Di tengah kesibukannya, Sabtu siang pekan silam Menlu Ali Alatas di kantornya menerima TEMPO untuk sebuah wawancara khusus seputar normalisasi hubungan RI-Cina. Berikut petikannya: Setelah normalisasi hubungan diplomatik -- RI-RRC, langkah-langkah apa yang akan diambil selanjutnya? Kedua belah pihak tentunya akan mengadakan atau mengambil langkah-langkah untuk membuka perwakilan diplomatik masing-masing, di Beijing dan di Jakarta. Usaha kearah itu juga sudah dirintis pada waktu kunjungan tim teknis Cina ke Jakarta, bulan Desember 1989 lalu. Mereka sudah melihat tempat mana saja yang kira-kira baik untuk mendirikan kedutaan. Lokasi kedutaan besar yang lama tidak dipermasalahkan lagi karena itu merupakan salah satu kesepakatan. Dan waktu kami berada di Beijing, sebagian delegasi pun telah diantar oleh mereka melihat-lihat lokasi untuk kedutaan besat. Bukan lagi tempat yang lama karena dulu itu kita tak memiliki. Tapi, membayar sewa sehingga pada waktu hubungan dibekukan... ya selesai. Demikian pula gedung Kedutaan Besar Cina dahulu tak dimiliki langsung oleh mereka. Mereka pun sewa. Jadi, mereka tak mempersoalkan. Dan memang salah satu kesepakatan yang dicapai. antara kita adalah bahwa kedutaan besar tak lagi di tempat yang lama, akan tetapi di tempat yang lainnya kita berikan kepada kedutaan-kedutaan besar lainnya. Kemudian, tentunya kedua pihak akan menunjuk duta besarnya. Masing-masing mengajukan nama dan riwayat hidup calon duta besarnya untuk mendapat persetujuan. Kalau sudah mendapat persetujuan, maka akan dibukalah kedutaan. Apakah sudah ada calon untuk duta besar RI di Beijing nanti? Belum ada calon, kami sedang pikir-pikir. Kami tentunya akan mencari seseorang yang mengetahui seluk-beluk hubungan kita dengan Cina. Dan sebaiknya orang sedikit banyak mengetahui bahasa Cina. Apakah harus yang berlatar belakang ABRI? Tak ada ketentuan itu. Malah saya dapat tegaskan bahwa tak ada pilihan suatu kategori khusus. Tergantung nanti, nama-nama akan kami ajukan kepada Bapak Presiden untuk disetujui beliau. Sampai kapan batas waktu untuk menunjuk duta besar? Sukar untuk diberikan suatu jenjang waktu yang pasti. Tak ada deadlne. Tetapi, tentunya secepat mungkin. Dan itu bergantung pada soal-soal teknis. Seperti seberapa jauh masing-masing berhasil menemukan suatu gedung kantor tempat kedutaan nantinya. Bagaimana kemungkinan-kemungkinan untuk membuka konsulat jenderal? Untuk sementara kami sepakat bahwa kami akan memusatkan perhatian masing-masing pada pembukaan tingkat kedutaan besar dulu. Jadi, konsulat jenderal ataupun konsulat di luar ibu kota masing-masing masih ditangguhkan. Nanti kalau kedutaan besar sudah jalan sudah mapan, baru kami bicarakan pembukaan konsulat jenderal. Tentunya menurut tata krama diplomatik. Pembukaan konsulat jenderal selalu berdasarkan asas resiprositas. Kalau kita ingin membuka, mereka pun diperbolehkan. Soal ketentuan orang Indonesia yang akan bepergian ke Cina, atau orang Cina yang akan ke Indonesia. Apakah masih perlu diskrining terlebih dahulu? Memang akan memudahkan kalau sudah ada kantor Kedutaan Besar Cina di sini. Atau ada kantor kedutaan besar kita di sana. Itu dapat mengatasi masalah ini karena (selama ini) semua lalu lintas orang untuk sementara disalurkan melalui Hong Kong. Di Hong Kong kita bisa minta visa untuk ke Cina, atau sebaliknya. Soal skrining nanti kita bicarakan lagi di dalam forum yang tepat untuk itu. Ini soal-soal keimigrasian saja. Sekarang memang berlaku suatu pengaturan khusus yang hanya memperbolehkan beberapa kategori orang berkunjung ke Cina, ya to. Nantinya setelah hubungan diplomatik akan dikembalikan kepada pengaturan-pengaturan biasa sesuai dengan Konvensi Wina. Mungkin perlu kita keluarkan suatu pengaturan intern baru, tapi saya kira tidak menjadi persoalan. Apa komentar Anda tentang suara-suara yang melihat normalisasi RI-Cina ini terlalu cepat? Mengenai soal terlalu cepat, yah terserahlah kita berbeda pendapat, kalau dianggap 23 tahun itu cepat . . . (tertawa kecil), saya juga ...., yah terserahlah. Tapi ada juga yang menganggap 23 tahun itu cukup lama. Saya kira itu soal selera saja. Memang benar masih ada suara-suara yang berpendapat, untuk apa begitu cepat melakukan normalisasi. Tapi saya melihatnya sebagai satu suara yang tersendiri, tidak merupakan satu pendapat umum. Apakah betul pihak RI bersedia melakukan normalisasi setelah Cina terlebih dahulu meminta maaf karena keterlibatannya dalam peristiwa G30S-PKI? Persyaratan itu tak pernah ada secara resmi. Yang harus dipegang adalah pernyataan resmi Bapak Presiden dalam pidatonya sebagai mandataris MPR pada Maret 1988 lalu. Kalau dibaca paragraf mengenai Cina di situ, persyaratan itu tak ada. Persyaratannya hanyalah, dengan suatu pernyataan yang tegas dari pihak Cina, bahwa Cina tak akan mencampuri urusan dalam negeri berdasarkan prinsip-prinsip Dasasila Bandung. Bukan saja campur tangan antar pemerintah, tetapi juga hubungan antarrakyat, atau antarpartai. Persyaratan ini telah terpenuhi dan telah direkonfirmasi dalam berbagai bentuk joint satement yang sudah keluar sampai sekarang pada waktu pertemuan di Tokyo. Nah, dengan terpenuhinya persyaratan itu, proses normalisasi dapat berlangsung. Adapun soal minta maaf itu, yang meramaikannya kan pers. Itu tak pernah menjadi sikap resmi pemerintah Republik Indonesia. Kalau begitu, keterlibatan RRC dalam G30S-PKI bagaimana? Tidak pernah dibahas lagi. Kita menganggap itu sebagai kenyataan. Menurut mereka, mereka tak pernah terlibat. Mau apa lagi? Asal kita melihat ke depan, ada satu ketegasan dalam membuka kembali hubungan diplomatik, tak ada campur tangan lagi. Ketegasan itu diberikan secara tertulis dan lisan, dari yang tertinggi, Ketua Partainya, dan itu sudah disampaikan kepada Presiden Soeharto dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini