LUGAR ingin tahu apa yang terjadi di Indonesia. Lalu, dengan menumpang pesawat jet eksekutif Angkatan Udara Amerika Serikat, dia memasukkan Indonesia dalam agenda perjalanannya ke negara-negara Asia-Pasifik. "Saya ingin tahu Indonesia dari segala sudut pandang," ujar ketua komisi hubungan luar negeri Senat AS itu secara khusus kepada TEMPO, Sabtu malam silam, di ruang Parang Kusumo Sahid Garden Hotel, Yogyakarta. Dengan alasan itulah senator yang bernama lengkap Richard Lugar itu menghabiskan sebagian besar waktu kunjungannya dengan serangkaian pembicaraan bersama pimpinan dan pejabat tinggi negara, serta para tokoh masyarakat. Hanya saja, agaknya, tak ada yang istimewa dalam rangkai pembicaraannya. Topiknya bersifat umum, seputar proteksionisme perdagangan, kedudukan Indonesia dalam peta politik ASEAN, pembangunan, dan hubungan bilateral. Kendati demikian, tak mustahil kunjungan senator dari Partai Republik itu tak bakal membuahkan hasil di masa mendatang. Dialah orang yang setiap minggu sekali meluangkan waktu makannya bersama Menteri Luar Negeri George Shultz, dan mengadakan pembicaraan telepon setiap minggu dengan Gedung Putih, ketika Presiden Ronald Reagan memutuskan untuk memberi sanksi ekonomi kepada Afrika Selatan. Serta, sebagaimana diakuinya, dia pulalah tokoh di belakang layar yang berhasil mencabut dukungan Reagan kepada Marcos. Demikian tulis koran yang sangat berpengaruh di AS, The Wall Street Journal, beberapa waktu lalu. Jadi, jelas sudah, bukan Pakistan yang dia tinggali "bom waktu", seperti yang dikatakan Amin Iskandar, anggota DPR, karena memang dia tak pernah berkunjung ke sana. Kalau Filipina, memang pernah dia kunjungi, atas undangan Marcos, sebagai pengawas pemilu ketika menghadapi Corazon Aquino. "Tapi Filipina tak bisa dijadikan bahan bandingan dengan Indonesia," ujar Duta Besar AS untuk Indonesia, Paul Wolfowitz, kepada TEMPO. Bagi Indonesia, sampai saat ini, belum muncul pernyataan semacam itu dari Lugar kendati, kepada TEMPO, secara lisan dia menyatakan, "Indonesia harus lebih mendapat perhatian." Bidang pertanian, itulah agaknya perhatian utama Lugar. Karena itu, dalam kunjungannya yang berlangsung hanya tiga hari, yang dua hari dia lewatkan di Yogyakarta: berkunjung ke pelosok desa dan bertukar pikiran dengan para staf pengajar senior dari Universitas Gadjah Mada. Isinya, tentu saja, sebagian besar soal studi pedesaan. Keseriusannya di bidang pertanian didemonstrasikannya dengan mewawancarai beberapa nasabah Badan Kredit Kecamatan (BKK) Tanjung, meninjau proyek persawahan terasering dan jaringan irigasi, yang semuanya berlokasi di Kabupaten Sleman dan mendapat suntikan dana dari USAID lembaga pemerintah AS untuk pembangunan internasional. Di wilayah Ja-Teng dan DIY, kini, terdapat 497 BKK yang mendapat bantuan dari lembaga itu sejak tahun 1970-an, dengan perputaran uang yang mencapai Rp 1,8 milyar per bulan, yang dinikmati oleh hampir setengah juta nasabah. "Saya sangat kagum pada pembangunan pertanian Indonesia, yang berhasil berswasembada beras sejak tahun lalu," kesan Lugar, yang diperoleh dari turbanya. Lugar sempat menyelipkan pikirannya yang antiproteksionisme. Katanya, dalam diskusinya dengan para intelektual UGM, petani Amerika sedang susah. Mereka sulit melemparkan panennya ke pasar dunia, karena dihadang proteksi. Proteksi memang sangat tidak menarik bagi negara-negara yang industrinya berorientasi ekspor. Bagi mereka, juga tak kalah buruknya dengan tak adanya hukum yang melindungi hasil-hasil temuan para ahli. "Indonesia harus memiliki undang-undang hak cipta, agar para pemilik modal lebih tertarik," ujar Lugar, dengan alasan, mereka tak mau barang-barang mereka bebas dipalsu. Lalu, dengan tangkas, nasihat itu pun segera dijawab oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja. "Indonesia tengah merencanakan untuk menyusun UU itu," ujarnya. Syahril Chili & Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini