HUKUM berjalan bak bekicot di Maluku Utara. Bajingan gesit gampang berkelit. Itulah yang kini terjadi pada kasus Mochtar Sangadji, bekas Camat Kao di Halmahera, yang memicu konflik berdarah yang mubazir di Maluku Utara saat ini. Kasusnya mandek.
Padahal penjabat Gubernur Maluku Utara, Sinyo H. Sarundayang, telah meminta agar proses hukum terhadap Mochtar segera dilakukan. "Demi tegaknya hukum di daerah ini," katanya. Ia pantas prihatin, sudah empat tahun kasusnya tanpa kejelasan.
Sejarah mungkin akan berbeda seandainya Mochtar Sangadji, 57 tahun, tak memobilisasi warga—lewat para kepala desa bawahannya—untuk menyerang warga Makian. Sebenarnya ia mencoba menyelesaikan sengketa wilayah. Ini akibat pemekaran kecamatan baru Makian Malifut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42/1999, yang meliputi daerah adat suku Kao, tanggal 18 Agustus 1999. Kecamatan baru ini didiami bekas penduduk Pulau Makian yang "bedol desa" karena gunung api di sana meletus pada 1975.
Pemicunya adalah karena peraturan tersebut juga menggabungkan lima desa suku Kao ke dalam wilayah kecamatan baru itu. Letupan pertama terjadi saat warga pendatang (Makian) menyerang dua desa (dari lima desa) Kao, yakni Desa Sosol dan Desa Wangeotak, yang menolak bergabung demi alasan adat. Yang membalas menyerang justru warga suku Kao lainnya yang berasal dari Kao Barat dan Kao Timur. Sambil menolak pemekaran, mereka menuntut etnis Makian kembali ke pulau asal mereka.
Selang sebulan, suku Makian membalas, dan dibalas lagi oleh suku Kao dengan jumlah penyerang yang lebih besar. Celakanya, Camat Mochtar justru mencoba "menyelesaikan" pertikaian antar-suku itu dengan provokasi massa. Akibatnya, belasan dari 27 desa Makian hancur dan 16 ribu orang mengungsi ke Ternate dan Tidore.
Rein Kodobi, 32 tahun, penyelam mutiara (tum) warga Kao dari Pulau Bobale, mengungkapkan perannya dalam konflik itu. Bersenjatakan tombak dan panah, ia—dan ribuan orang sesukunya—mengaku menyerang warga Makian di Kecamatan Malifut atas perintah kepala desanya. "Setiap desa mengirim beberapa regu," tutur Rein. Dari desanya saja ikut empat regu, masing-masing berkekuatan 18 lelaki muda. Mereka diberangkatkan dari Kantor Kecamatan Kao dengan perintah "menghabisi" warga Makian. Mereka terhasut oleh Mochtar, yang mengatakan bahwa suku Makian merebut tambang emas milik suku Kao—dikelola oleh perusahaan Australia, North Halmahera Mining.
Namun, begitu konflik meluas, Mochtar justru kabur. Ia mungkin kaget karena konflik telah merembet ke soal agama. Ia sempat tertangkap polisi di Tobelo, kota terbesar di Halmahera Utara. Namun, entah mengapa ia dilepas. Polres Maluku Utara giliran menciduknya sesaat setelah Mochtar turun dari kapal barang di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, April 2001. Ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Ternate.
Kepala Polres Maluku Utara saat itu, Ajun Komisaris Besar Polisi Didik T. Prijandono, bertekad menyeret Mochtar ke pengadilan. "Soal salah-benar biarlah urusan hakim," katanya. Sayang, pengusutan terhambat oleh konflik yang berkepanjangan. Berkas Mochtar baru selesai ketika Kepala Polres dijabat AKBP Zulkarnain, akhir 2001. Namun, ketika jaksa menyatakan siap melimpahkan kasusnya ke pengadilan, pengadilan Tobelo—juga membawahkan Kecamatan Kao—ikut lumpuh karena konflik.
Dalam keadaan demikian, setelah masa tahanannya habis, Mochtar pun terpaksa dilepas kembali. Semula pulang ke Kao, begitu ia mengaku, tapi belakangan diketahui ia kembali ke kampungnya di Ambon. Di sana ia menyurati Kejaksaan Negeri Ternate, meminta kasusnya disidangkan di Ambon saja karena katanya keamanan dirinya di Ternate terancam. Permintaannya ditolak. Selain karena situasi Ambon sama tak amannya, penyidangan di kota ini akan menyulitkan para saksi, yang semuanya berasal dari Kao dan Malifut.
Namun, kemudian pria tua berbadan kurus itu raib lagi entah ke mana. Penggeledahan polisi di rumahnya di Kampung Pelau, Ambon, hanya membawa pulang borgol kosong.
Polisi dan jaksa pun saling tuding. Menurut seorang pejabat di Polres Maluku Utara, berkas Mochtar—termasuk barang bukti dan tersangka—sudah diserahkan ke Kejaksaan Ternate. Namun Kepala Kejaksaan Ternate, Itje M.A. Pattikawa, membantahnya. "Dia masih dalam penyidikan polisi," katanya. Yang menyulitkan jaksa menyeret Mochtar, kata Itje, karena kasusnya termasuk pidana umum yang tak bisa diterobos dengan pengadilan in absensia. "Mau bagaimana lagi? Kita hanya bisa menunggu sampai dia ditemukan," ujarnya pasrah.
Arif A. Kuswardono, Rachman Samiun (Ternate)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini