Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Konflik Baru, Bendera Baru ?

Diterimanya pancasila sebagai satu-satunya asas negara, bukan berarti bisa meredam konflik. Pertentangan bisa muncul dalam lingkaran pancasila dan sosial ekonomi. Konflik politik/ideologi tak akan ada lagi.

10 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELOMBANG besar manusia itu bersenjata tajam, dan bergerak maju. Mereka, sekitar 1.500 orang, menyatakan perlawanan. Petugas keamanan kewalahan membendungnya. Akhirnya senapan berbicara. Korban berjatuhan dalam kerusuhan yang meledak di Tanjungpriok pertengahan September 1984 itu. Insiden itu, yang melibatkan rakyat daerah miskin Tanjungpriok, ketika itu meletus setelah, antara lain, didahului serangkaian khotbah yang berapi-api. Dalam acara pengajian terakhir, 12 September 1984 misalnya, seorang pengkotbah, Almarhum Amir Biki, menyalakan protes terhadap pemerintah. Amir Biki -- yang kemudian ikut meninggal tertembak -- mempersoalkan Pancasila, yang hendak ditetapkan sebagai satu-satunya asas di dalam Rancangan Undang-Undang Keormasan yang tatkala itu memang lagi dibahas parlemen. Waktu itu memang disangsikan, bisakah ideologi Pancasila menampung semua aspirasi yang tumbuh di masyarakat -- yang begitu beragam, dengan tingkat kesadaran dan kemakmuran yang berbeda-beda. Kini, tiga tahun kemudian, Amir Biki dan kemarahan di Tanjungpriok -- sudah tak dibicarakan lagi. Pancasila telah disepakati, oleh hampir semua organisasi yang ada di Indonesia, sebagai "satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat dan bernegara". Adakah itu berarti, di masa mendatang setidaknya dalam lima tahun ini -- tidak akan ada lagi persengketaan di masyarakat dan di forum resmi, yang menggunakan ungkapan ideologis? Seperti halnya di setiap masyarakat, di setiap waktu, konflik bukanlah sesuatu yang mustahil. Bahkan sering merupakan bagian dari kenyataan kehidupan bersama, kadang dengan letupan. "Masalah letupan tidak punya kaitan langsung dengan ideologi," kata Abdurrahman Wahid, intelektual terkemuka dari kalangan NU itu. Konflik bisa pecah, tambahnya, karena masalah sosial ekonomi. Misalnya soal lapangan kerja atau kesenjangan antara kaya dan miskin. "Ideologi," katanya, "hanya alat untuk menyatakannya sebagai pandangan." Dalam beberapa hal, ideologi memang sering dipakai memperkuat alasan untuk membangkang -- atau, sebaliknya, untuk membungkam. Suatu pertentangan sosial, dengan itu, bisa berkembang jadi seakan-akan mutlak dan tak dapat dikompromikan lagi. Di dalamnya terkandung kecenderungan untuk memaksakan kehendak. Maka, kalaupun terjadi konflik dengan bahasa ideologi, seperti dugaan Abdurrahman, sebenarnya dasarnya adalah persoalan sosial yang tak begitu tampak di permukaan. Ketika bahasa ideologi yang berlaku adalah rumusan-rumusan Pancasila, pertentangan pun, seperti dikatakan oleh Dr. Nurcholish Madjid, "berlangsung dalam lingkaran Pancasila." Itu berarti orang menyoroti kenyataan di sekitarnya dengan ideologi negara itu, khususnya dengan tiap-tiap silanya. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid sendiri, misalnya, sejauh ini baru satu sila yang dilaksanakan dengan baik sekali yaitu sila Persatuan Indonesia. Dengan konsep kebangsaan, Indonesia sebagai negara yang kompleks ini bisa dipersatukan. Tapi, sementara itu, sila Kemanusiaan Kerakyatan, dan Keadilan Sosial dinilainya masih tercecer. Dan "ini akan jadi sumber konflik bila kita tidak cepat-cepat melaksanakannya dengan baik," katanya. Benturan itu mungkin tidak lagi mempermasalahkan Pancasila sendiri, melainkan berkisar kepada pelaksanaan ideologi itu dalam kehidupan. Berarti, diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas tak menghilangkan kemungkinan perbedaan -- mungkin pertentangan -- penilaian tentang masalah demokrasi, pemerataan, keadilan, dan lain-lain. Itu memang resminya tidak disebut sebagai suatu konflik ideologi. Rachmat Witular Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan di DPR, misalnya, menganggap konflik semacam itu lebih berkaitan dengan masalah pembangunan. "Bahwa secara operasional masih ada masalah," kata Rachmat Witular, "itu bisa diatasi dan dilengkapi dalam peningkatan pembangunan." Meskipun demikian, masalah-masalah pembangunan tentunya tak selamanya bisa dibicarakan sebagai soal operasional. Untuk menentukan mana yang harus didahulukan, membangun industri yang padat modal atau membangun sektor informal di kaki lima, orang cenderung mengikuti "falsafah" yang dianutnya. Itu kelak berarti tergantung bagaimana ia menjabarkan Pancasila. Maka, seperti dikatakan oleh Menteri Negara Sekretaris Kabinet Moerdiono -- yang ditugasi Presiden mengetuai Tim Sembilan (9 orang yang merumuskan bahan-bahan GBHN) -- yang mungkin perlu diluruskan adalah pemikiran yang salah dalam menjabarkan Pancasila. Tapi perdebatan ide tak berarti harus mati. "Jangan mengira kalau semua sudah menerima Pancasila sebagasatu-satunya asas, lalu semuanya sudah beres dan tidak ada kegairahan lagi," katanya. Hanya saja, kata Moerdiono pula, pertenungan keras bisa dihindari dengan misalnya lembaga musyawarah. Konflik yang besar juga bisa dihindarkan, terutama dengan mengendalikan masalah sosial ekonomi, yang umumnya jadi masalah "keadilan". Setidaknya ini tersirat dari pendapat seorang anggota Tim Sembilan yang lain. "Salah satu kerangka untuk memecahkan masalah adalah konsep pembangunan yang realistis," kata Dr. Soerjanto Poespowardojo, anggota Tim yang juga ahli filsafat dengan tesis tentang pemikiran Karl Marx ini. Soerjanto melihat, konsep pembangunan yang dirumuskan dalam rancangan GBHN diharapkan bisa meredam konflik. Konsep itu dirumuskan dan dirinci sesuai dengan kenyataan dan pendapat yang hidup di masyarakat. Seandainya masih terjadi konflik dalam kehidupan sosial, itu dianggapnya tak terlalu mengkhawatirkan. "Dalam proses sosial konflik sebenarnya bisa dilihat sebagai hai yang wajar," katanya. Asal, katanya, sekadar perbedaan persepsi atas konsep pembangunan yang dinilainya sudah realistis itu. Konflik yang sengit, kata Soerjanto pula, "hanya bisa terjadi kalau ada pihak yang memaksakan kehendaknya yang tidak sesuai dengan kenyataan." Ahli ilmu politik Dr. Alfian melihat kemungkinan lain. Jika ada konflik di masa depan, itu bisa terjadi disebabkan kesulitan membedakan aspirasi murni dan kepentingan ideologis. Sebagai misal, kata Alfian, seandainya nanti umat Islam menuntut perbanyakan pembangunan masjid. Tuntutan itu bisa ditafsirkan sebagal asplrasl murm umat Islam untuk beribadat. Tetapi permintaan semacam itu dapat juga dicurigai sebagai upaya membangkitkan ideologi Islam. "Kecurigaan sendiri menjadi pertanda adanya konflik," katanya. Tetapi, kata Alfian mengingatkan, "itu bukan konflik ideologi." Hal lain yang bukan konflik ideologi dalam lima tahun mendatang terutama berkaitan dengan pertumbuhan masyarakat setelah tercapainya beberapa hasil pembngunan. Kata Alfian, "Akan berhadapan mereka yang belum memperoleh kecukupan ekonomi dengan pihak yang menguasai bidang-bidang ekonomi." Bahkan lahirnya kelas menengah baru -- dan juga mereka yang cenderung menampilkan semangat dan selera kelas menengah itu -- juga akan melahirkan tuntutan, yang bisa membuahkan konflik. DI banyak negeri berkembang, kelas menengah ini, yang tumbuh sebagai hasil pembangunan ekonomi, akhirnya memang cenderung membutuhkan hal-hal lain untuk mengembangkan diri. Misalnya kebebasan berusaha, jaminan kepastian hukum atas milik pribadi, terlindungnya penghimpunan modal, bersihnya aparat pemerintah dan pengadilan untuk mengatur persaingan bisnis, dan akhirnya, kontrol sosial terhadap birokrasi dan pemegang kekuasaan. Dalam sistem politik Indonesia, untuk beberapa tahun mendatang, ada kemungkinan bahwa kebutuhan ke arah hal-hal seperti itu akan semakin terdengar. Kini pun sudah terdengar keinginan untuk "deregulasi" dan "debirokratisasi" -- suara-suara yang ditampung dengan baik oleh Tim Sembilan. Tapi, pada saat yang sama, tuntutan ke arah pemerataan hasil pembangunan juga tetap kuat. Kehendak yang punya napas "sosialistis" ini tidak akan dengan sendirinya cocok dengan kehendak yang, misalnya, menginginkan kebebasan berusaha dan menghimpun modal, yang menghendaki "deregulasi" tadi. Jika pertentangan kepentingan dan pendapat tak bisa ditiadakan, maka soalnya tinggal bagaimana mengelola konflik itu. Banyak yang melihat peluang yang baik dalam rumusan Presiden Soeharto -- dan juga pemikiran Golongan Karya -- yang menyebut Pancasila sebagai "ideologi terbuka". Dalam rumusan itu, menurut sebagian penafsir, ideologi negara itu bukan sesuatu yang beku, mandek, dan tertutup bagi diskusi yang bisa mengembangkan interpretasi. Keterbukaan itu bisa diharapkan, bahwa perbedaan pendapat tak akan buru-buru dimatikan dengan vonis "anti-Pancasila". Pertentangan atau perbedaan pendapat dengan demikian tak jadi tajam dan mutlak, dan tak satu pihak pun dipojokkan. Dengan sikap itu, memang bisa diharapkan bahwa Pancasila akhirnya memang bisa diyakini sebagai milik pelbagai kalangan. Usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, seperti yang pernah dengan cara keras dikehendaki Darul Islam (DI) atau gerakan yang lain, dengan begitu akan semakin hilang. Apalagi dilihat dari perimbangan kekuatan yang nyata, gerakan komunis seperti terjadi di Madiun di tahun 1948 dan di Jakarta serta kota-kota lain di tahun 1965 kian bisa dikesampingkan. A. Margana, Yopie Hidayat, Rudy Novrianto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus