KAPITALISME? Saya melihat papan-papan bersaing, sepanjang jalan. Beberapa toko penjual beras dan rempah-rempah. Sebuah restoran bakso dan sebuah restoran sup kepala ikan. Sebuah toko buku. Sederet toko besi. Saya terkadang bertanya, di dalam hati, adakah mereka laku. Tidakkah mereka sia-sia mempertaruhkan modal yang secara terbatas mereka miliki. Tapi Indonesia, kata seorang Marxis beberapa puluh tahun yang silam, memang, "adalah lautan borjuis kecil." Dan dia benar. Bahkan petani dengan sawah sepetak itu pun termasuk borjuasi ukuran kacang. Yang belum amat jelas ialah (jika kita mendengar para pemikir strategi pembangunan bicara): apa gerangan yang akan, harus, atau perlu dilakukan dengan "lautan" itu ? Para "borjuis kecil", makhluk yang sama sekali tidak mengesankan itu, sering kali memang dicemooh, karena mereka hidup dengan jari tangan kotor oleh barang dagangan yang berdaki. Karena fokus hati mereka hanya pada laba yang sepele. Karena ruplah-rupiah rombeng yang lewat di depan itu saja yang mereka timang, mereka impikan, dan mereka raih. Hidup hanya jadi cipoa yang tak henti-hentinya: sibuk, tidak lembut, tidak elegan. Sebaliknya, para "borjuis kecil" itu, lantaran kecil, juga sering dikasihani. Mereka dianggap lemah. Mereka perlu dilindungi dari ancaman. Di depan, di belakang, dan di samping mereka berkerumuk borjuasi yang lebih besar. Tapi dikasihani ataupun dicemooh orang-orang ini terkadang dilupakan dalam percaturan yang serius antara kapitalisme dan sosialisme. Maklum, para pemilik toko yang centang-perenang itu lebih banyak dianggap sebagai sebuah fenomena peralihan: yang kecil toh akan menjadi besar pada suatu hari nanti -- atau akan lenyap. Masyarakat para pemilik modal ini toh sebuah masyarakat yang penuh kontradiksi: diramalkan yang kecil cepat atau lambat akan ditelan oleh yang sudah jadi besar. Akhirnya monopoli akan terjadi. Dan di ujung monopoli: keruntuhan seluruh sistem karena begitu banyak orang yang terhina dan yang lapar dan bangun dengan amarah. Kontradiksi memang tak terelakkan, benturan kepentingan memang tak terhindari. Yang mengherankan ialah bahwa sekian ribu tahun sudah para pemilik kedai hadir di dalam sejarah, tapi mereka tak kunjung juga punah. Di Kota New York, gedung-gedung raksasa menjulang, restoran gemerlap mengimbau, kapital besar mengaum sampai menembus lapisan ozon di langit. Tapi Anda tetap bisa beli nasi dan ayam goreng di warung Pak Lim di 46 Street, bisa berbelanja bukan di Saks Fifth Avenue. Dan Pak Lim atau penjual tempura kaki lima itu bisa hidup, bisa naik bis umum yang murah atau nonton pertunjukan Shakespeare gratis di Central Park. Borjuis kecil rupanya seperti pahlawan di Stalingrad: tak mati-mati. Para pemilik kedai bahkan tiba-tiba juga muncul di Hungaria ataupun Cina -- di dua negeri, yang dulu pernah mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa borjuasi, dalam ukuran apa pun. Di Cina, di bawah Deng, bahkan para petani tidak lagi dikisahkan bergairah untuk sebuah komune, yang milik bersama itu. Mereka bergairah justru menjual hasil tanah mereka sendiri ke pasar, mendapat laba membeli televisi, membeli sepeda motor dan, mungkin, minum Coca-Cola dari kedai milik tetangga. Tak aneh bila para pengikut Mao sejati menuding Deng sebagai "pengambil jalan kapitalis", yakni sejenis orang yang berbalik gagang memihak setan. Di Hungaria, di Budapest, di kota yang cantik bermandikan cahaya di malam hari ini, toko sibuk dan restoran laris, dan orang datang dan pergi dengan mobil merk mutakhir. Sebuah lelucon di sini dikisahkan di sebuah kabaret: seorang tertidur di zaman ketika Hungaria pertama kalinya dinyatakan sosialis. Ia bangun suatu pagi di tahun 1985. Ketika melihat ke sekitar, dia mengira dia hidup di sebuah masyarakat kapitalis. "Sosialisme lemari es," kecam para komunis lama. Tapi seorang penulis biografi Janos Kadar, L. Gyurko, punya sebuah pledoi: "Banyak yang percaya bahwa keadaan serba cukup itu berbahaya, dan jika mentalitas konsumen menguasai Hungaria, jika rakyat berusaha punya mobil, lemari es, rumah peristirahatan akhir pekan, jika pemilikan tanah dan rumah meningkat, borjuasi kecil akan secara sosial dilahirkan kembali. Ada benarnya .... tapi saya tak bisa membayangkan sebuah masyarakat sosialis yang tak berikhtiar memperbaiki kesejahteraan rakyatnya." Bagi Gyurko, mendesak rakyat agar bersikap asketis bagai seorang pertapa yang menolak godaan benda-benda kadang-kadang perlu. Tapi untuk terus-menerus demikian adalah hal yang "tak terbayangkan". Maka biarlah rakyat jadi penikmat. Dan jika persediaan terbatas, hingga ada beda antara yang mendapat, tak apalah. Bagi Gyurko, seperti bagi pemerintah sosialis Hungaria kini, egalitarianisme itu keliru. Itu bukan kehendak Marx ataupun Engels. Sebab, "Seseorang dilahirkan kuat dan berbakat, yang lain lemah dan tak berbakat, dan masyarakat tak mampu mempersamakan kecenderungan itu". Sosialisme ? Kapitalisme ? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini