkan Agustus sebagai "bulan baik" bagi pelaksanaan normalisasi hubungan Indonesia -- Cina. Setelah segala macam ganjalan -- salah satu di antaranya yang makan waktu panjang pen-anganannya tentang jaminan Cina tak akan menyokong lagi gerakan komunis di Indonesia -- langkah rujuk tampak memang tak perlu ditunda-tunda lagi. Mengapa delegasi Cina tak gampang meyakinkan tamu-tamunya mengenai masalah sokongan terhadap gerakan komunis Indonesia? Sejarah mencatat hubungan Indonesia -- Cina dimulai dengan sikap permusuhan, -dan masalah komunisme hampir selalu jadi titik tolak pasang surut kekerabatan antara kedua negara. Ketika memproklamasikan diri sebagai negeri baru berhaluan komunis pada 1 Oktober 1949, Cina menolak mengakui Indonesia sebagai negara merdeka. Mereka bahkan menuduh Indonesia sebagai negara boneka bentukan Jepang negeri yang ketika itu paling dibenci Cina. Tak hanya prasangka buruk Cina terhadap Indonesia. Mereka juga menuduh kepemimpinan Soekarno-Hatta fasis, dan kedua proklamator itu disebut mereka beraspirasi aristokrat-feodal. Tuduhan itu dilontarkan karena Cina marah melihat pemberontakan PKI-Muso di Madiun 1948 ditumpas habis oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sentimen Cina masa itu tentu saja tak cuma berpangkal dari perkara penumpasan PKI. Negeri Naga Merah itu juga kesal melihat hubungan mesra Indonesia dengan Cina nasionalis Kuomintang pimpinan Sun Yat Sen -- yang hijrah ke Taiwan, dan kemudian mendirikan negara merdeka baru, sesudah Cina Daratan jadi komunis. Kecemburuan Cina cukup beralasan karena saat itu ada tujuh konsulat Kuomintang di Indonesia. Namun, waktu itu, Indonesia tak mau cari perkara. Perdana Menteri Mohammad Hatta menganggap bermusuhan dengan Cina justru akan menyulitkan Indonesia dalam memainkan politik luar negeri yang bebas aktif. Maka, ketika Jenderal Wu Teh-Chuan, pejabat tinggi Kuomintang, melawat ke Jakarta, Hatta menyatakan akan menutup ketujuh konsulat Taiwan di Indonesia. Hal itu memang dilaksanakan tak lama kemudian. Tindakan Hatta itu tentu saja membuat Beijing tersenyum. Maret 1950, Perdana Menteri Cina, Zhou Enlai, langsung mengirim kawat pengakuan terhadap eksistensi Indonesia. Babak baru hubungan Indonesia-Cina dimulai. Selang empat bulan kemudian, Duta Besar Wang Renshu tiba di Jakarta, dan Cina segera membuka konsulat di empat kota -- Medan, Jakarta, Banjarmasin, dan Ujungpandang. Sebaliknya Indonesia. Pemerintah belum merasa perlu membuka kedutaan besar di Beijing. Untuk sementara perwakilan Indonesia untuk Cina dipercayakan kepada Ishak Mahdi, pejabat setingkat kuasa usaha, yang tiba di Beijing Februari 1951. Pada tahun pertama masa tugasnya di Indonesia, Duta Besar Wang giat menggarap orang-orang Cina perantauan untuk berpaling dari Kuomintang. Salah satu cara Wang menarik simpati perantau -perantau Cina itu dengan mengampanyekan pengakuan sebagai warna negara. Upaya Wang ternyata tak sia-sia. Sekitar 700.000 perantau Cina (40%) memilih jadi warna negara RRC -- termasuk di antaranya pimpinan Bank of China, milik kaum Kuomintang, di Jakarta. Wang berharap kekuatan ekonomi perantau-perantau itu (huaqiao) bisa dimanfaatkan untuk membangun perekonomian Cina. Kegetolan Wang merayu perantau-perantau Cina itu ternyata membawa dampak buruk bagi hubungan kedua negara. Indonesia minta Wang ditarik pulang ke Cina. Ketegangan hubungan Indonesia -- Cina baru reda lagi setelah Ali Sastroamidjojo jadi perdana menteri, Juni 1953. Empat bulan kemudian, Indonesia menunjuk Arnold Mononutu sebagai duta besar untuk Cina. Pada 1955, setelah soal kewarganegaraan huaqiao dibicarakan berkali-kali, kedua negara menyetujui status dwikewarganegaraan bagi perantau-perantau tersebut. Tapi bulan madu hubungan Indonesia -- Cina hanya berlangsung empat tahun. Pada 1959, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang melarang perantau-perantau Cina tinggal dan membuka usaha di pedesaan. Tindak lanjut larangan itu, di beberapa desa di Jawa Barat dan Jawa Timur, penguasa setempat dengan alasan keamanan mengusir perantau-perantau Cina dari daerah kekuasaan mereka. Tindak pengusiran itu dibalas Cina dengan memanggil pulang perantau-perantau tersebut. Ketika itu tercatat sekitar 119.000 huaqiao mendaftarkan diri mudik ke Cina -- sebagian di antara mereka sempat diangkut ke tanah leluhur. Kegiatan "pulang kampung" itu terhenti pada April 1960 -- diduga akibat memburuknya hubungan Cina dengan Uni Soviet yang membuat Negara Tirai Bambu tersebut menahan diri untuk tidak mempertajam konflik dengan Indonesia. Cina khawatir bila kebijaksanaan memanggil pulang perantau-perantau dipertahankan bisa-bisa Indonesia berpaling ke Soviet. Kecemasan Cina cukup berdasar. Indonesia waktu itu memang mulai main mata dengan Soviet. Dari hasil main mata itu Indonesia memperoleh bantuan senilai US$ 1.250 juta -- US$ 1 milyar berupa bantuan peralatan militer. Langkah Soviet itu kemudian dicoba Cina untuk diimbangi dengan US$ 30 juta -- dana tersebut dibawa pulang Presiden Soekarno sebagai oleh-oleh dari Beijing pada 1961. Sasaran bantuan itu, antara lain, untuk melunakkan sikap PKI yang condong menginduk ke Soviet. Setelah pemberian bantuan itu, dan juga ditambah oleh faktor politis lain (keengganan Soviet menyokong provokasi PKI yang menuding pembentukan negara Malaysia sebagai kepanjangan tangan imperialisme dan kolonialisme), Ketua PKI, D.N. Aidit, yang sebelumnya secara berapi-api mengakui Partai Komunis Uni Soviet sebagai satu-satunya pimpinan dalam gerakan komunisme, berbalik melirik Cina. Sejak itu hubungan PKC dan PKI makin mesra. Awal 1965, Ketua Mao Zedong menyampaikan pesan agar PKI meningkatkan kemampuan tempur mereka -- yang diterjemahkan Aidit sebagai saran agar PKI membangun kekuatan bersenjata, yang melibatkan pemuda, tani, dan wanita. Inilah kekuatan "rakyat" yang dipromosikan PKI sebagai angkatan kelima -- di luar unsur angkatan darat, laut, udara, dan kepolisian -- untuk diterjunkan dalam konfrontasi melawan Malaysia. Angkatan kelima itu, dalam skala terbatas, telah terbentuk tak lama setelah imbauan Mao tersebut, dan kemudian jadi salah satu kekuatan yang melahirkan aksi G30S-PKI. Aksi kekuatan bersenjata PKI itu dilumpuhkan TNI AD. Sejak itu hubungan diplomatik Indonesia-Cina praktis putus. Dan Beijing gencar melancarkan provokasi yang memojokkan pemerintahan Orde Baru. Provokasi atas Indonesia baru reda setelah terjadi perubahan besar di Kamboja pada 1970: Pangeran Norodom Sihanouk digulingkan Jenderal Lon Nol. Kemenangan Lon Nol sekaligus membuka peluang bagi munculnya basis baru Amerika di Indocina. Perubahan di Kamboja itu membuat Cina makin merasa terancam. Di utara, ada Soviet, dan di selatan ada Amerika, yang berpangkalan di Kamboja dan Vietnam Selatan. Maka, Cina melupakan "permusuhan" dengan Indonesia untuk memusatkan diri mengamankan wilayah di sekelilingnya. Mau tak mau Cina akhirnya harus mengakui realita yang berkembang di Indonesia. Merasa sia-sia berseteru dengan Indonesia, Cina, setelah dua dekade, mulai bersikap lunak. Mereka mulai memprakarsai normalisasi hubungan kedua negara. Langkah penjajakan, pertemuan tingkat menteri luar negeri, terjadi di Paris, 1973. Cukup lama langkah itu tak berlanjut. Baru pada 1977 Cina menawarkan rujuk -- tawaran itu dititipkan Perdana Menteri Li Xiannian lewat Perdana Menteri Papua Nugini, Michael Somare, yang mampir di Jakarta sepulang melawat ke Cina. Tawaran Li itu lalu berlanjut dengan pertemuan Menteri Luar Negeri Adam Malik (almarhum) dan Menteri Luar Negeri Cina Huang Hua di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, akhir 1977. Buah pertemuan Adam-Huang langsung kelihatan: Indonesia mulai mengizinkan pesawat sipil Cina melintas di angkasa nusantara untuk tujuan penerbangan ke Australia. Tak lama setelah itu, Ketua Kadin Suwoto Sukendar (almarhum) diundang pemerintah Cina menghadiri pekan raya industri di Hangzhou. Tapi Indonesia masih bersikap hati-hati memulai pembicaraan untuk melakukan normalisasi. Maklum, pelbagai kekuatan politik di Indonesia tak mudah melupakan kesan buruk atas Cina. Baru ketika Menteri Luar Negeri Cina Wu Xueqian menghadiri peringatan 30 tahun Konperensi Asia Afrika di Bandung, 1985, terkesan Indonesia juga telah berbenah diri untuk menyambut uluran tangan Cina. Sambutan paling kongkret baru ditunjukkan Indonesia di Tokyo, akhir Maret 1989, dan itu disampaikan Presiden Soeharto pada Menteri Qian Qichen, yang juga datang ke Jepang untuk menghadiri upacara pemakaman Kaisar Hirohito. Kesediaan Indonesia menormalisasikan lagi hubungan dengan Cina makin terbuka setelah Pak Harto mendengar langsung kesanggupan Negara Tirai Bambu itu menjalin hubungan berlandaskan spirit Dasasila Bandung yang antara lain menyebutkan hidup berdampingan secara damai, menghormati kedaulatan masing-masing, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri. Kepala Negara juga mendapat jaminan bahwa Cina tidak menyokong gerakan sisa-sisa PKI. Setelah janji-janji Menteri Qian itulah baru Indonesia melakukan kontak secara intensif. Hal-hal yang bersifat teknis, seperti menyangkut pembukaan kedutaan besar, mulai dibicarakan. Ternyata, tak banyak hambatan yang ditemui. Juli lalu, Menteri Alatas terbang ke Beijing untuk membuat kepastian normalisasi hubungan kedua negara. Jalan itu kini makin terbuka lebar dengan kedatangan Li Peng. Putut Tri Husodo Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus