Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Di lingkungan anak-anak hilang

Bagaimana menarik anggota: apa saja acara pertemuan mereka kasus pengikut yang hamil kasus pengikut yang menghilang.

10 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMI (bukan nama sebenarnya), 24, mahasiswi Universitas Diponegoro, Semarang, sekitar awal November 1983 kedatangan dua orang tamu. Yang seorang mengaku dari Jerman, dengan nama Italia, Giovanni. Yang lain dari Manado, katanya. Keduanya menyatakan datang dari perkumpulan Music with Meaning, dan bermaksud "membagikan rasa kasih kepada umat". Itulah salah satu cara orang Children of God berdakwah: datang langsung ke rumah, setelah menerima alamat gadis-gadis (cantik) tertentu, entah dari mana. Tidak selalu berhasil. Emi, misalnya, terlibat pertengkaran ketika pada kunjungan mereka yang kedua. Mereka mengajak ber-"diskusi agama" dan tiba-tiba menyerang Gereja sebagai "tempat orang-orang munafik". Emi pemeluk Katolik yang taat. Juga Indri (bukan nama sebenarnya), 19, yang didatangi Giovanni dan seorang Negro yang mengaku bernama Cornelius. Teman Emi se-universitas itu akhirnya membawa selebaran dan kaset yan mereka berikan kepada pendeta di gerejanya (ia Protestan), dan dari sana mendapat pesan untuk mengusir orang-orang itu. Ratna, 26, juga teman mereka, memang sempat memenuhi undangan mereka, sampai dua kali. Tapi pada tiap kali ia pulang ketika acara "ibadah resmi" selesai, sebelum tiba acara santai yang memang boleh diikuti dan boleh tidak. Tidak hanya kepada para mahasiswi. Para COG-wan itu juga datang ke sekolah-sekolah. Di Surabaya, seperti disiarkan Jawa Pos, mereka membagikan undangan ke sebuah SMA pada jam istirahat, pada akhir tahun ajaran 1982-1983. Sumber TEMPO jua menuturkan bahwa mereka pernah datang ke SMAK Dago, Bandung, sekitar Juni 1983. Tapi di Bandung itu mereka berhasil menggaet Joehannes (Joe), 22, mahasiswa, yang lagi enak belajar di Dago Tea House bersama seorang teman. Waktu itu sepasang laki-perempuan, bersama dua anak, membagikan selebaran musik bahasa Inggris. Akhirnya ia, yang senang musik, datang ke Jalan Dago, pada suatu malam Minggu bulan Juni tahun lalu. Di situ rupanya lagi ada acara. Dan, tanpa diduga, sambutan kepada Joe bukan main hangatnya. Seorang wanita bule, cakep, memegangi tangan Joe. Malah meremas-remasnya. Ternyata, belakangan, dialah Esther alias Dana Day (nama dalam paspor), istri Peter Martin alias Peter Pitcher alias C. Piet, yang bersama suaminya ditangkap di Jalan Setiabudi. Esther waktu itu memimpin Joe mengucapkan kata-kata ini: "Ya, Yesus, ampuni dosa saya, masuklah ke hati saya. Saya akan taat, di mana pun berada." Jalannya acara di Bandung itu, yang lebih "hangat" dibanding yang di Semarang atau Surabaya, bisa dituturkan teman Joe, Frans, 27, karyawan sebuah PT. Frans "bergabung" dengan mereka Mei 1983, setelah pertama kali menerima selebaran di Supermarket Gelael dua tahun sebelumnya, dan hadir dalam acara malam Minggu pada bulan Juli atau Agustus tahun lalu. Mula-mula, katanya, mereka menyanyi bersama. Kemudian ada drama sederhana. Isinya: orang berdosa yang mengalami frustrasi, kemudian menerima Yesus, dan sadar. "Boleh dibilang cukup bagus," katanya. Itu dilanjutkan dengan pemutaran slaid tentang Bibel, dengan tema hari kiamat. Berikutnya, pembacaan surat-surat David Berg, diiringi "tafsir". Seperti juga lagu-lagu mereka, surat-surat itu pun umumnya tidak membahas hal-hal keilahian, melainkan cinta. Barulah dilaksanakan acara "ramahtamah". Sambil bernyanyi-nyanyi, ke-35 orang itu (umumnya muda-mudi, dan 10 di antaranya kulit putih) saling memperkenalkan diri atau melakukan "pendekatan". Yang sudah akrab langsung berciuman, bibir dengan bibir, tanpa merasa risi dilihat orang. Umumnya, bule-bule yang punya inisiatif menciumi peserta yang Indonesia, dan jarang terjadi ciuman antara sesama orang kita. "Saya juga kebagian diciumi yang bule-bule itu," tutur Frans agak malu. Frans juga hadir pada "acara inti". Ini diselenggarakan hari Minggunya, pukul 16.00, dan hanya dihadiri 15 orang. Dilakukan seluruhnya dalam bahasa Inggris. Orang Indonesia waktu itu hanya empat: Lian, istri seorang bule di situ, Ruthy, istri Mathew, Angel, yang sering menjadi MC, dan Frans sendiri. Mereka melakukan semacam perjamuan kudus. Bagi Frans terasa aneh: "Masak dalam perjamuan kudus beberapa anggota malah remas-remasan tangan atau berpelukan." Usai perjamuan, lagi-lagi dibacakan pesan-pesan David Berg. Berikutnya, perjamuan perut: makan besar ramai-ramai. Nah, setelah itulah diselenggarakan acara yang benar-benar intim: kencan, dengan cara yang betul-betul dihantui birahi. "Pokoknya, tidak pantas jika yang seperti itu dilakukan di depan orang lain." Toh, menurut Frans "belum sampai ke persebadanan." Sebab, lantas ada pemutaran slaid - kali ini tentang kegiatan COG di kota-kota lain, seperti Jakarta, Surabaya, dan Banjarmasin. Sampai sejauh ini, belum ada kesaksian tentang "tidur bersama" - yang dialami atau disaksikan sendiri. Kecuali dari Elvi (bukan nama sebenarnya) di Jakarta, anggota yang kemudian keluar, yang menyebut-nyebut acara seperti itu sebagai puncak pertemuan malam Minggu - yang rupanya dilakukan setelah para anggota yang "belum matang", seperti para mahasiswi dan pelajar di Semarang dan Surabaya tadi, atau mungkin juga Frans dan Joe di Bandung, pada pulang. Alex, di Jakarta, sebaliknya hanya bisa menyebut ihwal perilaku seks itu sehubungan dengan acara yang lebih formal. Ia mengemukakan adanya "konsultasi pribadi", yang dilakukan pada saat bebas setelah rangkaian ibadah yang sudah dituturkan (yang menurut dia dibuka dengan doa bersama sambil berdiri melingkar, berselang-seling laki-perempuan sambil berpegangan tangan) dan setelah makan. "Konsultasi" itu memang sebagiannya dimaksudkan untuk pemecahan berbagai masalah "psikologis" para anggota, termasuk problem "kesukaran" (atau keinginan) seksual. Nah, konsultasi itulah yang kemudian bisa berlanjut dengan acara masuk kamar. Itu, katanya, jarang sekali terjadi dengan anggota baru atau simpatisan. Tapi ia mengaku sering melihat yang disebutnya "tamu-tamu kehormatan" - mereka yang hanya muncul sekali-sekali atau bahkan yang cuma sekali itu datang yang toh dipersilakan masuk kamar. Harap tahu, mereka itu tinggal di rumah-rumah besar yang tergolong mewah. Betapapun, seperti dituturkan Maria di Jakarta, cewek bule keturunan Spanyol bermata biru yang mengaku bergabung dengan Music with Meaning alias COG sejak 1978, jalan yang mereka tempuh itu tak lain "jalan Yesus": mengasihi sesama, juga membagi kasih dalam soal persebadanan. "Bukankah persebadanan dasarnya mengasihi? Kami menolak bersatu badan jika karena birahi." Maria, sang primadona berumur 28 tahun itu, memang tak menyebut bagaimana kalau bersatu badan karena uang. Tapi, seperti kata Angel kepada Frans di Bandung, tidak hanya free sex dan free love antar-"orang baik-baik". Juga pergi ke pelacur tidak berdosa, "asal dengan rasa kasih". Demikian pula dengan homoseksualitas dan lesbianisme. Apalagi "hanya" film biru - asal tanpa adegan kekerasan. Joe, di Bandung, pada acara Minggu sore yang telah dituturkan, berbincang-bincang dengan putri Jack, Melisse, 5. Anak mungil ini tiba-tiba bilang, "Joe, I love you Can I kiss you?". Joe, yang terperangah, lalu mencium pipinya - dan lantaran iseng ia bilang, ia tak punya teman di situ. Melissa tiba-tiba berlari ke arah Sonya, perempuan Argentina yang dikenal sebagai "selir" Jack dan lagi hamil sekitar enam bulan, dan bicara dalam bahasa Inggris: "Sonya, kamu butuh suami? Joe bisa menjadi suami kamu. Dia perlu seorang gadis ...." Pernah pula Joe bertanya kepada Nida (bukan nama sebenarnya), sekretaris kursus bahasa Inggris Daniel yang diketahui dihamili Daniel sendiri "Nid, siapa sih suami kamu sebenarnya?" Tiga empat kali ia menanyakan itu Nida tak mau menjawab. Baru yang terakhir ia bilang, "Suami saya Yesus." Nida hanya salah satu korban penghamilan. Sebab, "kecelakaan" ini rupanya cukup banyak terjadi. Bahkan Alex yang tadi, di Jakarta, keluar dari lingkungan COG karena pacarnya, "yang belum saya apa-apakan, keburu hamil di situ". Korban lain lagi misalnya Rita (bukan nama sebenarnya), 27. Rita minggat dari rumahnya di Jakarta sejak Desember tahun lalu. Kepada Pak Karma, ayahnya, ia meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan, antara lain, "Maafkan Ananda yang telah menghancurkan harapan Ayah dan Ibunda. Kepergianku ini tak usah Ayah risaukan. Aku ingin menyelesaikan masalah pribadiku sendiri." "Ia hamil tiga bulan," kata Baby, adiknya. Rita, menurut Baby malah mengaku kepada keluarganya dihamili tak lain oleh David Robin Backman, yang tinggal di Jalan Dr. Susilo, Jakarta Barat. Sebenarnya, Pak Karma sudah melaporkan David, pentolan yang konon tokoh puncak COG ini, dengan tuduhan membawa lari putri Karma dari rumah familinya di bilangan Kramat Sentiong, Jakarta. "David itu bahkan berani melompati pagar halaman rumah," kata Baby lagi. Tanggal 28 November tahun lalu, David tertangkap oleh keluarga Baby. Lalu dibawa ke kantor polisi. Masalahnya kemudian dilaporkan ke Mabak, malah sampai ke Deparlu segala. "Ayah saya sudah berusaha keras, tapi akhirnya David dilepaskan lagi." Dan Pak Karma pun, sepeninggal putrinya, membongkar kamar Rita, mengaduk-aduk lemari dan tempat tidurnya, bahkan juga meja kerja gadis itu di kantor sebuah pabrik di Jakarta. Ditemukanlah brosur-brosur dan tanda anggota "Alunan Surya". Pertemuan David-Rita terjadi awal 1982 di Academy of Languages di Jalan Lombok. "Sejak itu hubungan mereka akrab," kata Tini (bukan nama sebenarnya), teman Rita yang kemudian insaf, yang mengaku dialah sebenarnya yang mengajak Rita ke kalangan COG. Menurut Baby, Rita malah pernah minta kawin kepada David - hanya saja ayahnya tak setuju. "Tapi Rita pasti masih di Jakarta," kata Baby. Rita dua kali mengirim surat - sekali kepada teman sekantor, lainnya kepada saudaranya. Dua-duanya menanyakan keadaan ibunya, dan berstempel pos Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Dan, sampai laporan ini diturunkan, sesudah David ditangkap, tetap belum diketahui di mana Rita berada. Tapi yang menghilang bukan hanya Rita. Komalawati, di Bandung, mula-mula tertarik oleh kursus Bahasa Inggris para COG-wan sebelum akhirnya bergabung. Agaknya, dia mendapat alamat kursus dari iklan di koran Pikiran Rakyat atau toko Gelael, seperti dibilang Setiawati, kakaknya. Bisa dijamin, Komala "disayang" di kalangan anak-anak hilang itu: "Wajahnya mirip wajah saya, cuma ia lebih tinggi, lebih putih dan cantik," kata Wati yang cantik itu. Lagi pula, gadis 19 tahun itu bisa diduga merasa mendapat perhatian yang lebih besar daripada di rumahnya. Ia anak nomor delapan, persis adik Wati, ditinggal mati ibunya sejak umur empat tahun, sedang ayahnya tinggal di kota lain dengan ibu tiri mereka. Wati, ibu dua anak, yang dulu juga dirayu Amos alias Alpha dari COG, sudah berkali-kali memperingatkan Komala. Tapi si adik menyatakan yakin tak akan terlibat. Nyatanya, pernah ia tidak pulang sampai tiga hari. Ketika ditanya, apa jawabnya, coba? Komala mengaku datang dari Pesantren Surialaya, itu perguruan milik tarekat yang juga dikenal sebagai tempat penyembuhan korban narkotik. Entah kalau ia benar ke sana karena bingung. Komala, yang pernah belajar di SMA Kristen di Bogor sampai kelas dua itu, dan statusnya masih karyawan perusahaan swasta, memang beragama Islam. Terakhir, Komala meninggalkan rumahnya enam bulan lalu. Keluarga mereka, menurut Wati, memang sudah lapor kepada yang berwajib. Ia belum juga ditemukan, meski tokoh COG di Bandung, Peter, sudah ditangkap. "Pernah seorang kenalan mengatakan melihat di Jalan Asia-Afrika, sedang berjalan dengan seorang bule," tutur si kakak. Tapi, seperti juga ada yang hilang, ada pula yang kehilangan. Di Purwokerto, Erlina (bukan nama sebenarnya), 22, kepada TEMPO mengaku dalam keadaan sangat putus asa karena ditinggal tambatan hatinya, sang COG-wan. Erlina ikut kelompok itu pada awal Januari tahun lalu. Anehnya, ia tidak tahu bahwa di Purwokerto sendiri terdapat cukup banyak "kawan seperjuangan" - dikabarkan 100-an orang, tapi ini belum dicek. Ia hanya beberapa kali dijemput kawannya untuk dibawa ke Jakarta - ke sebuah tempat yang "lupa arahnya", katanya, "tapi yang jelas di Pasar Minggu". Agaknya, yang di-maksudkannya adalah Jalan Karang Pola Dalam. Di situlah, katanya, ia mengikuti berbagai acara, antara lain pertemuan puncak yang dilakukan dengan semua orang telanjang bulat dan minum-minum, dalam suasana formal. Kemudian tidur bersama. "Saya sudah lupa berapa orang yang sudah tidur dengan saya," katanya. Yang dia ingat, yang memerawaninya (maaf) adalah orang asing yang bernama Randy. Erlina memang suka kepada bule itu - sebelumnya ia sudah tiga kali berkirim surat kepadanya. "Tapi orang yang benar-benar saya cintai itu sudah kembali ke Kanada," kata gadis keturunan yang cantik ini. Ia lantas mencoba menggantung diri di tempat ia tinggal, di rumah saudaranya. Untung, diselamatkan orang-orang. Itu terjadi akhir Januari silam. Kemudian ia diserahkan ke tangan seorang pendeta. "Selama satu minggu saya dibimbingnya terus-menerus," katanya, "dan sekarang saya benar-benar tobat. Rasanya, sayalah orang yang paling berdosa di dunia ini." Bimbingan pendeta, atau psikiater, memang diperlukan bagi para korban. Pater Brouwer, misalnya, pastor dan kolomnis itu juga pernah memberikan konsultasi psikologis kepada korban lain, seorang mahasiswa ITB. Sebab, memang, seperti yang pernah disebut dalam laporan Kantor Kejaksaan Negara Bagian New York, 1974, bisa juga ada yang gawat dalam diri para eks itu meskipun harus diingat bahwa keadaan di sana mungkin lebih parah. Dari beberapa hal yang dicatat aporan itu, disebut hasil penyelidikan terhadap para bekas COG-wan di sana, didapat beberapa kenyataan, antara lain bahwa si korban telah mengalami "perubahan kepribadiaan yang menyeluruh", yang tentu memerlukan penanganan pada saat ia kembali ke alam normal. Juga ini: adanya dorongan luar biasa pada para eks itu, yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, untuk kembali lagi ke lingkungan mereka, meski mereka mengalami kebrutalan sewaktu di sana. Bahkan Setiawati, kakak Komalawati yang tadi, selain banyak tahu tentang COG karena mengenal seorang tokohnya, Amos - dan kawan-kawan - yang menggaet adiknya, juga mendapat intormasi dari seorang pendeta. Si pendeta, katanya, mula-mula masuk ke COG sebagai penyelidik. Tapi entah bagaimana lalu terlibat. Dasar pendeta, ia akhirnya insaf, dan bertobat. Tapi dasar pendeta pula, ia rupanya merasakan dosa itu terlalu berat. Wati kemudian tak mendengar lagi kabar pendeta itu, yang ia tak hafal namanya. Hanya, ia tahu benar, Pak Pendeta akhirnya berubah ingatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus