Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYIKSAAN oleh tentara Indonesia di Papua kembali ramai diperbincangkan. Rekaman yang memperlihatkan penyiksaan penduduk sipil itu beredar di Internet. Sebelumnya juga sudah beredar laporan tentang penyiksaan penduduk sipil dan tahanan yang dituduh mendukung kemerdekaan Papua atau Republik Maluku Selatan.
Beberapa lembaga internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, melaporkan hal serupa. Kali ini pemerintah tak berkelit. Proses peradilan sedang dijalankan. Wartawan Tempo, Purwani Diyah Prabandari, mewawancarai Sekretaris Jenderal Amnesty International Salil Shetty pekan lalu.
Bagaimana Anda menilai perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, terutama di Papua dan Maluku?
Pada 2007, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa datang ke Indonesia. Tahun berikutnya, datang komite PBB antipenyiksaan. Keduanya menyatakan keprihatinan atas kasus-kasus penyiksaan. Ada pula laporan perlakuan keji, baik ketika di dalam tahanan polisi maupun di penjara. Hal ini diungkapkan Amnesty International dalam laporan 2009. Sampai kini kami masih menerima laporan praktek penyiksaan, termasuk rekaman di Papua itu.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Kami mendesak pengiriman tim pencari fakta yang independen dan dipimpin orang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Bagaimana dengan ancaman keamanan dan tindak kekerasan yang kerap menjadi dalih para petugas negara?
Sebelumnya, saya tegaskan, Amnesty tidak memberikan pandangan apakah klaim kemerdekaan itu benar atau salah. Tapi, bila ada protes atau keprihatinan masyarakat secara damai, mereka harus diperlakukan menurut standar dan norma hak asasi manusia internasional. Untuk Papua, tak ada kebebasan berbicara. Para aktivis hak asasi manusia kerap diganggu. Organisasi internasional dibatasi aksesnya, sehingga situasi ini menciptakan iklim impunitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia, yang telah terjadi bertahun-tahun.
Jadi, Papua harus dibuka?
Berdasarkan pengalaman saya, semakin Anda terbuka akan semakin baik.
Berbicara tentang iklim impunitas, masyarakat menjadi apatis terhadap proses hukum di sini. Bagaimana dengan penggunaan mekanisme internasional, seperti Mahkamah Pidana Internasional?
Kalau rakyat Indonesia ingin menggunakan mekanisme Mahkamah Pidana Internasional (ICC), pertama-tama Indonesia harus meratifikasinya. ICC hanya bisa campur tangan dalam kasus di mana semua mekanisme hukum nasional telah digunakan.
Bagaimana dengan langkah kelompok Republik Maluku Selatan yang meminta pengadilan Belanda menahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang berbuntut pembatalan kunjungan?
Kasus RMS di Belanda itu, menurut saya, terlalu dibesar-besarkan. Menurut saya, pemerintah Indonesia hanya menghindar agar tak dipermalukan. Agar tak dipermalukan di masa mendatang, sebaiknya memperbaiki diri, termasuk membebaskan para tahanan politik yang dihukum lama karena aksi tanpa kekerasan.
Tapi masih ada pasal makar yang bisa menjadi senjata menghukum orang yang mengekspresikan dukungan prokemerdekaan meski dengan damai?
Masyarakat punya kebebasan berorganisasi, berkumpul, dan mengekspresikan pandangan politiknya dengan damai. Bila pandangan politik seseorang tak sama dengan pemerintah, itu tidak bisa dijadikan alasan menangkap atau mengkriminalkan seseorang. Karena itu, kami meminta peninjauan kembali pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni pasal 106 dan 110.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo