JAS, kain, kebaya, dan juga proses itu sangat rapi, ketika mereka mulai bekerja. Pekan lalu, di Ibu Kota, gedung DPR/MPR yang besar dan beratap lengkung itu sekali lagi menyaksikan anggota-anggota baru DPR/MPR dilantik sebelum diberi jadwal untuk menyusun pelbagai pegangan bagi periode lima tahun lagi. Buat sebagian orang, tak banyak yang baru dalam gaya hari itu. Tak ada surprise, tak ada yang mengejutkan. Lancar, sangat lancar. Tapi toh kelancaran itu membuat banyak pihak lega. Kali ini, buat pertama kalinya, tak ada ketegangan dan permusuhan yang meledak di antara kursi-kursi itu, tak ada kemarahan di koridor-koridor gedung megah di Senayan yang sejuk oleh pengatur suhu udara itu. Hari itu, 973 anggota DPR/MPR hasil Pemilu 1987 dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Tercatat 27 anggota berhalangan hadir. Ada yang hadir tapi tidak bisa dilantik -- dan itu adalah Ali Said sendiri sebagai anggota MPR (lihat Ali, di Antara Dua Jabatan). Selebihnya, sebagian terbesar, hadir seraya berucap untuk bekerja bagi "amanat penderitaan rakyat". Dalam tafsiran yang berlaku kini, amanat itu bukanlah amanat untuk tindakan-tindakan radikal yang menjebol. Sejak mula sudah tampak bahwa amanat yang paling pokok adalah amanat untuk menekankan kesinambungan dengan masa sebelumnya. Toh suasana bukannya tanpa selingan. Misalnya di saat pelantikan para anggota MPR. Mohamad Mangundiprodjo, 82 tahun, anggota MPR tertua utusan daerah Lampung, ditunjuk sebagai pimpinan sementara sebelum pimpinan yang tetap terpilih. Mangundiprodjo adalah gubernur Lampung pertama dan ayah Dubes RI di Kuala Lumpur, Letjen Himawan Sutanto. Ia tampak masih gagah, meskipun berkali-kali salah menyebut tahun 1992 menjadi 1982. Para hadirin bertepuk ketika suara ketukan palunya tetap kencang, walaupun ia hanya sekali mengetuk untuk membuka sidang, bukan tiga kali sebagaimana lazimnya. Selingan lain adalah seorang anak muda yang lahir di tahun 1962 (ia baru berumur empat tahun ketika Orde Baru berangkat). Ia, Husein Naro, adalah anak Ketua Umum DPP PPP, yang -- karena usianya yang paling muda di antara semua anggota bertugas membantu memimpin sidang. Tinggi dan tampan, dan dalam banyak hal menampakkan potongan anak sekarang, Naro muda ini toh mencium tangan Presiden dan Wakil Presiden -- bukan menyalami tatkala ia menyambut sewaktu kedua pimpinan nasional itu tiba di Senayan untuk upacara pelantikan. Semua itu tentu bukan sesuatu yang simbolis. Betapapun juga, DPR/MPR baru ini memang cermin sebuah keanekaragaman yang diatur, dan mengatur diri, dengan baik. Puluhan kolonel muda kini muncul dalam fraksi ABRI, bersamaan dengan masuknya putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri yang tak mau banyak bicara, di Fraksi PDI. Namun, akan lebih baikkah penampilan ke-1.000 anggota itu -- sebagai legislator dan pengontrol -- belum bisa ditentukan sekarang. Menteri Muda Sekkab Moerdiono mengatakan, "Mestinya generasi ini lebih baik. Namun, ada tetapinya. Seni mengatur negara dan politik nasional dalam arti luas, seperti yang akan dilakukan di DPR nantinya, memerlukan kearifan di samping pengetahuan. Dan itu memerlukan pengalaman yang tidak bisa diajarkan dalam waktu singkat." Pengalaman memang membutuhkan waktu. Tapi tak berarti DPR/MPR 1987-1992 ini mulai dari titik nol. Tokoh seperti Amirmachmud, bekas ketua yang pekan lalu sudah digantikan, memang tak ada lagi. Namun, masih cukup banyak muka lama yang bertahan. Lihat saja susunan kepemimpinan DPR/MPR serta fraksi-fraksi. Seperti telah diduga, Kharis Suhud terpilih sebagai Ketua DPR/MPR. Sebagai wakil ketua: Soekardi dari F-KP. Kedua nama itu nama lama di Parlemen. Mayjen Saiful Sulun (Fraksi ABRI), pernah jadi anggota DPR pada 1977-1981. Dan tentu saja Soerjadi, Ketua Umum PDI yang telah berkali-kali menjadi anggota DPR. Wakil Ketua DPR lainnya adalah J. Naro, yang sebelumnya pernah menjabat Wakil Ketua DPR. Yang agak baru adalah Gubernur Jakarta R. Soeprapto. Ia terpilih sebagai Wakil Ketua MPR mewakili Utusan Daerah. Terpilihnya Soeprapto juga menimbulkan problem baru. Masa jabatan Kepala Daerah Khusus Ibu Kota ini akan berakhir pekan ini. Toh ia tetap akan di MPR. Alasan Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, sebagaimana dikatakannya kepada TEMPO: "Soeprapto dipilih oleh majelis, jadi jabatan Wakil Ketua MPR mewakili Utusan Daerah tidak kan dijabat penggantinya." Lalu bagaimana dengan wakil Jakarta di MPR, yang lazimya dipegang oleh Gubernur? Kabarnya, dalam waktu singkat, salah satu anggota fraksi Utusan Daerah dari Jakarta akan digantikan tempatnya oleh Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta yang menggantikan Soeprapto. Dengan singkat, itu cuma perkara mudah. Juga termasuk mudah bagi keseluruhan DPR/MPR untuk menyelesaikan satu-satunya protes dalam sidang paripurnanya yang pertama pekan lalu. Protes itu lahir dari kalangan PPP ketika nama Naro, "bos" PPP itu, ditaruh dalam urutan setelah Soerjadi dalam jajaran Wakil-wakil Ketua. Menurut mereka, Naro seharusnya ditempatkan di depan Soerjadi, karena jumlah anggota F-PP (61) lebih banyak dari F-PDI (40). Naro sendiri tampak bingung dan mondar-mandir. Protes itu -- disampaikan, dengan secarik kertas bertuliskan tangan saja -- dibicarakan dalam sidang gabungan pimpinan fraksi dan pimpinan sementara DPR/MPR sore harinya. Sidang rupanya berjalan alot. Dimulai pukul 18.00 dan dijadwalkan selesai dalam satu jam, pertemuan baru selesai pukul 20.30. Toh hasilnya: susunan pimpinan tetap seperti yang telah dikukuhkan. Dasarnya: pasal 39 Tata Tertib DPR menyebutkan bahwa nama-nama fraksi disebutkan berurutan secara alfabetis. Lagi pula, susunan itu sudah disahkan. Terpaksalah F-PP "takluk". Sebuah sumber menyebutkan, "Terbukti F-KP, F-ABRI, dan F-PDI bisa kompak dalam menghadapi suatu masalah." Susunan pimpinan fraksi di DPR juga tak beranjak jauh dengan yang diramalkan. F-ABRI diketuai Suripto dengan sekretaris Surastadi. F-KP dipimpin Soeharto sebagai ketua dengan sekretaris Rachmat Witular. Sedang F-PDI diketuai Fatimah Ahmad dan sekretaris Markus Waulan, sementara Taheransyah Karim dan Muhammad Dja'far Siddiq menjabat ketua dan sekretaris F-PP. Akhirnya, semua mulus memang. Sidang Umum MPR ditetapkan berlangsung 1-11 Maret, bertepatan dengan Serangan Umum 1 Maret dan lahirnya Surat Perintah 11 Maret yang biasa disingkat sebagai "Supersemar" -- dua kejadian penting dalam sejarah Indonesia, yang kebetulan menyangkut peran penting Presiden Soeharto. Dan dengan kelancaran yang sama, diumumkan juga susunan Badan Pekerja MPR. Yang agak di luar terkaan, ternyata Cosmas Batubara tak tercantum dalam deretan nama anggota Badan Pekerja. Begitu juga Kasospol ABRI Letjen Soegiarto. Padahal, keduanya anggota Tim Sembilan, yang ditugasi Presiden menyiapkan bahan-bahan akhir mengenai GBHN, yang diserahkan kepada Majelis untuk dibahas. Banyak yang tak menduga absennya dua nama itu. Soalnya, dalam pidatonya sewaktu pelantikan anggota DPR/MPR baru, Presiden Soeharto telah menawarkan tenaga mereka. "Sekiranya Majelis memandang perlu, Tim Sembilan ini saya tugasi untuk membantu kelancaran tugas Majelis atau badan yang ditunjuk, seperti misalnya Badan Pekerja Majelis," ujar Kepala Negara. Tapi kecuali tak hadirnya dua tokoh itu, anggota lain yang termasuk dalam 45 anggota tetap dan 45 anggota pengganti Badan Pekerja boleh dicatat. Dari Fraksi Karya Pembangunan, yang diwakili 24 anggota tetap dan 24 anggota pengganti, muncul nama seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, dua cendekiawan Islam yang terkenal. Fraksi ABRI diwakili antara lain oleh Moerdiono (Ketua Tim Sembilan) dan Ginandjar Kartasasmita. Ahli dan penulis ekonomi Kwik Kian Gie termasuk satu di antara 3 anggota tetap dan 3 anggota penganti dari F-PDI. Susunan Badan Pekerja MPR ini penting, karena merekalah yang bakal menyiapkan rancangan GBHN dari bahan-bahan yang telah diserahkan oleh Presiden pada 1 Oktober lalu. Badan Pekerja ini akan mulai bekerja pada 19 Oktober. Mereka diharuskan menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya dua minggu sebelum Sidang Umum MPR dimulai 1 Maret nanti. Masuknya sejumlah ahli dalam Badan Pekerja ini -- di masa lalu lebih banyak orang politik ada di situ -- membuat orang berharap: rancangan GBHN yang akan datang itu bisa jadi akan lain. "Adanya orang seperti Nurcholish Madjid dalam Badan Pekerja merupakan kemajuan. Dia akan memeriksa kembali asumsi-asumsi dan akan mencoba membuat proyeksinya sendiri," kata Abdurrahman Wahid. Tentu, itu hanya sebuah harapan. Namun, jalan ke arah perubahan itu agaknya terbuka. Bahan-bahan GBHN yang disiapkan Panitia Sembilan sendiri mencakup sejumlah hal yang baru. Masalah keadilan sosial, misalnya, kini lebih mendapat tekanan. Dan berbicara tentang keadilan, tentu saja menyangkut soal pemerataan. Dimasukkannya sektor informal ke dalam GBHN -- yang dulu lebih sering dilecehkan -- menunjukkan bahwa masalah kesempatan kerja memang memprihatinkan. Adanya perhatian yang besar terhadap pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup juga suatu pertanda, bidang ini termasuk masalah gawat yang lebih memerlukan perhatian. Segunung masalah memang menunggu kita di depan sana. Segunung persoalan, yang jika tak terpecahkan memang akan bisa menimbulkan percikan dan kepusingan. Bagaimana gambaran Indonesia lima tahun mendatang tentu saja termasuk dalam perhitungan -- meskipun meramal bukanlah hal yang gampang. Presiden Soeharto sendiri, satu-satunya tokoh yang sudah dapat disepakati akan dipilih untuk memimpin negeri ini nanti, lebih cenderung ke arah pandangan realistis yang berpengharapan seperti tersebut dalam pidatonya di depan hampir 1.000 anggota DPR/MPR yang baru disumpah itu. Yang dimaksud Kepala Negara, "Kit tidak akan menggantungkan harapan secara berlebihan." Lalu, "Kenyataan yang ada kita lihat seperti apa adanya, betapapun pahitnya." Maka, kini terpulanglah semuanya pada MPR untuk menyusun GBHN tersebut. Pada akhirnya memang lembaga perwakilan tertinggi yang menggariskan, Presiden yang melaksanakan -- dan Tuhan yang menentukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini