DWIFUNGSI ABRI, boleh jadi, akan diekspor. Peminatnya sudah ada, yakni Suriname. Minat itu dengan gamblang dinyatakan oleh Menlu Suriname Henk Frans Herrenberg, setelah mendengarkan penjelasan Presiden Soeharto di Bina Graha, Kamis 21 Agustus lalu. Penjelasan itu, rupanya, memukau sang tamu. Sehingga pertemuan berlangsung satu jam lebih, dua kali lebih lama dari yang semula direncanakan. Bahkan, seakan masih belum puas, Menlu Herrenberg juga kembali membicarakan ihwal dwifungsi ABRI itu dengan rekannya, Menlu Mochtar Kusumaatmadja. "Dwifungsi militer itu sangat menarik, sebab kami dapat memasukkannya ke dalam diskusi yang kini tengah hangat di negeri kami," kata Herrenberg. Suriname, yang dulu dikenal sebagai Guyana Nederland, sejak Februari 1980 dipimpin oleh Letkol Daysi Bouterse. Kekuasaan itu direbut oleh pelatih fisik tentara itu, setelah merobohkan kepemimpinan sipil. Inilah kudeta yang dilakukan para sersan. Setelah berhasil, mereka menggelembungkan pangkat masing-masing, dengan Bouterse sebagai letnan kolonel. Menurut Menlu Herrenberg, ada dua hal yang menyebabkan ia tertarik pada dwifungsi ABRI. Pertama, Suriname merdeka dari jajahan Belanda, 1975. Dan, baru Februari 1980, yakni sejak Bouterse berkuasa, "Kami memulai suatu perubahan revolusioner, di bawah kepeloporan militer," ujar Herrenberg. Yakni, suatu proses, "militer tidak hanya untuk keamanan negara, tapi juga punya peranan sosial." Dewasa ini, "Kami sedang menyusun suatu konstitusi baru, yang akan siap tahun depan. Kami sedang berjalan ke arah situasi baru," ujar pendiri Suriname Social Party (1975) itu. Kedua, ketika militer melakukan kup pada 1980, "Mereka berjanji tidak akan mendirikan diktator militer," kata Herrenberg. "Dan, memang, mereka telah mengundang kalangan sipil untuk berperan dalam pembangunan nasional. Tapi pemerintah Belanda menginginkan tentara kembali ke barak. Bahkan, menyetop bantuan finansial, sebagai intimidasi dan tekanan agar Suriname kembali ke demokrasi formal," tambahnya. Belanda memang telah menyetop bantuan keuangannya yang US$ 100 juta per tahun bagi negeri berpenduduk 400.000 jiwa itu. Suriname merupakan negeri dengan tiga etnis utama. Selama Belanda menjajah sejak 1667, ia membawa budak Afrika (Negro), buruh kontrak dari India, serta orang Jawa dari Indonesia. "Kini kami sedang merayakan 96 tahun imigrasi orang Jawa ke Suriname," ujar Herrenberg, yang keturunan Negro. Menlu Suriname itu, misalnya, datang ke Indonesia, antara lain, bersama William Soemita. Lahir di Suriname, tapi bekas Menteri Pertanian dan kini Direktur Departemen Sosial dan Perumahan Suriname ini masih fasih berbahasa Jawa. Orang-orang Jawa di sana, menurut Soemita, kini tak lagi seperti dulu, hanya sebagai buruh. "Banyak yang menjadi pejabat, dan petani yang punya tanah sendiri, peralatan sendiri, dan pabrik sendiri," kata Soemita, 50. Ekonomi Suriname terutama didukung oleh sektor pertambangan. Yakni pengelolaan bauksit menjadi aluminium. Selebihnya ekspor beras, yang sebagian besar ke Eropa, serta beberapa jenis buah, terutama pisang, serta hasil industri perkayuan. Yang menjadi masalah bagi Suriname ialah kekurangan tenaga kerja. "Suriname kekurangan penduduk," kata Soemita. Itulah sebabnya, Suriname berharap agar Indonesia suka mengirimkan penduduknya, nelayan, misalnya. "Suriname selalu terbuka bagi kedatangan orang asing," kata Menlu Herrenberg. Dengan luas negeri 145.000 km2, Suriname juga kekurangan tenaga intelektual. Sebanyak 200.000 orang Suriname kini tinggal di Negeri Belanda. "Suriname adalah korban brain drain," kata Herrenberg. "Mereka tak akan kembali lagi ke Suriname." Begitu banyak intelektual yang pergi, sehingga Suriname kekurangan tenaga ahli, seperti dokter, misalnya. Laporan Farid Gaban (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini