Maut seakan berpacu dengan hari ketika menjemput nyawa Gedong Bagoes Oka pada 14 November lalu: dini hari belum lewat ketika Ibu Gedong Oka—panggilan akrab tokoh perempuan Bali ini—mengembuskan napasnya yang terakhir di Jalan Brawijaya 8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di rumah salah seorang putranya tersebut, dia menutup 81 tahun perjalanan hidupnya. Dan banyak orang tiba-tiba kehilangan. Figur Gedong Oka dikenal jauh melebihi batas-batas tanah kelahirannya: Bali.
Ashram Candidasa, yang ia dirikan di Karangasem, adalah benteng terakhir pertahanan Bali yang tengah dilanda berbagai guncangan—hal itu selalu ia katakan. Ashram itu juga menjadi salah satu karya yang memasyhurkan namanya. Gedong Oka adalah pekerja keras, amat keras. Pada usia delapan dasawarsa lewat, ia masih ingin melakukan banyak hal. Tapi sakit kanker yang menderanya sejak perjalanannya yang terakhir ke Swedia pada Maret lalu memaksanya berhenti.
Para anak-cucunya kemudian mengelilinginya dengan kasih sayang. Pada September lalu, ketika dia harus dilarikan pagi-pagi ke Rumah Sakit Pondok Indah karena kondisi kesehatannya mendadak turun, dia masih bisa bangun dan bertegur sapa dengan bekas-bekas muridnya yang datang menjenguk. Dengan amat antusias dia memberi komentar tentang rencana kongres kebudayaan tahun depan. Matanya bersinar ketika nama sahabatnya, Ayako Isayama, disebut-sebut. Isayama-san adalah juru bicara masyarakat komunal Itoen, Kyoto.
Dari padepokan di lereng Bukit Yamashina itulah Gedong Oka mendapat inspirasi untuk mendirikan Ashram Candidasa. Gedong Oka juga dikenal sebagai sosok dengan semangat yang tak pernah pudar. Pikiran-pikirannya tetap jernih di saat usianya terus melanjut.
Tetapi kemudian waktu sudah bergegas. Dengan wajahnya yang kuning langsat memantulkan kecantikannya di masa muda, perempuan Bali yang akan menjadi semacam legenda itu terbaring tenang. Kakak wanitanya, yang masih sehat, menciumnya dengan sayang di antara sederetan tamu berdasi yang ingin menunjukkan penghormatan terakhir kepada sang Ibu.
Gedong Oka adalah pengagum Gandhi. Kejujuran dan kesederhanaan, pikiran-pikiran Gandhi dengan ahimsanya dalam membangun India, tidak hanya ia hayati. Gedong Oka mempraktekkan nilai-nilai itu dalam upayanya mengusung perdamaian dan kemanusiaan, tanpa kekerasan. Selama memimpin SMA di Singaraja, di tahun 1960-an, dia mencoba berbagai cara untuk meluaskan wawasan pendidikan—suatu hal yang pada masa itu tampak amat aneh. Pelajar tak hanya dijejali ilmu, tetapi ditumbuhkan pula kepribadiannya.
Kepala sekolah itu menetapkan bahwa salah satu cara menilai seseorang adalah dengan melihat klosetnya. Gedong Oka lantas memberi instruksi agar semua pelajar bergantian mencuci kloset mereka setiap hari. Keputusan itu sempat membuat geger. Banyak guru merasa sebal dan murid-murid berontak. Tetapi kemudian mereka semua ternyata merasa bangga karena telah menjadi bagian dari upaya memuliakan kerja. Gedong Oka memang selalu melihat kerja sebagai ibadah. Dia mencarikan dasar dari dalam Veda, di awal-awal kampanye pembatasan kelahiran, sehingga Bali menjadi nomor satu dalam menahan laju penduduk—bukan dengan kontrasepsi, melainkan dengan penyadaran spiritual.
Bagi Bali, Gedong Bagoes Oka adalah sebuah fenomena. Tak banyak wanita yang muncul dalam kehidupan orang Bali di luar rumah. Bila pun mencuat, kebanyakan sebagai penari. Tapi Gedong Oka termasuk pendobrak tradisi. Dia menyadarkan kesetaraan antara pria dan wanita Bali, yang kini santer dibicarakan, dengan menunjukkan potensi wanita Bali yang bukan hanya sekadar pelaku tontonan.
Usaha mantan anggota DPR ini sekarang mulai berbuah di seluruh Bali. Menjadi semacam dongeng, betapa seorang wanita tua yang bertubuh kecil, hanya memakai kebaya dengan kain sederhana serta sanggul Bali, menjelajah berbagai bandara untuk menghadiri seminar kemanusiaan dan perdamaian dunia.
Wanita dengan 6 putra dan 12 cucu itu, hasil pernikahannya dengan I Gusti Bagoes Oka pada 1943, adalah bagian dari sejarah Bali modern. Sebagai sahabat dan lawan debat Bung Karno, teman Gus Dur, serta aktivis dalam kelompok Dialog Antar-Iman, Gedong Oka adalah sebuah contoh betapa dahsyat potensi perempuan sebagai pejuang kemanusiaan dan perdamaian, sambil tetap berhasil memelihara kemesraan dalam keluarga, sepanjang hidupnya.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini