INILAH berita baik dari Jakarta: Gubernur Soeprapto, di depan sidang paripurna DPRD, pekan lalu mengatakan pendapatan per kapita warga Ibu Kota tahun silam mencapai Rp 1.249.700. Sebuah loncatan "mengagetkan" karena, tahun sebelumnya, angkanya Rp 990.960. Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi di Jakarta mencapai 7,2% ini pun setelah dikurangi laju pertambahan pendbduk 4%. Padahal, pertumbuhan ekonomi nasional yang direncanakan 5% dalam Pelita IV, tahun lalu diperkirakan hanya mencapai 2,3%. Angka pendapatan per kapita penduduk Jakarta itu, kata Gubernur Soeprapto, diperoleh dari perhitungan produk domestik regional bruto (PDRB) - inilah pendapatan regional yang dihitung dengan cara produksi. Komponen yang berperan besar membentuk nilai PDRB DKI adalah perdagangan, perbankan, dan industri. Pada 1985, sumbangannya masing-masing 23%, 19%, dan 17%. "Peran sektor perbankan makin menguat," ujar Drs. Djoko Brotosurjono, Kabiro Bina Sarana Perekonomian DKI. Sumbangan lembaga keuangan ini naik 7% dibanding lima tahun sebelumnya. "Ini indikasi jasa perbankan makin diperlukan, dan makin besar modal berputar di Jakarta." Lonjakan dalam pendapatan per kapita juga tercatat di Sumatera Utara dan Jawa Timur. Pendapatan per kapita warga Sum-Ut pada 1984 mencapai Rp 423.250 - tiga tahun sebelumnya hanya Rp 298.896. Lompatan besar ini, menurut Kabag Statistik Bappeda Sum-Ut Ir. Rasmi Ginting, banyak disumbang oleh peningkatan produksi subsektor perkebunan. Perluasan dan intensifikasi perkebunan karet dan kelapa sawit mulai "berbuah" pada tahun itu. Menurut taksiran Kepala Bidang Statistik Pemda Ja-Tim, Moch Khasim, pendapatan per kapita penduduk di wilayahnya mencapai Rp 412.371, pada 1985. Tahun sebelumnya cuma Rp 380.635. Baik di Ja-Tim mau pun Sum-Ut, sektor pertanian - termasuk subsektor perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan - masih menjadi maskot di antara komponen penyumbang PDRB yang lain. Sumbangan sektor ini, bagi Ja-Tim dan Sum-Ut, masing-masing 34% dan 37%. Sektor pertanian juga tercatat berperan di Provinsi Sul-Ut. Tahun 1984, sektor ini menyumbang 33% terhadap PDRB, sekalipun itu turun 3% dibanding tahun sebelumnya. Maklum, panen cengkih tahun ini turun drastis: 65% - dari 8.000 ton menjadi hanya 3.500 ton. Tapi, tahun lalu, mulai membaik lagi. Pendapatan per kapita naik dari Rp 300.925 pada 1984 menjadi Rp 315.100, pada 1985. Selama kurun 1975-1983, laju pertumbuhan pendapatan per kapita di provinsi penghasil cengkih dan kopra ini mencapai rata-rata 12,3% setahun. Pendapatan regional di Indonesia ini, menurut Prof. Hendra Esmara, dihitung bukan berdasarkan pendapatan yang diterima penduduk provinsi tersebut. Tapi berdasarkan produksi barang dan jasa. "Dengan demikian, pendapatan per kapita Jakarta Raya itu bisa jauh lebih besar," tambah Hendra. Juga, bagi Dr. Iwan Jaya Ais dari FE UI, angka-angka yang diturunkan dari PDRB itu tak banyak punya arti. "PDRB per kapita itu tidak mewakili pendapatan per kapita," ujarnya Sebab, PDRB tidak memperhitungkan nilai barang atau jasa yang keluar-masuk dari daerah setempat. Dan ahli ekonomi regional itu menunjuk Provinsi Kal-Tim, daerah yang PDRB per kapitanya kini tertinggi dibanding provinsi lain, lantaran produksi migasnya. Tapi, hasil penjualan migas itu hanya sebagian kecil yang beredar di provinsi tersebut. "Pendapatan per kapita sebenarnya jadi jatuh jauh di bawah PDRB per kapitanya," tambahnya. Khasim setuju pendapat Iwan. Dia pun menunjuk Kabupaten Kediri. Menurut catatannya, mudah ditemui buruh tani dengan penghasilan seribu perak sehari. "PDRB bisa menyesatkan untuk mengukur kesejahteraan," kata Iwan Jaya. Sebab, gampangnya, ia tidak menunjukkan pendapatan - apalagi perbedaan - antara tokoh sebesar Liem Sioe Liong dan Si Cak tukang sate.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini