PENGEMBARAAN pembunuh pengusaha terkenal di Solo, Liem Hing Tjiok alias King Kong, baru dipatahkan setelah dee lapan tahun. Yang membekuk tak lain anak King KQng sendiri, Liem You Lian alias Eddy Suharto, yang juga berstatus pelarian dari penjara. Baik tersangka, Mustofa Komala, 34 tahun, maupun penangkapnya,Eddy, kini sama-sama meringkuk di sel tahanan LP Surakarta. Keduanya kini tengah diperiksa dan dalam waktu dekat perkaranya akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibawa ke persidangan. Mustofa ditangkap Sabtu, 21 Mei 1988, ketika sedang santai di kompleks pelacuran "Malvinas", Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Malam itu, Eddy melapor ke petugas piket di Polres Bekasi bahwa ada buron pembunuhan di tempat pelacuran itu. Berdasarkan informasi itu, kata Kepala Satserse Polres Bekasi Kapten H. Abdullah kepada TEMPO, empat orang polisi ditugasi mendampingi pelapor. Benar pula yang dikatakan Eddy. Mustofa, si buron yang berbadan pendek kekar itu, sedang minum-minum dengan tiga temannya di tengah-tengah wanita penghibur. Eddy menghampiri dan menepuk pundak Mustofa. "Tahu siapa saya?" sapa Eddy. Mustofa kaget. Dengan sigap, Eddy yang berbadan jangkung menangkapnya. Keduanya terlibat pergumulan. Mustofa dapat dilumpuhkan Eddy dengan pukulan dan tendangan. Setelah diringkus, Mustofa digiring ke kantor Polres. Di depan polisi, Mustofa mengakui, "Benar, saya dan keempat teman saya yang membunuh Liem Hing Tjiok." Pada saat itu juga Eddy menyerahkan diri kepada polisi dan mengakui bahwa ia adalah pelarian dari LP Surakarta. Eddy memburu Mustofa selama tujuh tahun. "Saya kuntit dia di Jakarta, tapi selalu lolos. Licin kayak belut," kata You Liang kepada TEMPO. Yang diburu, Mustofa kabur ke Jakarta setelah membunuh King Kong pada tahun 1980. Di Ibu Kota, tempat lahirnya, ia bekerja sebagai karyawan film di KFT Sumantri Brojonegoro, Kuningan. Sedang Eddy, dalam pengembaraannya, bekerja sebagai peternak ayam Bangkok di Jakarta. Dari informasi yang didapat dari temannya, Mustofa sering menghibur diri di kompleks pelacuran "Malvinas" Bekasi. Dari situlah Eddy membayang-bayangi buronnya. Keduanya, empat hari setelah penangkapan, sudah dikirim ke Solo untuk penyidikan lebih lanjut. "Tunggu saja hasilnya. Semua data sedang dikumpulkan lagi," kata Kapolres Solo Letkol. Drs. Sarsito kepada TEMPO. Maklum, kasus tewasnya King Kong, pengusaha yang beken dengan julukan "King Berdarah" itu, memang sudah agak lama. Tapi karena nama Mendiang dikenal di Solo - ia punya PT King Kong, perusahaan angkutan dengan puluhan armada truk ceritanya jadi menarik. Kisah bermula pada awal Mei 1980. You Liang alias Eddy, Sisar, dan seorang temannya ketika itu sedang mengobrol di rumah Sisar di Kampung Kadipiro, Solo. Di tengah asyiknya bercanda, gang Teko (termasuk Mustofa sebagai anggota), sekitar 20 orang, mengepung rumah Sisar. Rupanya, pengepungan ini buntut dari ejek-mengejek antara dua gang sebelumnya. Bentrok menggunakan pedang dan senjata tajam lainnya tak bisa dicegah. Pimpinan kelompok Teko berhadapan dengan You Liang. "Kami sama-sama luka," cerita You Liang. Gang Teko memang mundur. Khawatir bakal ada pembalasan, You ngumpet. Benar saja. Gang Teko mencari You Liang di rumahnya. Yang ditemui sore itu, 13 Mei 1980, ayah You Liang. Tak ada anak, bapak pun jadi. Kelompok Teko menghajar King Kong dengan senjata tajam. Pengusaha kaya itu tewas di tempat. Kota Solo, ketika itu, geger. Dari tempat persembunyiannya, You terpukul mendengar kisah tragis itu. "Ayah meninggal karena rentetan peristiwa perkelahian saya dengan Teko," kata You Liang sedih. Dari kelompoknya, ia tahu pembunuh ayahnya adalah Mustofa. Pemuda tamatan SMA Kristen Solo itu langsung keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri pada polisi. Ia beberkan rentetan bentroknya dengan gang Teko. Pada Oktober 1980, Hakim Said Sungkar mcmutus 20 bulan penjara potong tahanan bagi You Liang karena menganiaya Teko. Padahal, jaksa cuma menuntut 13 bulan. "Itu putusan tidak adil," teriak You Liang marah. Ia beranggapan, yang terjadi adalah perkelahian, bukanya penaniayaan seperti disebut hakim. Eddy lantas ngamuk. Ia memburu hakim ke ruangnya, tapi pintu keburu ditutup. "Hakim sentimen! Hakim sentimen !" teriaknya sembari menggedor pintu dan memecahkan kaca. Keadaan baru reda setelah polisi dan POM ABRI mengamankannya. "Saya marah karena diperlakukan.tak adil. Hati saya juga guncang karena kematian Ayah," cerita You, yang kini berumur 41 tahun, kepada TEMPO. YOU pun menjalani hukuman. Mestinya, sesuai dengan vonis hakim, 10 April 1982, Eddy sudah bebas. Tapi ia tak dikeluarkan dari. penjara. Belakangan ada tuduhan baru: perusakan kaca kantor pengadilan dan menghina hakim. Statusnya diubah menjadi tahanan lagi. Kekecewaannya memuncak. Tapi ia masih bisa menyembunyikannya. Pembawaan Eddy di tahanan tetap supel. Keakrabannya dengan petugas LP tak dirusakkannya. Dengan anak-anak dan istri You, petugas LP juga bisa akrab. Tepat di Hari Kartini, 21 April 1982, siang hari, istri You bersama anaknya membesuk. Setelah puas omong-omong, mereka pun hendak pulang. "Ayo, kasih tangan sama Om (maksudnya petugas LP)," kata You kepada anaknya. Tak hanya itu, You juga bilang, "Ayo, minta gendong sama Om." Sekali ini petugas LP juga tak menolak. Ya ketika itulah Eddy memanfaatkan kelengahan si petugas. Dengan cekatan, ia menyelinap keluar pintu LP Solo yang berada di pinggir Jalan Slamet Riyadi. Di depan pintu gerbang, You kabur dengan sepeda motor yang sudah disiapkan rekannya. Penjaga LP tergagap tak bisa apa-apa. Eddy kabur. Bertahun-tahun ia tak diketahul persembunyiannya. "Saya di Jakarta dagang sambil beternak ayam," katanya. Di samping itu, tentu saja tugas khususnya tak dilupakan: mengamati dan memburu Mustofa, tertuduh pcmbunuh ayahnya. Ia ingin membalas dendam atas kematian ayahnya. Sesekali Eddy pulang ke Solo menengok istri dan enam anaknya. "Semua kisah ini menunjukkan saya bukan gali, bukan mafia. Saya tak pernah merampok atau memeras orang. Itu isu kejam. Terus terang, keluarga saya cukup punya harta," katanya. Ia tidak membunuh Mustofa, dan ia menyerahkan diri setelah berhasil menangkap pembunuh ayahnya, walaupun pengusutannya sudah dilupakan. Widi Yarmanto, Rustam F. Mandayun (Jakarta), dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini