Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Nusa

Demo di Depan Kantor BP Batam Nyaris Ricuh Karena Ini

Warga mendesak BP Batam menghentikan relokasi 16 kampung adat di Pulau Galang dan Pulau Rempang yang akan dijadikan lokasi proyek Rempang Eco City.

23 Agustus 2023 | 19.40 WIB

Masyarakat Melayu Bersatu menggelar demonstrasi di depan Kantor BP Batam pada Rabu, 23 Agustus 2023. Mereka menolak rencana relokasi 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang. TEMPO/YOGI EKA SAHPUTRA
Perbesar
Masyarakat Melayu Bersatu menggelar demonstrasi di depan Kantor BP Batam pada Rabu, 23 Agustus 2023. Mereka menolak rencana relokasi 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang. TEMPO/YOGI EKA SAHPUTRA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Batam - Demonstrasi yang dilakukan ribuan masyarakat adat se-Kota Batam di depan Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau yang biasa disingkat BP Batam pada Rabu, 23 Agustus 2023, nyaris berakhir ricuh.  Pasalnya, warga tak terima dengan solusi yang diajukan pihak BP Batam dalam masalah relokasi 16 kampung adat tua di Pulau Rempang dan Pulau Galang.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Relokasi tersebut dilakukan untuk pembangunan mega proyek Rempang Eco City. Proyek ini merupakan kelanjutan kesepakatan yang ditandatangani oleh Pemerintah Kota Batam, BP Batam dan PT Megah Elok Graha, perusahaan di bawah naungan Artha Graha Grup milik Tomy Winata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut pantauan Tempo, demonstrasi itu awalnya berjalan tertib. Setelah menyampaikan tuntutannya, mereka mendesak Kepala BP Batam Muhammad Rudi menandatangani kertas yang berisikan menyetujui empat tuntutan mereka.

Empat tuntutan itu adalah: Warga menolak tegas relokasi 16 titik kampung adat tua yang berada di wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang; Pembubaran BP Batam; pengakuan terhadap tanah adat dan ulayat warga; penghentian intimidasi terhadap masyarakat yang menolak relokasi.

Beberapa perwakilan massa yang tergabung dalam Aliansi Pemude Melayu ini kemudian diminta untuk bernegosiasi dengan Kepala BP Batam. Negosiasi berlangsung hampir satu jam. Massa yang menunggu di luar nyaris ingin menerobos masuk ke Kantor BP Batam, pasalnya hasil negosisasi tidak kunjung keluar.

"Kami sudah tidak sabar, kami hanya butuh tanda tangan Rudi (Kepala BP Batam) kalau kampung kami jangan digusur," kata salah seorang orator. 

Pagar rusak hingga lemparan batu

Beberapa kali massa mengoyang pagar Kantor BP Batam. Terlihat pagar juga rusak disebabkan karena dibuka paksa oleh massa.

Beberapa kali juga terlihat dari arah kumpulan massa melepar botol air mineral hingga batu ke arah kantor BP Batam. Dandim 0316/Batam Letnan Kolonel Inf Galih Bramantyo pun terluka karena lemparan batu itu. 

"Saya minta warga sabar, baru kali ini saya kena lemparan batu saat pengamanan aksi, kami disini semuanya sabar, saya minta warga jangan anarkis," kata Dandim melalui pengeras suara.

Massa juga menegaskan batu yang dilempar bukan berasal dari warga tetapi penyusup. "Kami tidak pernah bawa batu kesini, jadi jangan tuduh kami," ujar mereka. 

Beberapa saat setelah itu perwakilan warga yang negosiasi dengan Kepala BP Batam keluar. Massa mulai terkendali kembali. 

Massa tak terima dengan tawaran BP Batam

Ketua Aliansi Pemude Melayu Dian Arniandy mengatakan, hasil negosiasi mengubah tuntutan awal masyarakat. Dari empat tuntutan menjadi dua, yaitu pertama, BP Batam bersama perwakilan warga Rempang akan melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar untuk menyampaikan aspirasinya. Kedua, BP Batam berjanjji akan melibatkan RT/RW serta warga dalam  pengukuran tata batas penggunaan lahan. 

"Ini hasil negosisasi tadi, bagaimana untuk kita semua, apakah setuju," kata pria yang akrab disapa Pian Bagan ini kepada massa. Dengan serentak warga berteriak tidak setuju dengan hasil negosiasi tersebut. Warga tetap dituntutan awal.

Surat hasil negosiasi itu kemudian dirobek di depan ribuan massa, disambut teriakan. "Hidup melayu, hidup melayu," kata salah satu orator. Tidak hanya warga Rempang, aksi ini juga didukung 50 kampung masyarakat melayu yang ada di Kepri. Bahkan terlihat di lokasi juga hadir warga melayu dari Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang.

Akhirnya, massa membubarkan diri setelah Koordinator Aksi Mulyadi menyerahkan tuntutan awal tersebut kepada Direktur Pengelolaan Lahan BP Batam, Ilham Eka Hartawan yang hadir dilokasi.

Mulyadi pun menambahkan satu tuntutan terakhir dari warga, yaitu permintaan maaf dari BP Batam kepada warga melayu Kepulauan Riau pada umumnya dan warga Pulau Rempang pada khususnya. 

"Kami akan ultimatum dua kali 24 jam, kalau tidak dibalas Jumat kami datang lagi," kata Mulyadi.

 

Yogi Eka Sahputra

Kontributor Tempo di Tanjungpinang, Kepulauan Riau

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus