Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA berteduh di bawah tenda yang sudah lusuh. Di bawah terpal sepanjang 50 meter, 180 orang berjubel seperti sarden. Terpal itu ditegakkan seadanya: rangkanya batang pohon yang diikat dengan tali dari akar tanaman menjalar. Berfungsi sebagai pelindung dari hujan dan terik, tenda itu tak kuasa menahan angin yang masuk dari empat penjuru.
Rumah pengungsian itu dihuni warga Dusun Tirik, Timur, dan Sabeugunggung, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara. Tenda itu merupakan bantuan dua tahun silam, saat gempa 8,4 skala Richter menghantam kampung mereka. Berlokasi satu kilometer dari garis pantai di ketinggian 40 meter, hari itu lokasi pengungsian didera hujan lebat. ”Kami tidak bisa tidur karena badai. Angin bertiup kencang sekali,” ujar Kilian, Kepala Dusun Tirik, kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Lima hari setelah gempa 7,2 skala Richter dan gelombang tsunami datang menghancurkan kampung mereka, warga kini berjuang untuk bertahan hidup. Pada siang hari, mereka keluar dari pengungsian untuk mencari bahan makanan—keladi dan pisang yang tumbuh liar. Tapi makanan itu, ”Semakin hari semakin sulit didapat,” ujar Kilian.
Akibatnya, warga harus masuk lebih jauh ke hutan, dan adakalanya pulang dengan tangan hampa. Kadang mereka mengunyah rebung. ”Buat mengganjal perut,” ujar Apollos, seorang warga Tirik. Meski di Betumonga ada toko penjual bahan pookok, mereka tidak mampu membeli. Mayoritas warga desa itu petani kelapa yang bekerja harian. Setelah seharian memetik kelapa, mereka langsung menjualnya. Penghasilannya Rp 20-40 ribu sehari. Namun sekarang kebun kelapa itu rusak dihajar gelombang. ”Kami sudah tidak bisa lagi petik kelapa,” kata Apollos.
MENCAPAI Betumonga bukan perkara mudah. Tempo, yang ikut rombongan Badan Penanggulangan Bencana PDI Perjuangan, harus mengarungi Lautan Hindia selama dua jam. Sampan kayu bermotor tempel sering terhuyung melewati ombak setinggi dua meter. Meski selamat, di tengah jalan sampan sempat karam dihantam badai. Barang bawaan pun terendam air laut.
Tak kuasa menahan amuk laut, perahu berbelok ke Teluk Sabeugunggung. Rombongan harus berjalan kaki menembus area perkebunan yang centang-perenang dan rawa dengan lumpur setinggi paha. Hujan yang terus mengguyur Mentawai membuat bumi yang dipijak semakin lunak. Perjalanan dua kilometer itu harus ditempuh dalam waktu dua jam.
Di tempat itu, 20 warga memilih bertahan untuk mencari keluarga yang belum ditemukan. Mereka berlindung di bawah tenda seadanya. Bekas kampung yang puluhan tahun dihuni sudah rata dengan tanah. Menurut Elsa Saogok, warga lainnya, warga mulai menerima bantuan pada hari ketiga setelah bencana. Tim SAR juga datang untuk membantu pencarian dan penguburan jenazah pada hari keempat dan kelima. Warga juga memperoleh bantuan makanan berupa mi instan, beras, dan air minum. ”Kira-kira cukup untuk tiga hari,” katanya.
Nasib berbeda dialami penduduk Dusun Barat. ”Belum ada bantuan,” kata Sofyan, seorang warga. Makanan pengganjal perut diperoleh dari bantuan kerabat. Ketika tsunami menghancurkan kampungnya, Sofyan kehilangan semuanya: uang, rumah, istri, dan dua putrinya. Hanya Desty, putri pertamanya yang berusia tujuh tahun, lolos dari maut.
Hari-hari itu hujan terus mengguyur tanah Mentawai, deras bukan kepalang. Rombongan sempat terkurung di Betumonga selama empat hari. Perjalanan keluar dari pulau itu baru bisa dilakukan pada saat laut tenang. Setelah menempuh sekitar tiga jam, Tempo tiba di Sikakap, tempat berton-ton bantuan menumpuk.
Awal pekan lalu pasokan makanan berupa mi instan, roti, sarden, dan beras menyebar ke seluruh daerah bencana. Menurut Fredi Sakerebau, warga Betumonga, mereka tak bisa memasak karena rumah dan alat masak hilang tersapu air laut. ”Terpaksa mi dan sarden kami telan mentah-mentah,” katanya.
Faktor cuaca dikeluhkan Kepala Pusat Pengendali Operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat Ade Edward. Menurutnya, bahan bantuan ditumpuk di Sikakap sambil menunggu badai reda. ”Namun dusun-dusun terpencil sudah dikirim dengan tujuh helikopter,” katanya. Ade memastikan pasokan logistik untuk para pengungsi tersedia hingga tiga bulan ke depan.
Ketika ribuan warga Mentawai menangis, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno memilih jalan lain. Rabu pekan lalu, politikus Partai Keadilan Sejahtera ini terbang ke Berlin, Jerman, menghadiri Indonesian Business Day, yang berlangsung Kamis hingga Sabtu.
Menurut pejabat hubungan masyarakat Provinsi Sumatera Barat Zardi Zahri, kepergian Irwan untuk mempromosikan potensi daerah kepada investor asing. Dia juga memastikan lawatan tersebut tidak mengganggu penanggulangan bencana Mentawai. Sebab, gubernur hanya sebagai pengarah. ”Penanggung jawabnya Wakil Gubernur Muslim Kasim,” katanya. Lawatan ini mengundang banyak kritik. ”Saya kira Gubernur sudah mati rasa,” kata peneliti politik Burhanuddin Muhtadi.
Setri Yasra, Riky Ferdianto (Jakarta), Reza Maulana (Mentawai), Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo