Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dongeng Musim Durian

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR bahwa tsunami telah melabrak daerah pesisir Kepulauan Mentawai, Senin tiga pekan lalu, membangunkan ingatan Rini Ningrum. Penggiat lembaga swadaya masyarakat bidang pengurangan risiko bencana ini pernah bermukim di kepulauan ini pada pertengahan 1988 hingga akhir 1989 untuk meneliti tanaman obat endemik. ”Saat itu tidak ada masyarakat yang tinggal di pesisir,” katanya kepada Ratih Sukma dari Tempo, Kamis pekan lalu.

Suku Siberut, Pagai, yang merupakan penduduk asli Mentawai, adalah masyarakat peladang yang hidup di lereng bukit Taman Nasional Tai-Tai Batik. Mereka berdiam di uma (rumah besar) yang di bawahnya terdapat kandang babi. Menurut Rini, suku Siberut mengenal cara menghitung datangnya gelombang besar Lautan Hindia. ”Namanya dongeng musim durian,” kata bekas aktivis Wahana Lingkungan Hidup ini.

Dalam cerita pengantar tidur anak-anak Siberut itu dikisahkan cara nenek moyang mereka menghitung musim. Bulan bulat penuh adalah tanda awal musim gelombang laut besar. Saat itu juga bertepatan dengan mulainya musim durian. ”Ketika musim itu tiba, tak ada yang berani turun ke laut,” katanya.

Namun tatanan budaya itu hilang seiring dengan program pemerintah yang berupaya mendorong masyarakat Siberut pindah ke pesisir. Setelah program itu dilansir pertama kali pada akhir 1988, rumah di dekat pantai pun banyak dibangun. Masyarakat juga diberi ternak dengan program sapi inpres. ”Kebijakan itu mengabaikan kearifan lokal suku Siberut,” katanya. Rini mengaku Walhi dan seorang profesor antropologi Universitas Leiden pernah melayangkan surat protes kepada pemerintah. ”Namun tidak ditanggapi.”

Orang asli Siberut juga dipaksa melepaskan cawat dan harus memakai baju. ”Warga suku yang gondrong diburu untuk dipotong rambutnya secara paksa,” ujar Rini.

Ketika kampung mereka luluh lantak dihajar air bah Lautan Hindia, banyak masyarakat Pagai ingin meninggalkan kampung ”buatan” pemerintah. ”Saya ingin pindah dari daerah pesisir dan kembali ingin hidup berladang,” kata Wilmar Samangulailai, warga Dusun Muntei Baru-baru.

Wakil Bupati Mentawai Yudas Sabagalet membantah ada pemaksaan terhadap warga suku Siberut untuk pindah ke permukiman yang dibuat pemerintah. Katanya, ”Program itu ditawarkan bagi yang mau saja.”

Setri Yasra (Jakarta), Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus