RATUSAN orang menyerbu ke Kejaksaan Negeri Lhoksukon, Aceh Utara, Sabtu pekan lalu Mereka berang,tapi bisa mengendalikan emosi. Hampir enam jam mereka "menguasai" kantor Kejari itu. Mereka mencari Hali Asnah Siallagan Kepala Kejari di situ. Yang dicari tidak kelihatan. "Kami mau meminta Siallagan membebaskan Haji Abdul Aziz," kata T.M. Amin, 50 tahun, kepada TEMPO. Aziz ditangkap sehari sebelumnya. Untung, sore itu rombongan Muspida Aceh Utara, yang dipimpin Bupati Ramli Ridwan, muncul ke sana. Tak urung, Ridwan terkejut juga. Sebab, hampir 100 di antara orang yang sedang unjuk rasa itu ternyata para kepala desa selhoksukon, yang membawa sekretaris desa masing-masing. Ridwan menenangkan massa, dan berusaha memenuhi keinginan bawahannya itu. Sore itu juga Abdul Aziz dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan setempat. Status Aziz, 52 tahun, jadi tahanan rumah, atas jaminan Ridwan. Bukan main gembiranya para pimpinan desa tersebut. Malamnya mereka membikin acara selamatan bagi bebasnya Aziz. "Dia itu ayah kami," kata T.M. Amin, Kepala Desa Pekan, Lhoksukon. Itu adalah aksi kedua yang mereka lancarkan. Jumat malam sebelumnya, para kades itu sudah menggedor rumah Siallagan. Rupanya, Kajari itu sudah lebih dulu mencium gelagat, hingga ia beserta keluarganya mengungsi ke Lhokseumawe, 50 km dari tempat itu. Aziz, Camat Lhoksukon sejak 1978, tampaknya disayang para kepala desa. Itu sebabnya, begitu Aziz dikabarkan ditangkap dua bawahan Siallagan, para kepala desa di Kecamatan Lhoksukon bergerak. Mereka menganggap, penangkapan Aziz tidak terhormat, karena diciduk dari kamar kerjanya. "Lagi pula, bupati belum memberi izin penangkapan," kata beberapa kades kepada TEMPO. Tapi Amanul Ishak Adnan, 55 tahun, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, mengatakan, izin seperti itu tidak diperlukannya. Yang perlu, katanya, cuma memberitahukan kepada atasannya. Sumber TEMPO di Kejari Lhoksukonmengatakan, Aziz terpaksa ditahan karena berkali-kali -- sejak 1986 -- mengelak panggilan Siallagan. Aziz, kata sumber itu, pada 1984 dituduh tidak menyerahkan uang ganti rugi pembebasan tanah Rp 20 juta dari Pertamina dan Mobil Oil kepada penduduknya. Selain itu, sang camat dituduh menjual besi bekas dua jembatan di wilayahnya. Konon, ketika para saksi yang diperiksa mulai memberatkannya, Aziz mengelak. "Ia tak mau diperiksa dengan alasan-alasan rapat," kata sumber tersebut. Kepada TEMPO, Aziz membantah tuduhan itu. "Saya tidak korup," katanya. Yang ada, kata Aziz, Pabrik Gula Cot Girek menyediakan dana Rp 9,4 juta guna membeli tanah timbun untuk memperbaiki jalan sepanjang 18 km di Lhoksukon. Tanah itu diambil dari Desa Bukit Hagu dan Alue Lehop. "Saya bisa membelinya Rp 6,7 juta. Sisanya saya gunakan untuk pembinaan wilayah," kata Aziz. Penjualan besi bekas dan sisa pembelian tanah itu, kata Aziz, diketahui atasannya, Bupati Ali Basyah, yang meninggal pada 1986. Aziz mengaku, akibat tuduhan seperti itu dia pernah dua kali diperiksa Itwilda Aceh Utara dan Itwilda Provinsi Aceh. "Dan saya bersih," kata ayah delapan anak itu. Sumber TEMPO mengatakan, uang tersebut digunakan Aziz untuk membiayai kesebelasan PSAU (Aceh Utara). "Sudah Rp 4 juta yang disumbangkan Aziz untuk tim itu," kata sumber tersebut. Aziz, bekas pemain sepak bola, memang dikenal sebagai Ketua Umu PSAU sejak 1978. Di tangan Aziz, PSAU bisa dibilang maju. Dalam kompetisi zone I (wilayah Sum-Ut Aceh) PSSI Divisi II 1986-1987, PSAU jadi juara. Menurut sumber TEMPO, itu cuma alasan Aziz untuk meringankan tuduhan. "Untuk apa orang yang sudah meninggal dia bawa ke dalam kasus ini?" kata sumber tersebut. Komentar Adnan, "Nanti saja kita lihat di pengadilan." Monaris Simangunsong dan Makmun Al Muhajid (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini