Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen sastra daerah Universitas Indonesia Widhyasmaramurti menilai akan ada dua unsur yang hilang jika istilah-istilah dalam bahasa Sansekerta diganti ke bahasa Indonesia. Penggantian itu, kata dia, bakal menghilangkan aspek estetika dan sejarah secara perlahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pnggunaan bahasa Indonesia sebetulnya tidak masalah, tetapi itu akan (menyebabkan) terjadi pergeseran makna," kata Widhyasmaramurti kepada Tempo, Kamis, 18 Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Doses sastra Jawa ini mengungkapkan, istilah-istilah dalam bahasa Sansekerta memang sulit dilafalkan. Namun, dari segi estetika bahasa, bahasa Sansekerta memiliki keindahan dalam pelafalannya. "Dan memang biasanya itu sudah terpilih kosa katanya dengan makna yang sifatnya simbolik," kata dia.
Adapun bahasa Indonesia, Widhyasmaramurti menilai pilihan diksinya langsung dan lugas. Sehingga, jika suatu istilah dalam bahasa Sansekerta diganti dengan bahasa Indonesia maka akan kehilangan estetika atau puitika bahasanya.
Selain itu, Widhyasmaramurti juga menyebut penggantian istilah bahasa Sansekerta ke bahasa Indonesia sama saja dengan menghilangkan sejarah secara perlahan. "Semakin berkurang proses pelestarian bahasa dan budaya kita," katanya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sebelumnya meminta istilah dalam bahasa Sansekerta diganti dengan bahasa Indonesia yang benar. Saat itu, JK sedang memberikan selamat kepada peraih penghargaan Satya Lencana Karya Bhakti Praja Nugraha atau penghargaan untuk kepala daerah berprestasi. JK mengaku sulit menyebut nama penghargaan tersebut dengan benar.
Menurut JK, istilah dalam bahasa Sansekerta sudah tak lagi relevan di zaman sekarang. Ia yakin tak ada pihak yang hafal dengan penyebutan istilah tersebut. Karena itu, JK pun mengingatkan agar kemetnerian dan lembaga segera mengganti istilah-istilah tersebut.