MUSIM haji datang lagi. Dan jemaah Indonesia, dalam tempo 11 jam terbang di udara, insya Allah akan mendarat di Bandar King Abdul Aziz, Jeddah. Dulu, ketika para jemaah haji terlenok berhari-hari diangkut kapal laut, miqat mereka untuk berihram di Yalamlam. Sekarang jemaah sudah ikut kelompok terbang (kloter). Di mana memilih miqat ? Di Halim Perdanakusuma, ketika membenahi kopor di Asrama Haji Pondok Gede, atau sejak ia masih di rumahnya? Sabtu pekan silam, soal miqat untuk jemaah haji udara itu dibahas dalam diskusi terbuka oleh Persatuan Islam (Persis), Bandung. Di zaman Nabi Muhammad saw. memang belum ada jemaah berhaji dengan pesawat terbang. Tetapi Nabi telah menetapkan batas miqat. Untuk penduduk Madinah, Syria, Nejed, dan Yaman, miqat-na di Dzulhulaifah (Bi'r Ali), Juhfah, Qarnu-l Manazil, dan Yalamlam. Kalau ada jemaah miqat diJeddah dan Bi'r Ali, itu tidak sah. Itu menurut tim penyusun makalah dari Persis. "Malah ihram melewati miqat itu haram. Karena sudah melewati miqat Qarnu-l Manazil," kata Abdul Latief Muchtar, M.A. "Miqat kami di Qarnu-l Manazil, kira-kira 94 km dari Jeddah." Begitu praktek jemaahnya selama ini. Menurut Ketua Umum Persis itu, bahkan itu dilakukan jemaah dari Pakistan, Afrika Barat, dan Mesir. Untuk mengetahui batasbatas itu, biasanya Latief berhubungan dengan pilot. "Karena masih di udara, itu tidak perlu tepat persis, cukup dikira-kira saja.' Ini disetujui K.H. Totoh Abdulfatah, Ketua Majelis Ulama Jawa Barat. "alau sudah d. atas Qarnu-l Manazil, pilot memberi tahu,' tutur pemimpin Pesantren Aljawami' itu. Lalu di mana berihram. Tak mungkin berganti baju ihram di pesawat, karena bisa ribut. "Sebaiknya baju ihram mulai dikenakan di Bandar Udara King Abdul Aziz saja supaya tertib," kata K.H. Anwar Musaddad, anota Dewan Mustasar NU, kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Sayyed al-Hakim, dalam kitabnya Manahijal-Naskin (Cara Manasik Haji), menvebutkan bahwa jalan- jalan Yangditentukan sejakzaman Nabi sudah berubah. Karena itu, jemaah yang naik pesawat terbang tak wajib berihram jika dia menyebcrangi miqat. "Jika dia singgah di Jeddah, dia berihram di Hudaibiah. Tapi dia juga boleh berihram di Jeddah dengan bernadar," katanya. Pendapat Al-Hakim ini selain terdapat dalam al-Fiqh ala alMazahib al-Khamsa karangan Mohd. Jawad Mughniah, yang diterbitkan di Beirut. K.H. Hasan Basri, Ketua Majelis Ulama Indonesia, juga memilih ber-miqat dan berihram di Jeddah. Katanya, jemaah Indonesia sudah umum melakukan haji cara ini, berdasar pendapat Ibn Hajar. Keuntungannya, jemaah tak bingung. "Jika berihram di Jeddah, sedangkan miqa alias niat mulai hajinya di Madinah, bisa bingung," tambahnya. Kial ini tak memilih miqat di Qarnu-l Manazil. Tempat itu tak jelas di mana adanya. Konon, di tengah padang pasir. Jika ditentukan pilot, itu masih perkiraan saja. "Jemaah haji Indonesia yang berihram di Jeddah itu sah," kata K.H. I.Z. Abidien dari Muhammadiyah, Bandung. "Pesawat terbang hanya lewat di atas Qarnu-l Manazil. Dan perjalanan di angkasa beda dengan naik unta." Lain Kiai Musaddad. "Pelanggaran terhadap ketentuan miqat tak berakibat uurnya ibadat haii." Cuma hajinya tidak mabrur atau terbaik. Musaddad mengibaratkan miqat dengan salat tahtyat masjid. Menurut Kiai Hasan Basri, ketentuan miqat itu tak beda bagi yang berhaji Qiran (berhaji sekaligus berumrah) dan bagi yang berhaji Ifrad (atau berhaji saja). Mereka ber-miqat sesuai de ngan ketentuan dari mam mereka datang. Haji yang Qtran atau yang Ifrad, tak mempengaruhi miqat. Kecuali bagi yang berhaji tamattu. Meskipun buka penduduk Mekah, dia baru ber-miqat di Tan'im atau di Ji'ranah. Tapi menurut Direktorat Urusan Fatwa Arab Saudi, merek yang mengambil Tamattt boleh berihran haji dari Mekah atau di sekitarnya, pada hari Tarwiyah (8 Zulhijah). Miqat merupakan penentu (niat) memulai manasik haji dan berpakaian ihram. Sejak d sini, hanya ke Allah perhatian ditujukan. Z.M.P, A.T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini