Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dosa achwan di mata hakim

Mochammad achwan divonis penjara seumur hidup. lebih berat dibanding perkara subversi lainnya. ia bukan saja terlibat peledakan borobudur & bis pemudi express, juga ingin menggulingkan pak harto. (nas)

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA dituduh jaksa melakukan macam-macam: memesan bahan peledak, yang kemudian dipakai meletupkan Gedung Sasana Budaya Katolik, Malang, Candi Borobudur, serta bis Pemudi Express, lalu menggerakkan pesantren kilat, dan melalui lembaga itu merongrong ideologi Pancasila. Itulah Mochammad Achwan, 37, yang bersama Ir. Haji Mohamad Sanusi disebut berencana menggulingkan Presiden Soeharto. Karena tuduhan melakukan serangkaian tindakan subversi itu, Achwan dituntut jaksa dijatuhi hukuman mati. Tapi, majelis hakim Pengadilan Negeri Malang, Rabu pekan lalu, menghukumnya kurungan penjara seumur hidup. Terpidana Achwan, yang selalu tampil dengan kemeja putih serta bercelana abu-abu, hanya tersenyum mendengar putusan hakim setebal 70 halaman itu. Padahal, perajin sepatu kulit itu dijatuhi hukuman yang tergolong berat bila dibandingkan berbagai perkara subversi lainnya. Tony Ardie, misalnya, cuma divonis 9 tahun penjara. Bahkan hukuman buat Achwan juga lebih berat ketimbang vonis pelaku peledakan Candi Borobudur lainnya. Achmad Muladawila dan Abdulkadir Ali Al-Habsyi, yang semula juga dituntut hukuman mati, hanya dihukum 20 tahun penjara. Abdulkadir Baraja 13 tahun penjara. Mengapa Achwan dihukum lebih berat? Achwan, ayah empat anak itu, didakwa Jaksa H. Syakranie tak hanya sekadar ikut serta di berbagai kasus peledakan, tapi juga merupakan "otak" gerakan. Ia adalah orang pertama yang ditangkap sehari setelah Gedung Sasana Budaya Katolik meledak pada 24 Desember 1984 malam. Dan dialah yang disebut-sebut menugasi Supriono alias Hamzah, salah seorang tukang sepatu pada Achwan, meledakkan bis Pemudi Express. Supriono mati akibat bom yang meledakkan bis itu. Lebih dari itu, menurut Jaksa, Achwanlah yang langsung ditugasi oleh Husein Ali Al-Habsyi dan Ibrahim pergi membeli bahan peledak ke Telukbetung, Lampung. Ibrahim, menurut tuduhan, bersama Husein Ali Al-Habsyi, yang tunanetra itu, adalah tokoh utama di balik peledakan Borobudur. Achwan - atas perintah Ibrahim dan Husein - sempat dua kali datang ke Telukbetung. Di situ ia memesan bahan peledak dari Abdulkadir Baraja. Pesanan pertama, pada Agustus 1984, sebanyak 10 kg, dan yang kedua sekitar November sebanyak 50 kg. Selain itu, Achwan, bersama kawan-kawannya, dituduh pula melakukan "perbuatan yang kait-mengait ingin mengganti sistem politik yang berlaku sekarang". Itu dilakukannya dengan mendirikan Lembaga Pendidikan & Pengkajian Pesantren Kilat. Lembaga ini aktif mengadakan ceramah dan pengajian, yang isinya berusaha menanamkan fanatisme, serta merongrong kekuasaan negara. Jaksa Syakranie, dalam surat dakwaannya, mengatakan, Achwan beberapa kali bertemu dengan saksi, antara lain Mursalin Dahlan serta H.M. Sanusi. Di antaranya, pada Agustus 1982, di Restoran Mira Sari, Jalan Patiunus, Jakarta Selatan. Di situlah Sanusi mengatakan bahwa Presiden Soeharto harus dilenyapkan. Achwan membantah keterangan yang terakhir itu. "Saya memang bertemu H.M. Sanusi, tapi bukan untuk merencanakan pembunuhan Kepala Negara," katanya. Pertemuan itu, "Membicarakan kecurangan pemilu tahun 1982." Dan Sanusi sendiri, dalam kesaksian tertulisnya, mengatakan tak kenal pada Achwan. Achwan, dalam pembelaannya, mengatakan, "Akan meminta keadilan pada Allah ...." Ia, katanya, menyesali hakim, yang hanya menampilkan saksi-saksi yang memberatkan. Ia juga mengecam pedas Jaksa, yang katanya membentak-bentaknya dalam pemeriksaan. "Sekali-sekali orang seperti ini diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," katanya tentang Jaksa Syakranie. Akhirnya, dengan alasan tak menyesali perbuatannya, Achwan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. "Tak ada yang meringankan, kecuali belum pernah dihukum, dan masih muda," kata Hakim Ketua Ketut Malaye. Pembela Achwan tampaknya tak ingin banding, tapi akan mengajukan grasi. "Sebab, kalau banding, khawatir diperberat," kata Pembela Budi Kusumaning Atik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus