LEBIH baik tidak dianggap sebagai "akhir yang hitam". Persis di
penutup usianya yang 10 tahun, nomor lalu, untuk pertama kalinya
TEMPO melakukan penghitaman sebagian wajahnya.
Ini, apa boleh buat, bisa saja dinilai sebagai tindakan
berbijak-bijak: sebuah langkah yang harus diambil bila tuntutan
dari luar maupun dari dalam diri sendiri harus disatukan.
Penghitaman (atau siapa tahu malah yang lebih dari itu),
memang hanya sebagian dari seluruh kemungkinan. Itu sudah
termasuk "suratan nasib" dalam riwayat kami.
Ini memang sebuah riwayat. Panjangnya satu dasawarsa. Beragamnya
pengalaman dalam jangka tersebut sebagian sudah diketahui
pembaca sendiri. Hanya, bila ada yang perlu kami sampaikan
sebagai pengantar memasuki tahapan baru, yang pertama justru
ungkapan rasa terimakasih kepada anda semua.
Bukan basa-basi bila kami katakan, bahwa salah satu perhatian
terbesar kami adalah penerimaan anda -- apalagi pembaca yang
sudah dengan baik hati menyambut kami sejak mula.
Berbagai usaha pengembangan dan pemajuan mutu, dikaitkan selalu
dengan perkiraan tentang "reaksi" anda.
Dua kali riset yang sudah dilakukan misalnya, 1972/1973 dan
1979/1980, dimaksud terutama untuk mengenali jenis-jenis
keluarga majalah ini, maupun "masakan mana" yang kira-kira
paling digemari di antara yang dihidangkan. Semua itu adalah
pelayanan, kalau boleh kami katakan.
Dan penerimaan pembaca pulalah, yang mendesak kami untuk "awas"
-- jangan sampai kami bekerja seenaknya.
Surat-surat anda, seperti yang pernah kami katakan, merupakan
sebagian cerminan keinginan pembaca itu. Bahkan kritik dan
tudingan ke muka kami, kami usahakan untuk selalu tampil.
Hanyalah menyedihkan, bahwa beberapa pembaca --seperti terungkap
dari dua-tiga surat pada nomor-nomor terakhir -- akhirnya
memutuskan untuk keluar dari hubungan langsung dengan majalah
ini, dengan alasan yang menerbitkan simpati: soal daya beli, dan
bukan misalnya "perbedaan haluan".
Ini tiba-tiba menyadarkan kita bersama akan keterbatasan
masing-masing. Keterbatasan kami ialah, kami harus bekerja juga
dengan hukum-hukum perdagangan. Sebuah usaha pers memang bukan
tempat mencari untung. Sebuah usaha pers juga ternyata sebuah
institusi yang memerlukan biaya cukup -- agar ia kuat dan tidak
"menjual diri". Di negeri totaliter seperti Cina dan Vietnam
pers tak perlu usaha sendiri. Mereka disubsidi penguasa. Tapi
mereka juga cuma terompet. Kami yakin pembaca tak ingin TEMPO
harus jadi terompet -- juga terompetnya nafsu mengeruk laba.
Dalam hubungan itulah, TEMPO selalu berusaha menjadi lebih
tebal. Ini memang salah satu yang ingin kami lakukan, sebagai
imbalan. Setelah majalah ini terbit dengan tebal 50-an halaman
pada tahun pertama, enam tahun kemudian, 1977 (5 Maret, sebagian
anda tahu) ia menjadi 60 halaman. Jika iklan bertambah, kami
tidak mengambil jatah halaman redaksi. Kadang diadakan
penambahan, sampai empat halaman, bahkan mulai Mei tahun lalu
penambahan kadang bisa menjadi 8 - 10 halaman.
Tambahan halaman sudah tentu berarti tambahan kerja. Dalam
hubungan itulah kami secara teratur menambah tenaga. Meskipun
TEMPO barangkali termasuk "kikir" dalam menerima calon wartawan.
Salah satu sebabnya: sifat majalah ini terpaksa menghendaki
wartawan yang bukan saja pandai menulis dan mendapatkan
informasi, tapi juga yang bisa bekerja dalam tim. TEMPO 'kan
kerja "keroyokan".
Dalam suasana kerja keroyokan itu tentu saja terjadi saling asah
(meskipun tak selamanya "saling asih" dan "saling asuh"). Untuk
melembagakan itulah, ada Biro Pendidikan.
Biro Pendidikan, yang merupakan tambahan bagi sejumlah kerja
rangkap orangTEMPO sendiri, tugasnya terutama "mencari-cari
kelemahan" rekan-rekan untuk bisa membantu mereka dengan
pendidikan lebih lanjut. Termasuk, misalnya, mewajibkan kursus
bahasa Inggris.
Sebab bukan rahasia lagi, wartawan Indonesia umumnya tidak mahir
dalam bahasa asing dan akrab dengan literatur asing. Padahal
perpustakaan dan dokumentasi TEMPO sendiri alhamdulillah
termasuk diusahakan dengan ambisi dan biaya besar untuk jadi
lengkap. Di sini tersimpan tak cuma buku-buku, tapi juga
koran-koran dan majalah dari pelbagai negeri, di samping
sejumlah buletin dan jurnal. Bahwa sebagian besarnya tertulis
dalam bahasa asing, anda pahami.
Karena kebutuhan itu, di samping tuntutan tugas sehari-hari di
lapangan maupun di meja (bukankah kesalahan menulis kata asing
di TEMPO juga akibat kekurangan itu?) Biro Pendidikan terhitung
keras juga dalam pewajiban kursus. Seluruh wartawan, di samping
sebagian tenaga karyawan bidang lain, diharuskan mengikuti
testing untuk menentukan pada kelas berapa ia boleh diwajibkan
belajar dengan subsidi dari kantor. Termasuk Pemimpin Redaksi,
juga harus tes bahasa Inggris (untung lulus untuk tingkat yang
"bebas kursus").
Maka kantor pun jadi semacam tempat pertemuan anak sekolah.
Setiap hari ada saja yang berangkat atau pulang dari kursus --
lebih-lebih karena juga ada kursus manajemen bagi sebagian
tenaga wartawan dan administrasi yang dipersiapkan untuk jabatan
pengelolaan. Lalu dengan kursus, plus ngobrol, plus tugas
rangkap (misalnya jadi anggota peneliti atau tim pendidikan)
bagaimana orang TEMPO bisa menyelesaikan tugas utamanya: mengisi
dan menawarkan TEMPO ke pembaca? Jawabnya, dalam kata-kata yang
populer di kantor kami itu sih "manajemen" . . . Terjemahannya:
itu bisa digotong-royongkan.
Kemantapan gotong-royong memang perlu manajemen. Dulu kami
mentah betul dalam soal ini. Lambatnya kemajuan oplah TEMPO
tahun-tahun lalu misalnya (pernah hanya 23.130 pada 1973 setelah
25.500 di tahun sebelumnya, adalah karena cara kerja kami yang
kuno. Keterlambatan terbit, yang menyebabkdn terlambatnya waktu
penjualan, di tahun-tahun itu merupakan hal rutin. Bahkan pernah
majalah ini terpaksa tidak terbit di sekitar hari Idulfitri,
berhubung sebagian besar wartawan pulang mudik(!). Ini,
kadang-kadang bersama dengan semangat "asal sambar naskah",
disebabkan oleh tiadanya teamwork yang baik.
Karena itu pula di kemudian hari kerjasama dengan LPPM, Lembaga
Pembinaan dan Pengembangan Manajemen, diadakan. Beberapa bulan
dilakukan survei lengkap dengan segala wawancara di TEMPO,
dilanjutkan dengan evaluasi tiap bagian, penyusunan program lima
tahun dan evaluasinya per tahun, berbagai pergeseran dan
penambahan -- alhasil dasar-dasar manajemen yang diperlukan dan
dikembangkan sampai kini.
Dengan itu pula lembaga seperti Koordinator Reportase, yang
bertugas mengatur seluruh pencarian berita di Jakarta maupun di
daerah (dibentuk 1976, dan efektif sejak 1978) disempurnakan.
Dari sinilah wartawan kita di hampir seluruh pelosok mendapatkan
salurannya. Juga yang di luar negeri. Di sini dilakukan bukan
sekedar pencatatan naskah maupun imbalan untuk mereka, tapi juga
perencanaan sekali seminggu maupun hubungan dinas hampir setiap
hari: telepon, telegram, teleks ....
Dilihat dari statistik penelitian mutu, yang dilakukan Biro
Pendidikan, sumbangan dari daerah dan luar negeri kian lama kian
besar alam ide dan isi TEMPO. Dengan kata lain, peranan orang
di lapangan menjadi kian pening, sehingga TEMPO tak bisa
disebut "majalah Pemimpin Redaksi", yang hanya mencerminkan
wajah orang seorang.
Memang, kami baru hanya bisa membentuk tiga perwakilan dengan
tiga kepala biro di provinsi-provinsi yang "sudah matang": Yogya
& Jawa Tengah, Jawa Timur & Nusa Tenggara serta Sumatera Utara &
Aceh. Tapi para wartawan lain di berbagai tempat, tercatat di
Jakarta. Dan itu selain lewat bahan berita yang mereka kirim
juga lewat kedatangan mereka sendiri ke "pusat", secara
periodik, ganti-berganti untuk berbagai penataran maupun studi
praktek dan perbandingan. Pada gilirannya lalu lintas ini juga
akan dikenakan pada para wartawan Jakarta ke daerah.
Dan itu sebagiannya urusan Biro Pendidikan. Biro ini juga
merekomendasi seseorang untuk pergi ke daerah bukan dengan
maksud pencarian berita. Seseorang misalnya dikirim untuk
mengikuti seminar ataupun "pengisian baterai rohani' dengan
pengalaman, termasuk ke luar negeri.
Biro juga menyelenggarakan ceramah maupun diskusi periodik
dengan memanggil tokoh-tokoh berbagai bidang. Maklum wartawan,
yang kadang-kadang dianggap "banyak tahu" itu, sebenarnya banyak
sekali yang "tidak mendalam".
Segala jerih payah itu memang tidak terbaca di halaman-halaman
majalah anda -- meski kami sendiri berharap agar buahnya mampu
menambah bobot majalah ini dalam pelayanannya. Paling kurang,
bangunan yang berdiri di belakang majalah anda, kami harapkan
semakin kokoh -- dan syukurlah bila itu menyebabkan apa yang
tersajikan makin bisa diandalkan.
Kami tiba-tiba teringat masa sepuluh tahun yang lalu, hari-hari
pertama kami berkumpul di bekas sebuah gedung apotek tua, yang
jorok bagian bawahnya dan bergoyang lantainya bagian atas. Kami
masih jauh lebih muda, hanya sedikit waktu itu mungkin lebih
sederhana, girang dan penuh cita-cita. Bersama rekan-rekan yang
di hari kemudian memperkuat bangunan bersama ini, semua dari
kami tak urung harus menjadi bagian dari sebuah perusahaan pers
yang kami sendiri turut dirikan. Dan perusahaan pers adalah
perusahaan juga.
BEDANYA: mesin-mesin adalah manusia, yang berkembang dan
karena itu memerlukan pembinaan dengan pendidikan. Itulah
mengapa perusahaan pers yang berkembang seharusnya berbeda dari
perusahaan roti. Dan mesin pers berbeda dari mesin roti.
Mungkin sepuluh tahun telah memberi kami cukup banyak hal,
sebagaimana juga pada anda. Mungkin kami makin sadar pada
kompleksitas masalah. Mungkin kami makin banyak menimbang, atau
berusaha berlapang dada. Dan bersama tenaga-tenaga yang lebih
muda dan bergairah, mungkin kami memberikan pula tambahan lain.
Bahwa majalah ini, dengan begitu, mengalami perubahan, bahwa
bahasanya misalnya menjadi makin teratur (dan TEMPO pernah
mendapat hadiah pertama untuk pemakaian bahasa terbaik pada
Pekan Bahasa November tahun lalu, dari Departemen P&K), atau
bahwa TEMPO, dikatakan, tidak "segalak" dulu, betapa pun sudah
merupakan hasil dari pertimbangan yang lebih mantap, dilihat
dari segi usia maupun organisasi. Kami sadar pada pentingnya
pikiran maupun keluhan anda. Kami hanya, dalam banyak hal, tidak
mengatakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini