Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Denda Buat Puntung Lapuk

Pontianak melakukan operasi melati putih bagi yang membuang sampah sembarangan (perda 02/1976). 149 warga diseret ke pengadilan. mengikuti cara padang. beberapa kota masih sulit menerapkan perda tersebut. (nas)

30 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBUANG sampah sembarangan bisa menjadi urusan pengadilan. Cara membuat kota menjadi bersih dengan melibatkan aparat hukum itu memang bukan model baru. Misalnya, lewat peraturan daerah (perda) sejumlah kota besar mengancam penduduk agar tahu kebersihan kota. Tak banyak kota yang berakhir sukses dengan cara begini, memang. Namun, model perda-perdaan itu tetap saja dicontoh banyak kota. Misalnya seperti yang dilakukan Kota Madya Pontianak. Dari hasil Operasi Melati Putih (OMP), demikian nama operasi kebersihan itu, yang dimulai sejak 19 Agustus lalu, hingga Senin pekan ini tidak kurang dari 149 orang diadili karena melanggar Perda 02/1976. Proses pengadilannya pun dilakukan dengan cepat, 30-60 detik untuk setiap terdakwa. Bahkan dalam proses pengadilan yang berlangsung pekan ini, sang hakim tidak lagi menggunakan ketukan palu. Para terdakwa, yang sebagian besar pedagang itu, didenda pengadilan Rp 5 ribu sampai Rp 8 ribu. Dan hasilnya, dari 112 terdakwa yang diadili hingga Sabtu lalu, terkumpul Rp 700 ribu uang denda. Memang bukan uang denda yang menjadi tujuan Perda itu, "Denda itu hanya merupakan salah satu terapi, agar masyarakat tertib," kata Madjid Hasan, Wali Kota Pontianak. Wali kota yang punya ambisi membikin kotanya bersih ini, semula, tidak bermaksud mengenakan sanksi terhadap para pelanggar. "Tapi setelah sebulan lebih OMP memberikan penerangan, ternyata masih banyak masyarakat yang membandel," tuturnya. Akhirnya, terpaksa denda pun berjatuhan. Bagi penduduk ibu kota Kalimantan Barat itu, denda hanya gara-gara sampah, tampaknya, merupakan hal baru. Tak heran bila banyak terdakwa terbengong-bengong ketika terjaring OMP. Seperti yang dialami Ahun, 33, pedagang es yang dihadapkan kepada Hakim Farida di Pengadilan Negeri Pontianak, Sabtu lalu. Ahun tanpa sempat membela diri langsung divonis. "Membuang sampah sembarangan, ya, bayar Rp 5 ribu," kata Hakim Farida. Ahun pun terpaksa membayar, kendati penghasilannya tidak sampai Rp 2 ribu sehari. Begitu juga yang dialami Sapo Kiyono, 22, pemilik toko obat di pasar Nusa Indah. Meskipun sudah menyediakan bak sampah Sapo tidak berkutik ketika ditangkap karena ada beberapa puntung rokok di depan tokonya. Padahal, selain Sapo bukan seorang perokok, "Puntung yang jadi bukti itu pun sudah lapuk, dan entah sejak kapan ada di sana," ujarnya. Akheng, pedagang kelontong di Jalan Ciliwung, juga menggerutu, dan kena denda Rp 5 ribu. "Padahal, sampahnya empat meter lebih dari toko saya, nggak tahu siapa yang buang, yang jelas bukan saya," ujarnya. Memang ada juga ekses operasi kebersihan ini. Seperti dikemukakan Akheng, petugas operasi tidak hanya memeriksa bagian luar, tapi mereka melakukan pemeriksaan sampai ke dalam toko, "Mereka memperingatkan kalau lantai toko tidak bersih juga akan ditilang," tutur Akheng. Jadi, wajar kalau ada seorang warga kota yang menyimpulkan, "Petugas operasi itu seperti mencari-cari kesalahan." Pendapat minor itu, tentu saja, dibantah petugas OMP yang beranggotakan dari unsur Ketertiban Umum (Tibum), Polisi, dan Koramil. "Mereka memang bandel, merasa sudah membayar retribusi lantas buang sampah sembarangan," tutur Letda Sunaryo, salah seorang anggota tim OMP. Memang, untuk memerangi sampah, rupanya, bukan hanya kesadaran masyarakat yang diperlukan, tetapi juga besarnya dana yang dialokasikan untuk kebersihan. Seperti halnya di Pontianak yang setiap bulan menghasilkan tidak kurang dari 270 ton sampah. Yang tertanggulangi oleh petugas kebersihan terpaksa hanya 170 ton. Salah satu sebabnya adalah karena dana yang tersedia hanya Rp 72 juta setahun, sedang yang dibutuhkan tidak kurang dari Rp 400 juta. Padahal, sang wali kota menginginkan Pontianak bersih seperti Padang. Sebagai kota terbersih, Padang memang menjadi kota idola bagi para wali kota di seluruh Indonesia. Tak kurang 26 wali kota dan 201 bupati seluruh Indonesia hadir di Bukittinggi, ketika berlangsung lokakarya cara mengatasi masalah sampah, Agustus 1985. Keputusan lokakarya itu antara lain mereka sepakat untuk mencoba "model Padang" itu terhitung Oktober 1985. Dan Pontianak barangkali salah satu kota yang masih ingat hasil kesepakatan itu. Tapi tentu saja keberhasilan Padang dalam soal mengatasi sampah itu tidak dicapai dengan kerja yang ringan. Dengan bekal perda yang dikeluarkan pada 1973, aparat Pemda Padang memulai gebrakannya pada 1979 dengan mengajukan 403 warganya ke pengadilan. Sampai 1985 jumlah pelanggar pun naik menjadi 1.745 orang. Hingga akhirnya mulai Januari lalu, tak seorang pun diajukan ke pengadilan. "Kesadaran memang sudah mulai tumbuh, tapi bukan berarti perda tidak berlaku lagi," ujar Syahrul Udjud, wali, kota Padang. Itulah sebabnya, Pemda Padang menurunkan perda baru tentang kebersihan. Dalam Perda No. 05/1985 itu, sanksi denda maksimal dinaikkan dari Rp 10 ribu menjadi Rp 50 ribu. Sementara itu, sanksi hukuman kurungan maksimal tetap enam bulan. Perda yang akan diberlakukan per awal September ini tidak hanya mewajibkan pemilik bangunan saja, tapi pemilik kendaraan yang ditarik hewan pun harus memiliki tempat menampung sampah. Sambutan positif pun muncul dari Pengadilan dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, yang mengutus hakim dan Jaksanya untuk berpiket selama 24 jam. "Kami ingin setiap orang menegur orang lainnya yang membuang sampah sembarangan," ucap Syahrul, yang pernah menjadi jaksa, tentang target yang ingin dicapainya. Memang bagi Padang, atau mungkin Pontianak, target itu tampaknya sudah lebih mudah dicapai. Tapi, masih sulit bagi kodya lain. Bandung, misalnya, yang memiliki perda tanpa sanksi, telah mengeluarkan Rp 4,5 milyar untuk menanggulangi sampah. "Kalau penduduk masih tetap membuang sampah seenaknya, apa boleh buat, kami akan menerapkan sanksi juga," kata Ateng Wahyudi, wali kota Bandung. Keluhan muncul juga dari Kodya Medan, yang sudah pernah menjatuhkan sanksi denda berdasarkan perdanya, pada 1985, atas 20 warga yang melanggar. "Kita mau menghukum salah juga, habis sarana kebersihan saja masih kurang," ujar Bersamanov Karo Karo, 38, Kepala Dinas Kebersihan Medan. Itulah sebabnya 1.150 ton sampah yang muncul di kota ini setiap harinya, hanya bisa tertanggulangi 600 ton. Memang bukan hanya Medan yang kesulitan dalam menerapkan Perda, tapi Jakarta pun mengalami hal yang sama. Ketika aparat Pemda DKI itu melakukan penangkapan atas pelanggar perda, reaksi keras muncul dari LBH. "Dan akhirnya operasi itu sekarang dihentikan," kata Sudarsin, Humas Pemda DKI. Tapi protes yang lebih keras ternyata malah muncul di Purworejo, Jawa Tengah. Perda yang baru disahkan oleh DPRD-nya Juli lalu, dan masih dalam proses persetujuan Gubernur, mendapat protes keras dari para ahli hukum. Kenapa? "Ancaman hukuman 6 bulan itu bisa dikategorikan tindak pidana biasa," kata seorang hakim senior di PN Purworejo. Lantas sang hakim menunjuk KUHAP pasal 205 sebagai penguat pendapatnya. Dalam pasal itu disebutkan, yang bisa digolongkan tindak pidana ringan hanya perkara yang diancam hukuman kurungan maksimal tiga bulan, dan denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus