DR. Ziauddin Sardar seminggu berkunjung ke Indonesia. Di Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, Kamis lalu ia mengungkapkan optimismenya tentang masa depan Islam. Sabtu silam di Bandung ia berceramah di Masjid Salman dan Universitas Islam Nusantara. Sardar, 37 tahun, sedikit dari cendekiawan muslim yang beberapa waktu lalu di TV Washington DC, berdebat dengan Alvin Toffler penulis Future Shock dan The Third Wave. Kelahiran Lahore, Pakistan, ini sewaktu masih 25 tahun sudah menulis Science Technology, and Development in the Muslim World. Pernah bekerja untuk New Scientist, ahli teknologi informasi ini juga bekas konsultan pada Pusat Riset Haji di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Sejak didirikan pada 1975 oleh Sami Angawi, Pusat Riset Haji telah menyumbangkan hasil penelitiannya yang berarti bagi masa depan perhajian. Setelah memberi usul-usulnya, Pusat Riset itu ditutup karena dianggap menentang kebijaksanaan Arab Saudi untuk memodernisasikan Kota Mekah. Ketika menunaikan ibadat Haji, di tempat melempar jumrah di Mina ia menatap. "Yang dilihat di sini bukan lagi lingkungan Nabi, melainkan lingkungan Manhattan. Tak ada tujuan rohaniah bisa tercapai melalui pengalaman dystopia kota itu," tulis Sardar di Hajj Studies yang disuntingnya. Ayah tiga putra ini sekarang memimpin Center for Policy and Future Studies di East-West University, Chicago. Sedangkan Sami Angawi, sejak 1983, pindah ke Universitas Umm al-Qura di Mekah. Kota Mekah terus diubah, dan Masjidil Haram. diperluas. Mekah yang sekarang, di mata Sardar, sudah tidak lagi padang gersang dengan rumah-rumah batu tempat Nabi Ibrahim sekeluarga tinggal, dan 14 abad silam Nabi Muhammad menaklukkannya. Mekah, seperti semua kota di dunia, tak lagi mengelak disentuh teknologi berat. Lingkungannya kini berubah jadi sebuah metropolis penuh kotak, seperti misalnya Columbus, Ohio, di Amerika. Melalui Pusat Riset, tempo hari Sardar menyarankan agar mobil dilarang memasuki lingkungan haji (Mekah, Arafah, Mina). Peziarah agar berjalan di jalan-jalan yang dibangun khusus. Hanya solusi teknologi lunak berdampak kecil yang dibolehkan masuk. Arsitektur tradisional supaya digali kembali, dan pelestarian dijadikan norma. Sardar mengakui, kondisi dan lingkungan masa Nabi yang sudah silam mustahil dikembalikan secara utuh. Pengalaman rohaniah haji yang dialami Nabi itu baru terulang jika batas rohaniah bagi lingkungan haji tak dilanggar. Batas itu, katanya, empat: selarasnya ekologi, universalisme Islam, kesederhanaan, dan Mekah sebagai umm al-qura induk segala kota. Menurut Sardar, ekologi atau lingkungan Mekah itu kini peka. Misalnya mata air zamzam itu berasal dari karang Precabia melalui tiga retakan antara Ka'bah ke Shafa dan Marwa. Setiap luka ekologi di Mekah pasti menggerakkan retakan itu, dan bisa jadi menutupinya, sehingga sumber air zamzam bisa padam. Berhaji, bagi Sardar, mengungkap keimanan, universalisme Islam, dan kesederhanaan. Itu di Mekah, kota yang beda dari segala kota, karena pusat perhatian dunia muslim. Tapi itu mustahil kalau Mekah di tengah mimpi buruk otomatif: gaduh terus-menerus dari kendaraan bermotor, helikopter, pesawat terbang, lengking klakson dan sirene, lagu-lagu dari pengeras suara, musik radio, dan bau busuk asap knalpot. "Semua itu mendatangkan kelelahan, bukan kedamaian," katanya. Memang, kelelahan pernah merupakan bagian dari pengalaman rohaniah Nabi dan para sahabat, yang harus berjalan ratusan kilometer sepuluh hari dari Madinah ke Mekah. Tapi kelelahan akibat berjalan kaki seperti dilakukan oleh Sardar selama 1 tahun untuk mengikut jejak perjalanan rohaniah (dan fisik) Nabi, tentu beda dengan kelelahan akibat kegaduhan. Beberapa petikan mengenai haji dan kedudukan kota suci umat Islam itu diungkapkan Sardar kepada TEMPO: * Sistem pencahayaan di sekitar Masjid Haram diusulkan lebih merata, jangan cuma terpusat di Ka'bah. Karena usul itu tak diterima, pada 1979 ia memilih keluar dari Pusat Riset. * Setiap muslim pasti bercita-cita paling tidak sekali dalam hidupnya pergi ke Mekah, bahkan ingin mencium Hajar Aswad. Antrean jemaah yang tawaf perlu pengaturan yang baik. Daerah Hajar Aswad kini bisa berbahaya. * Ia tidak setuju ada satu badan internasional mengelola Mekah dan Madinah. Dua kota suci itu bukan hanya milik pemerintah Saudi saja, juga kepunyaan seluruh dunia Islam. Pemerintah Arab Saudi atau Iran bisa saja memperbaiki kedua kota suci itu. Tapi Iran tampak mau meletakkan kedua kota itu di bawah kontrolnya. * Solusi teknologis dijadikan alasan oleh Saudi: dalam 3-4 tahun mendatang jumlah haji tetap dibatasi dengan kuota seribu per satu juta penduduk negara asal. Tapi ia mengecam Khomeini dan tak mempercayai Ayatullah itu mandataris Wilayat al-Faqih. "Haji bukan demonstrasi politik, tapi beribadat kepada Allah, bukan kepada Khomeini," katanya. Adanya konperensi muslim sedunia di sana itu kenyataan. Haji adalah satu institusi di mana persaudaraan benar-benar suatu perbuatan. Haji sangat dinamik. Semua perwakilan warna kulit ada di sana, semua bangsa, tapi masing-masing kecil dalam bahasa yang berbeda. Bagaimana universalitas Islam meletakkan bangsa-bangsa tadi di bawahnya bisa bekerja sama? * Persaudaraan itu tak cuma terlihat secara fisik. Setiap muslim bisa membawa masalahnya untuk didiskusikan bersama, bagaimana membangun sistem informasi yang baik sesama muslim, membangun gagasan buat perubahan sosial ekonomi. Juga problem haji yang pokok: teknologi. Sardar pernah mengusulkan untuk pembangunan Kota Mekah dan sekitarnya seperti dikehendaki Quran. Dan tema pokok haji, katanya, seharusnya penyesuaian peziarah dengan kehendak Tuhan: lewat doa, renungan batin, dan meditasi. Syarat utamanya adalah kedamaian, dengan Allah, dengan burung, bahkan serangga. "Dulu serangga mati diburu, kini serangga mati karena udara Mekah cemar oleh asap knalpot," ujar Sardar. Ahmadie Thaha (Jakarta) dan Hedy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini