BERBAGAI sumber sudah bilang berulang-ulang: alhamdulillah program KB Indonesia nomor satu di dunia. Akibatnya, masyarakat berharap pertumbuhan penduduk menurun. Ketika ternyata meningkat menjadi Ji Sam Su, mereka lantas berpaling dan menuding: gagalkah program yang tersohor itu? Kalau terdesak dari nomor satu, lalu nomor berapa program KB kita? Sekarang sudah jelas masyarakat terlalu banyak diberi harapan. Lalu, seperti iklan obat, mereka mengharapkan cespleng -- tapi kaget bertemu Ji Sam Su. Apalagi mereka pernah dengar: tunggu saja hasil sensus yang jadi termometer program KB. Dan angka termometer rupanya menunjuk kepada suhu yang cukup tinggi. Gerah! Khalayak telanjur tidak mendapat penjelasan sebelumnya, bahwa hasil sensus penduduk tidak serta merta menunjukkan kesuksesan program atau kekurang-suksesan program. Tidak mendapat keterangan bahwa kalaupun tingkat pertumbuhan menaik bukan pertanda angka kelahiran tidak menurun. Kemudian, masyarakat disuruh jangan kaget karena angka itu sudah diperkirakan sebelumnya. Bukankah angka 147,4 juta itu mendekati proyeksi Prof. N. Iskandar dan Prof. Alden Speare? Penjelasan demikian memang bisa dimakan oleh orang awam. Sebaliknya, mereka yang maklum seluk beluk proyeksi, menjadi kaget. Proyeksi adalah proyeksi, bukan prediksi. Karena itu proyeksi membikin beberapa kemungkinan, beberapa asumsi, beberapa variant. Bertitik tolak dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 120,1 juta pada 1971 (bukan 119,2 atau 118,5 juta jiwa karena sudah dirapikan), Iskandar membikin 4 variant. Variant I: fertilitas tidak turun (KB tidak mempan), mortalitas turun harapan hidup sebesar 45 tahun 1971 menaik secara linier dan mencapai 60 tahun pada 2001. Variant II: fertilitas turun sampai 25% pada tahun 2001 terhitung dari 1971 mortalitas turun. Variant III: fertilitas turun sampai 50% pada tahun 2001 dan mortalitas juga turun. Variant IV: fertilitas turun sehingga tercapai net production rate = 1.00 tahun 2001: satu perempuan digantikan oleh satu perempuan. Berbagai ahli membikin proyeksi, masing-masing dengan serangkaian asumsi. Maka, tanpa mengurangi hormat pada para ahli proyeksi, logis kalau hasil sensus terpaksa mendekati salah satu atau beberapa hasil proyeksi penduduk itu. Dengan sendirinya pula hasil berbagai proyeksi cukup jauh dari hasil sensus itu. Tetapi kita memang perlu angkat topi pada ahli proyeksi karena perhitungannya yang begitu njelimet. Mereka memperkirakan sex ratio, struktur umur, perubahan harapan hidup yang mewakili perubahan tingkat mortalitas, perubahan tingkat fertilitas, dan ada pula yang memperkirakan urbanisasi dan transmigrasi. Dan kalau dikaji proyeksi Iskandar, gamblang sekali bahwa bangsa Indonesia yang 147,4 juta (lebih) amat perlu bersabar. Jangan cepat-cepat mengharapkan penurunan pertumbuhan penduduk secara drastis. Jangan merindukan cespleng. Apa sebab? Kalaupun program KB amat sukses (Variant IV), pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,32% antara 1971 dan 1981 karena penurunan mortalitas dan struktur umur. Ini mendekati Ji Sam Su, apalagi setelah dimasukkan penduduk Timor Timur. Perlu dicatat bahwa pertumbuhan antara 1981 dan 1991 masih 2,05%, jadi jangan diharap kurang dari 2% pada dekade ini. Pertumbuhan penduduk di bawah 2 baru dialami pada dekade 1991-2001, yakni sebesar 1,63% (lihat tabel). Seram sekali kalau KB tetap melempem dan tidak berdaya menekan fertilitas (Variant I). Pertumbuhan penduduk antara 1991 dan 2001 menjadi rata-rata 3,05 setahun dan Indonesia dihuni 277 jiwa 20 tahun lagi. Dan lihatlah perbedaan jumlah penduduk pada tahun 2001. Perbedaan antara KB tidak mempan Variant I) dan KB sukses Variant III atau IV). Selisihnya puluhan juta manusia. (Sumber: N. Iskandar, When Z.P.G. in Indonesia ?). TABEL PENDUDUK INDONESIA (Jutaan) VARIANT 1971 1981 1991 2001 I 1201 (2,49%) 1541 (283%) 2045 (3,05%) 277.3 III 1201 (2,35%) 1519 (2,17%) 1888 (1,87%) 227,7 IV 120,1 (2,32%) 151,5 (2,05%) 186,0 (1,63%) 218,9 Kembali kepada soal nomor itu, bukankah sesungguhnya program kita nomor satu di dunia? Apakah sudah merosot jadi nomor dua setelah menginjak periode Pasca Ji Sam Su? Atau setidak-tidaknya nomor tiga? Pembaca yang budiman, maaf seribu maaf, kita bukan nomor satu, bukan nomor dua dan juga bukan nomor tiga dalam perkabean. Kalau dipakai kriteria cepatnya menurun tingkat fertilitas, kita jelas kalah cepat bila dibandingkan dengan RRC, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, Sri Langka dan juga Thailand. Hasil World Fertility Survey juga menguatkan hal tersebut, dilukiskan dengan baik oleh tokoh demografi Dr. J.R. Rele (ahli ESCAP) dalam Asian Pacific Population Programme News No. 4, tahun 1979. Kita bukan nomor satu di Asia, juga bukan nomor satu di Asia Tenggara atau di lingkungan ASEAN. Nomor dua tidak, Nomor tiga juga tidak. Pembaca yang budiman mungkin bilang, pendapatan per kapita Singapura, Malaysia dan Thailand lebih tinggi dan karena itu bukan untuk dibandingkan dengan Indonesia. Nah kalau begitu program Indonesia juga bukan untuk dibandingkan dengan India dan Pakistan yang pendapatan per kapitanya cuma separuh Indonesia. Apalagi Bangladesh yang cuma sepertiga Indonesia dari segi pendapatan. Namun betapa pun juga, terlepas dari segala seluk beluk nomor urut, program KB di Indonesia patut dipuji. Walau angka-angka lengkap belum keluar, kita berani berspekulasi tingkat fertilitas di negeri ini sudah menurun. "Di dalam ilmu silat tidak ada juara nomor dua, di dalam ilmu surat tidak ada juara nomor satu," begitu ujar Rendra. Kiranya seperti ilmu surat, dalam ilmu kabe pun juara satu tidak ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini