Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKO, Rizki, dan Ikhsan sedang asyik mengobrol di teras kantor partai. Mendadak-sontak mereka kedatangan tamu pada Ahad malam dua pekan lalu itu. Sonder ba-bi-bu, langsung saja dua lusinan tamu tak diundang tadi mengirim bogem mentah. Bug! Braak! Para aktivis muda tadi dikeroyok. Setelah “menyandera” Ikhsan selama satu jam, lalu membuangnya 50 meter dari tempat kejadian, para penyerang pun kabur.
Polisi datang. Dengan wajah lebam dan nyeri, Eko cs dijemput. Di Markas Kepolisian Resor Kota Palu, Sulawesi Tengah, ketiganya diinterogasi dua penyidik Polisi Militer. Seorang tersangka, Pratu Makmur dari Kesatuan Yonif 711 Raksatama, ditangkap malam itu juga. Ia diproses lantaran melakukan serangan. Tapi Perwira Seksi Penyidik POM Lettu Syafruddin menegaskan bahwa kasus ini masalah pribadi. “Jangan dipolitisasi,” katanya.
Siapa mereka? Sejumlah saksi mata mendeskripsikan para penyerang merupakan sekelompok orang yang “berbadan tegap dan berambut cepak.” “Mereka menggunakan sepatu lars seperti yang biasa dipakai anggota TNI,” ujar Martin Sibarani, Ketua Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) Sulawesi Tengah. Ketiga anak muda yang jadi korban adalah aktivis partai yang masih gres ini.
Ini bukanlah serangan pertama. Sejak persiapan partai dilakukan pada September tahun lalu, Papernas terus-menerus ditentang. Saat peluncuran partai berlangsung di Kaliurang, Yogyakarta, awal Januari lalu, ratusan pendukung partai baru ini hampir bentrok dengan Front Anti Komunis Indonesia.
Di Jakarta idem ditto. Maret lalu, saat unjuk rasa damai di Dukuh Atas dan Tugu Proklamasi, mereka dihadang Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Pembela Islam. Tak kurang dari 27 orang luka-luka dan 20 mobil rusak. FPI dan Dewan Dakwah Islamiyah memprotes eksistensi Papernas ke parlemen Bekasi, Jawa Barat, April lalu.
Setelah itu, giliran Laskar Umat Islam Surakarta yang membubarkan konferensi lokal Papernas di Sukoharjo. Hal sama juga terjadi di Surabaya, Bandung, Madiun, dan Malang. Di Nusa Tenggara Timur, selebaran antikomunis tersebar di tengah konferensi cabang. “Enam bulan terakhir, serangan terhadap kami gila-gilaan,” kata Dita Indah Sari, Ketua Majelis Pimpinan Partai Papernas.
Papernas dituding sebagai komunis gaya baru. Kebetulan mereka didukung Partai Rakyat Demokratik (PRD), organisasi buruh, tani dan Rakyat Miskin Kota. Mereka juga memakai Tripanji, idiom yang pernah dipakai Partai Komunis Indonesia atau PKI. Ini adalah sebutan untuk tiga program pokok partai: hapus utang luar negeri, nasionalisasi industri gas dan minyak, bangun ekonomi nasional yang berlandaskan kepentingan rakyat.
Pembelaan hak-hak korban tragedi 1965 dijadikan sebagai salah satu program. Asasnya demokrasi kerakyatan. “Ini partai komunis,” kata Ekajaya, juru bicara FPI. “Mananya yang komunis? Tujuan kami menggusur imperialis. Ini partainya orang miskin,” kata Agus Jabo Priyono, Ketua Umum Papernas. Sambil berbincang dengan Tempo, tangannya mengetuk-ketuk salinan UUD 1945 hasil amendemen.
Papernas memang tak bisa dipisahkan dengan PRD. Menurut Agus Jabo, kantor di Palu itu pernah digunakan sebagai sekretariat PRD; kini menjadi sekretariat Papernas. Martin, 31 tahun, adalah juga Ketua PRD lokal. Sayang, perolehan suara PRD jeblok dalam Pemilu 1999, kali pertama para aktivis kiri berlaga dalam sistem demokrasi.
Konflik internal kemudian melanda PRD. Satu per satu pendirinya mengundurkan diri. Budiman Sudjatmiko, bekas ketua PRD, kini bernaung di bawah PDI Perjuangan. Andi Arief kini puas menjadi komisaris PT Pos Indonesia. Harris Rusli Moti pindah perahu ke Partai Amanat Nasional. “Militansi ada batasnya. Bagi mereka yang keluar, daya tahannya ya segitu itu,” kata Dita.
Menjelang Pemilu 2004, PRD membuat partai baru, Partai Persatuan Oposisi Rakyat (Popor). Ideologi dan jaringannya persis sama, namun Popor tak menembus verifikasi Departemen Hukum dan HAM. Belajar dari pengalaman, sekali lagi mereka merapatkan barisan. Saat Papernas diluncurkan, Januari lalu, Agus Jabo didapuk menjadi ketua umum. Sedangkan Dita Indah Sari, Ketua Umum PRD, menjadi Ketua Majelis Pimpinan Partai Papernas.
“Kesalahan Papernas adalah menggunakan slogan Tripanji yang membangkitkan sentimen masa lalu. Ini seperti ular cari pemukul,” kata Fadly Zon, intelektual muda, orang dekat bekas Komandan Jenderal Kopassus Mayjen (Purn.) Prabowo Subianto. Fadly setuju kalau partai ini antiimperialisme, namun ia memandang serangan terhadap Papernas sekadar reaksi lokal yang trauma terhadap kebangkitan PKI.
Dihantam berulang kali tak membuat Papernas merunduk. Informasi tentang aktivitas mereka bertaburan secara teratur di situs internasional seperti Green-Left Weekly. Demi memenuhi target Pemilu 2009, jaringan buruh, tani, rakyat miskin kota, dan mahasiswa pascareformasi kini dihidupkan kembali. “Tunggu saja, mereka yang menyerang juga lama-lama kehabisan logistik,” kata Agus Jabo, tergelak.
Kurie Suditomo, Darlis Muhammad (Palu), Zaki Almubarok (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo