BERITA satu kolom yang muncul di koran-koran Bandung 11 April
tahun lalu cukup menarik perhatian pemuda-pemudi di sana.
Mengapa? Bagi mereka yang berminatmempelajari ketrampilan dan
teknologi modern di Jepang dibuka sebuah kursus bahasa dan
kebudayaan lepang. Penyelenggaranya, Yayasan Indonesia-Asia
Fellowship Society. Merangsang, memang. Sebab hanya dengan
belajar di Bandung selama setahun peserta kursus yang lulus
seleksi berhak mengikuti training di perusahaan-perusahaan
Jepang selama 3 tahun. Semua biaya transpor pergi dan pulang
dari Jepang, ongkos pendidikan, pemondokan dan uang saku selama
di Negeri Sakura ditanggung oleh fihak Jepang. Bayangkan, siapa
yang tidak tertarik sementara mencari pekerjaan susahnya bukan
main, sedang uang kuliah nauzubillah? Maka berbondong-bondonglah
pemuda-pemuda lulusan SLTA yang berumur di atas 17 tahun
mendatangi pavilyun rumah di jalan Juanda 46.
John Malonda. Tahu-tahu, bulan Agustus yang lalu muncul lagi
berita-berita di koran Jakarta dan Bandung tentang Akademi Bhasa
& Kebudayaan Jepang "Sakura" yang diselenggarakan Yayasan tadi.
Namun berbeda dengan apa yang digembar-gemborkan semula, belum
seorangpun siswa kursus tersebut berhasil dikirim ke Jepang.
Disebutkan pemuda dan mahasiswa yang menjadi korban berjumlah
201 orang. Itupun setelah menderita kerugian duit sebanyak Rp
20.000 untuk uang pangkal, Rp 2.000 iuran tiap bulan dan ongkos
perjalanan ke Jepang sekitar Rp 300.000. Kejaksaan Tinggi
Bandung yang sudah semakin peka akibat "pil pahit" kasus John
Malonda, segera mengambil oper kericuhan dalam tubuh "Sakura"
itu. John Malonda itu, beberapa bulan yang lalu telah menjadi
perantara keberangkatan 9 orang pemuda Bandung ke Jerman Barat,
di mana mereka terlantar tanpa pekerjaan dan tanpa sepengetahuan
KBRI di sana.
Tindakan Kejaksaan yang tidak jadi diteruskan sampai ke meja
hijau karena fihak-fihak yang bersengketa keburu berdamai, sudah
didahului oleh Perwakilan Departemen P & K Jawa Barat. Tanggal 2
Juli yang lalu, menyusul surat pemberhentian D.N. Sanger
pemimpin dan penanggungjawab Akademi Sakura oleh Ketua Yayasan
sebulan sebelumnya, surat izin Sakura dibekukan untuk sementara
waktu. Drs Mudjiharjo, Kepala Kantor Pembinaan Urusan Khusus P&K
Jawa Barat dalam surat itu juga mewajibkan Ketua Yayasan
Indonesia-Asia Fellowship Society segera mengadakan
timbang-terima, sebab surat izin yang dikeluarkan 14 Maret 1972
masih atas nama Daan Noch Sanger. Batas waktunya 24 Juli 1973,
di maka pimpinan Yayasan dan Akademi itu harus menyertakan
laporan lengkap tentang kegiatan kursus itu sejak saat
berdirinya. Namun sampai tanggal yang ditentukan laporan tidak
masuk, sehingga keesokan harinya, izin Akademi Bahasa &
Kebudayaan Jepang dicabut.
Pinjam nama. SK pemberhentian DN Sanger sebagai pemimpin
merangkap penanggungjawab Akadcmi Sakura itulah pangkal
merembetnya kericuhan dalam tubuh Sakura. Sebab Sanger yang
tidak terima atas perlakuan bekas atasannya yang
berkewarganegaraan Jepang, pendeta Paulus H. Miyahira, (70
tahun), segera melansir serangan-serangan balasan lewat pers.
Dan seperti komentar bekas atasannya yang helum beruban itu,
"Sanger itu memang pintar bicara". Tapi sesungguhnya banyak hal
yang dijungkir-balikkan kebenarannya. Misalnya? "Tidak betul
bahwa 201 orang gagal diberangkatkan ke Jepang", ucap sang
pendeta, yang sudah 45 tahu! bermukim di Indonesia, dan fasih
berb.ihasa Indonesia. "Juga uang persekot yang diberikan
beberapa siswa agar mendapat prioritas, sudah saya kembalikan di
depan polisi". Sambil menunjukkan selembar copy Surat Pernyataan
yang wajib diisi oleh setiap peserta kursu Akademi Sakura,
Miyahira menegaskar bahwa "tidak ada perjanjian" setiap lulusan
Sakura dapat dikirim ke Jepang.
Ada 3 alasan yang dapat membatalkan pemberangkatan sang siswa ke
Negeri Sakura. Yang pertama, pernyataan tidak lulus ujian badan
dari seoranr dokter ahli. Kedua, tidak lulus ujian bahasa dan
kebudayaan Jepang dari Yayasan. Dan ketiga, adanya
peraturan-peraturan Pemerintah RI yang mungki timbul di kemudian
hari sehubungan dengan adanya pendidikan tersebu. "Sebagai orang
yang sudah lama tinggal di Indonesia, saya tidak ihlas kalau
yang dikirim ke Jepang bukan yan sungguh-sungguh berbakat. Sebab
bisa bikin malu nama bangsa di sana", ujar Miyahira. Karena itu
dia menyesalkam mengapa Sanger melalui pers menyebarluaskan
berita seolah-olah mereka yang ikut kursus sampai selesai, pasti
akan dikirim ke Jepang. Padahal sebenarnya Miyahira hanya
"pinjam namanya saja untuk mendapat surat izin P & K.
Tunggu 6 bulan. Sanger sendiri tentunya juga tidak akan bersedia
"dipinjam namanya" seandainya dia belum kenal betul dengan
pendeta Jepan yang konon ikut membangun rumahsakit kusta di
Ujungpandang dan Surabaya. Selama dua tahun -- 1964 sampai
dengan 1966 --, Sanger pernah tinggal serumah dengan Hiyahira di
jalan Surabaya, Jakarta, ketika isteri pendeta itu belum
menyusul suaminya menetap di Indonesia. Sedang Miyahira, di
samping tugasnya sebagai pendeta Indonesian Mission Socity di
Indonesia, punya kedudukan sebagai anggota Dewan Direksi Asia
Fellowship Societ atau Ajia Tomono Kai yang berkantor pusat di
Tokyo Pada suatu hari di tahun 1971, Miyahira mengusulkan pada
rekan-rekan sejawatnya di Tokyo, agar pemuda-pemuda di Asia
Tenggara khususnya di Indonesia --, dibantu untuk dapat
mempelajari teknologi mode in di Jepang. Dewan Direksi Ajia
Tomono Kai setuju, dan dibentuklah cabang berbadan-hukum Yayasan
di Bandung itu, bulan Pebruari 1972.
"Karena Sanger yang sudah saya anggap seperti adik saya sendiri
itu ada di Bandung, dan tidak punya pekerjaan tetap, dia saya
ajak kerjasama mendirikan Akademi Sakura itu", tutur Miyahira.
Namun hobby Sanger membuat siaran-siaran pers di luar
pengetahuan Miyahira, ditambah kecerobohannya menelola keuangan
Akademi, menyebabkan pendeta Jepang itu mengeluarkan surat
pemberhentian, setelah tegurannya berkali-kali tidak diacuhkan.
"Dia itu tidak mengerti betapa susahnya mengirim orang ke
Jepang". Meskipun dengan alasan job-training. Sambil membeberkan
betapa daftar nama 19 pemuda dan pemudi lulusan Sakura yang
mendapat rekomendasi Konjen repang di Jakarta 3 bulan lalu
hingga kini belum mendapat jawaban dari perusahaan-perusahaan
Jepang, Miyahira hanya mengelus dada. "Di kantor Departemen
Tenaga Kerja di Jakarta saya dengar, ada perusahaan
joint-venture Jepang yang sudah 6 bulan menunggu iin pengiriman
80 karyawan Indonesia ke Jepang, tapi belum mendapat jawaban".
Namun dia tidak putus asa, dan tetap mencari jalan bagi 19
pemuda lulusan kursus Jepangnya yang sudah diseleksi. Dan
persetujuan sudah datang dari Presdir perusahaan pertanian dan
perkebunan Nagano, Jepang Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini