Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dibalik Heboh Sakura

Akademi bahasa & kebudayaan jepang "sakura" di Bandung heboh karena 201 pemuda kena penipuan. Mereka yang tertipu dijanjikan belajar ke Jepang namun kenyataannya tak seorangpun berhasil dikirim.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA satu kolom yang muncul di koran-koran Bandung 11 April tahun lalu cukup menarik perhatian pemuda-pemudi di sana. Mengapa? Bagi mereka yang berminatmempelajari ketrampilan dan teknologi modern di Jepang dibuka sebuah kursus bahasa dan kebudayaan lepang. Penyelenggaranya, Yayasan Indonesia-Asia Fellowship Society. Merangsang, memang. Sebab hanya dengan belajar di Bandung selama setahun peserta kursus yang lulus seleksi berhak mengikuti training di perusahaan-perusahaan Jepang selama 3 tahun. Semua biaya transpor pergi dan pulang dari Jepang, ongkos pendidikan, pemondokan dan uang saku selama di Negeri Sakura ditanggung oleh fihak Jepang. Bayangkan, siapa yang tidak tertarik sementara mencari pekerjaan susahnya bukan main, sedang uang kuliah nauzubillah? Maka berbondong-bondonglah pemuda-pemuda lulusan SLTA yang berumur di atas 17 tahun mendatangi pavilyun rumah di jalan Juanda 46. John Malonda. Tahu-tahu, bulan Agustus yang lalu muncul lagi berita-berita di koran Jakarta dan Bandung tentang Akademi Bhasa & Kebudayaan Jepang "Sakura" yang diselenggarakan Yayasan tadi. Namun berbeda dengan apa yang digembar-gemborkan semula, belum seorangpun siswa kursus tersebut berhasil dikirim ke Jepang. Disebutkan pemuda dan mahasiswa yang menjadi korban berjumlah 201 orang. Itupun setelah menderita kerugian duit sebanyak Rp 20.000 untuk uang pangkal, Rp 2.000 iuran tiap bulan dan ongkos perjalanan ke Jepang sekitar Rp 300.000. Kejaksaan Tinggi Bandung yang sudah semakin peka akibat "pil pahit" kasus John Malonda, segera mengambil oper kericuhan dalam tubuh "Sakura" itu. John Malonda itu, beberapa bulan yang lalu telah menjadi perantara keberangkatan 9 orang pemuda Bandung ke Jerman Barat, di mana mereka terlantar tanpa pekerjaan dan tanpa sepengetahuan KBRI di sana. Tindakan Kejaksaan yang tidak jadi diteruskan sampai ke meja hijau karena fihak-fihak yang bersengketa keburu berdamai, sudah didahului oleh Perwakilan Departemen P & K Jawa Barat. Tanggal 2 Juli yang lalu, menyusul surat pemberhentian D.N. Sanger pemimpin dan penanggungjawab Akademi Sakura oleh Ketua Yayasan sebulan sebelumnya, surat izin Sakura dibekukan untuk sementara waktu. Drs Mudjiharjo, Kepala Kantor Pembinaan Urusan Khusus P&K Jawa Barat dalam surat itu juga mewajibkan Ketua Yayasan Indonesia-Asia Fellowship Society segera mengadakan timbang-terima, sebab surat izin yang dikeluarkan 14 Maret 1972 masih atas nama Daan Noch Sanger. Batas waktunya 24 Juli 1973, di maka pimpinan Yayasan dan Akademi itu harus menyertakan laporan lengkap tentang kegiatan kursus itu sejak saat berdirinya. Namun sampai tanggal yang ditentukan laporan tidak masuk, sehingga keesokan harinya, izin Akademi Bahasa & Kebudayaan Jepang dicabut. Pinjam nama. SK pemberhentian DN Sanger sebagai pemimpin merangkap penanggungjawab Akadcmi Sakura itulah pangkal merembetnya kericuhan dalam tubuh Sakura. Sebab Sanger yang tidak terima atas perlakuan bekas atasannya yang berkewarganegaraan Jepang, pendeta Paulus H. Miyahira, (70 tahun), segera melansir serangan-serangan balasan lewat pers. Dan seperti komentar bekas atasannya yang helum beruban itu, "Sanger itu memang pintar bicara". Tapi sesungguhnya banyak hal yang dijungkir-balikkan kebenarannya. Misalnya? "Tidak betul bahwa 201 orang gagal diberangkatkan ke Jepang", ucap sang pendeta, yang sudah 45 tahu! bermukim di Indonesia, dan fasih berb.ihasa Indonesia. "Juga uang persekot yang diberikan beberapa siswa agar mendapat prioritas, sudah saya kembalikan di depan polisi". Sambil menunjukkan selembar copy Surat Pernyataan yang wajib diisi oleh setiap peserta kursu Akademi Sakura, Miyahira menegaskar bahwa "tidak ada perjanjian" setiap lulusan Sakura dapat dikirim ke Jepang. Ada 3 alasan yang dapat membatalkan pemberangkatan sang siswa ke Negeri Sakura. Yang pertama, pernyataan tidak lulus ujian badan dari seoranr dokter ahli. Kedua, tidak lulus ujian bahasa dan kebudayaan Jepang dari Yayasan. Dan ketiga, adanya peraturan-peraturan Pemerintah RI yang mungki timbul di kemudian hari sehubungan dengan adanya pendidikan tersebu. "Sebagai orang yang sudah lama tinggal di Indonesia, saya tidak ihlas kalau yang dikirim ke Jepang bukan yan sungguh-sungguh berbakat. Sebab bisa bikin malu nama bangsa di sana", ujar Miyahira. Karena itu dia menyesalkam mengapa Sanger melalui pers menyebarluaskan berita seolah-olah mereka yang ikut kursus sampai selesai, pasti akan dikirim ke Jepang. Padahal sebenarnya Miyahira hanya "pinjam namanya saja untuk mendapat surat izin P & K. Tunggu 6 bulan. Sanger sendiri tentunya juga tidak akan bersedia "dipinjam namanya" seandainya dia belum kenal betul dengan pendeta Jepan yang konon ikut membangun rumahsakit kusta di Ujungpandang dan Surabaya. Selama dua tahun -- 1964 sampai dengan 1966 --, Sanger pernah tinggal serumah dengan Hiyahira di jalan Surabaya, Jakarta, ketika isteri pendeta itu belum menyusul suaminya menetap di Indonesia. Sedang Miyahira, di samping tugasnya sebagai pendeta Indonesian Mission Socity di Indonesia, punya kedudukan sebagai anggota Dewan Direksi Asia Fellowship Societ atau Ajia Tomono Kai yang berkantor pusat di Tokyo Pada suatu hari di tahun 1971, Miyahira mengusulkan pada rekan-rekan sejawatnya di Tokyo, agar pemuda-pemuda di Asia Tenggara khususnya di Indonesia --, dibantu untuk dapat mempelajari teknologi mode in di Jepang. Dewan Direksi Ajia Tomono Kai setuju, dan dibentuklah cabang berbadan-hukum Yayasan di Bandung itu, bulan Pebruari 1972. "Karena Sanger yang sudah saya anggap seperti adik saya sendiri itu ada di Bandung, dan tidak punya pekerjaan tetap, dia saya ajak kerjasama mendirikan Akademi Sakura itu", tutur Miyahira. Namun hobby Sanger membuat siaran-siaran pers di luar pengetahuan Miyahira, ditambah kecerobohannya menelola keuangan Akademi, menyebabkan pendeta Jepang itu mengeluarkan surat pemberhentian, setelah tegurannya berkali-kali tidak diacuhkan. "Dia itu tidak mengerti betapa susahnya mengirim orang ke Jepang". Meskipun dengan alasan job-training. Sambil membeberkan betapa daftar nama 19 pemuda dan pemudi lulusan Sakura yang mendapat rekomendasi Konjen repang di Jakarta 3 bulan lalu hingga kini belum mendapat jawaban dari perusahaan-perusahaan Jepang, Miyahira hanya mengelus dada. "Di kantor Departemen Tenaga Kerja di Jakarta saya dengar, ada perusahaan joint-venture Jepang yang sudah 6 bulan menunggu iin pengiriman 80 karyawan Indonesia ke Jepang, tapi belum mendapat jawaban". Namun dia tidak putus asa, dan tetap mencari jalan bagi 19 pemuda lulusan kursus Jepangnya yang sudah diseleksi. Dan persetujuan sudah datang dari Presdir perusahaan pertanian dan perkebunan Nagano, Jepang Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus