Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Derita seorang soeparno

Soeparno mengaku dianiaya 4 petugas lp besi, nusakambangan. tulang kelingkingnya patah dan mata kanannya buta. ia dituduh menggelapkan hasil penjualan tanah. irjen departemen kehakiman mengusutnya.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA tak menyangka hendak disiksa. Dia malah senyum-senyum ketika masuk ruangan itu. Tiba-tiba sebuah tonjokan menghajar mukanya. Sepatu boot menginjak kakinya. Empat batang rotan bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Tapi empat petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan itu belum puas. Soeparno, 52 tahun, menuturkan: empat petugas -- Bernard van Housten, Johannes, Untung Pratikto, dan Edi Sukirman -- terus menyiksanya. Mata kanan Soeparno jadi buta, tulang kelingkingnya patah. Itu terjadi pada 21 Desember 1987. Tahun Baru 1 Januari 1988, Soeparno dibebaskan, karena masa penahanannya memang telah berakhir. Atas anjuran dan dorongan beberapa temannya, tanpa pulang dulu ke desanya, berangkatlah ia ke Jakarta untuk mengadu ke Menteri Kehakiman. Di benaknya terpateri kata-kata yang tercantum dalam PP Nomor 30: "Narapidan.. tidak boleh dianiaya". Di Departemen Kehakiman, di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, ia diusir satpam tatkala mencoba mencegat Menteri Ismail Saleh. Seseorang menganjurkannya agar ia melapor ke Irjen Departemen Kehakiman. Tersauk-sauk, Soeparno berjalan ke Jalan Kuningan, ke kantor Irjen. Seorang staf menerima laporannya. Beberapa hari kemudian ia diantar ke dokter, untuk mendapatkan visum. Kemudian ia juga melaporkan kasusnya ke LBH Jakarta. Jalan hidup Soeparno memang pahit. Mulanya ia hidup berkecukupan. Sebagai guru SPG sebuah yayasan dan menantu pejabat teras di Magelang waktu itu, sarjana muda IKIP Sanata Dharma Yogya itu bisa hidup longgar. Karena membaca The Gospel of Barnabas, Franciscus Xaverius Soeparno masuk Islam pada 1978. Akibatnya, ia diberhentikan dari pekerjaannya, bercerai dengan istrinya, dan terusir dari rumah. Soeparno hidup sebagai juru dakwah. Kemudian ia menikah lagi. Ia mendirikan rumah, di Kalisalak, Banyumas, Jawa Tengah. Kehidupan tenang itu dijalaninya hingga tahun 1986. Ketika itulah petaka datang. Ia dituduh menggelapkan hasil penjualan tanah tetangganya. Ia memang mengaku memakai dulu uang Rp 150 ribu dari sisa pembayaran Rp 2 juta untuk mengobati anaknya yang sakit. Tapi sang tetangga tak mau mengerti Soeparno diadukan ke polisi. Perkara itu ternyata diteruskan ke pengadilan. Hakim menyatakan ia bersalah dan mengganjarnya hukuman 1 tahun 4 bulan. Awal tahun lalu Soeparno dipenjarakan di LP Besi, Nusakambangan. Tak ada sebulan ia di balik tembok. Lantaran rajin dan sopan, ia menjalani proses asimilasi di luar penjara. Ia membantu keluarga seorang petugas LP Nusakambangan. Untuk mengendalikan syahwat, Soeparno selalu memakan kamper 3 butir sehari. Banyak yang mengingatkannya, itu bisa mengakibatkan impotensi. Soeparno mengaku tak peduli. Ia tak mau terlibat hubungan gelap dengan keluarga petugas yang dibantunya. Suatu hal yang menurut dia banyak terjadi. Waktu pembebasan hampir tiba, Soeparno khawatir kalau ia sungguh-sungguh impoten. Maka, ia pun menguji diri. Caranya, ia membawa baju istri "majikannya" ke hutan, lalu beronani di situ. Kabar tentang perbuatannya itu ternyata menyebar. Lalu terjadilah penganiayaan itu. Benar begitu? "Kami sedang mengirim tim khusus ke sana," kata Singgih, S.H., Inspektur Jenderal Departemen Kehakiman. "Kalau benar petugas itu bersalah, kami akan mengambil tindakan disiplin." Tim yang sama, tahun lalu, memeriksa delapan petugas LP Batu, Nusakambangan, lantaran menyiksa seorang narapidana. Sanksi: mereka diturunkan pangkatnya. Derita Soeparno belum usai. Setelah merasa menerima tanggapan positif dari Depkeh, pekan lalu ia pulang ke desanya. Rumahnya ternyata telah berubah jadi kebun. Istri dan keempat anaknya konon telah pergi ke Jakarta mengikuti kakaknya. Soeparno balik ke Jakarta. Wilayah Klender, yang kabarnya ditinggali kakak istrinya, telah dijelajahinya. Tapi keluarganya tak bisa ditemuinya. "Klender 'kan luas. Tanpa alamat yang jelas, memang sulit mencari mereka," kata Soeparno, memelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus