Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Edaran akhir tambunan

Surat edaran gubernur e.w.p tambunan (menjelang akhir jabatannya): semua pemberitaan, tanggapan dan pendapat dprd harus disalurkan melalui pimpinan dprd. (nas)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara mendadak sepi. Seumlah anggota yang sebelumnya sering memberikan keterangan pers tiba-tiba "bungkam" sejak dua pekan terakhir. Ada gerakan tutup mulut? Ternyata tidak. Adapun penyebabnya: Surat edaran Gubernur E.W.P. Tambunan. Gubernur yang suka mengenakan pakaian teluk belanga, berpeci merah dan pekan depan akan mengakhiri masa tugasnya itu rupanya mengikuti "pepatah": harimau mati meninggalkan belang, "gubernur berhenti meninggalkan larangan," kata seorang anggota DPRD di Medan. Akhir Mei lalu para anggota DPRD Sum-Ut menerima tembusan surat edaran gubernur yang ditujukan pada semua bupati dan walikota Sum-Ut. Intisari isinya: "Untuk mencapai tertib pemerintahan di daerah, semua pemberitaan, tanggapan dan pendapat DPRD harus disalurkan meialui pimpinan DPRD." Selama ini, kata edaran tersebut, keterangan pers anggota DPRD selalu tidak selaras dengan pola kebijaksanaan pemerintah daerah dalam penyelesaian masalah yang dipersoalkan, "hingga menimbulkan dualisme pendapat yang berbeda antara legislatif dan eksekytif." Menurut Tambunan, dalam negara demokrasi Pancasila, perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif wajar. Tapi dia ingin agar perbedaan pendapat itu harus tetap satu dengan eksekutif, "agar pembangunan dapat tercapai," katanya. "Perbedaan pendapat juga akan menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan stabilitas pemerintahan, keamanan, dan ketertiban masyarakat." Tentu saja edaran Tambunan itu mengundang banyak tanggapan. "Surat edaran itu sama artinya dengan melarang kami mengeluarkan pernyataan dan pendapat," kata Buttu R. Hutapea, 39 tahun, anggota DPRD Tingkat II Medan dari Fraksi PDI. Sesuai dengan fungsinya, kata Buttu, anggota dewan kalau menganggap perlu bisa mengeluarkan tanggapan, pendapat, dan pernyataan. Kenapa pernyataan anggota dewan disalurkan lewat pers. "Supaya masyarakat tahu bahwa aspirasi mereka telah kami tanggapi," ucap Hasrul Aszwar dari F-PP. "Dengan begitu rakyat bisa mengetahui bahwa kami, wakil-wakil mereka, tidak ongkang-ongkang di kursi saja," tambahnya. Menurut Buttu Hutapea, penyaluran pendapat melalui sidang pleno itu "sulit". Sebab, "sidang pleno paling cepat dilakukan sekali dalam enam bulan, sementara masalahnya mendesak untuk diselesaikan. Hingga media massalah alat komunikasi terbaik dengan masyarakat," katanya. Nada keberatan yang sama juga datang dari Asad Lubis, anggota DPRD Tingkat II Medan dari F-KP. Menurut Asad, penyampaian pendapat melalui ketua DPRD menjadikan pimpinan lembaga ini berada di atas anggota lainnya. "Padahal menurut tata tertib, ketua DPRD itu bukan atasan anggotanya," ujarnya. Menurut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Dan kepala daerah menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintah daerah. DPRD mempunyai tata terib yang mengatur pelaksanaan hak dan kewajibannya. Namun dalam Tata Tertib DPRD Medan tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai hak anggota memberi pernyataan pers. Di luar kebiasaannya, Gubernur Tambunan tak bersedia menjelaskan secara panjang lebar mengenai latar belakang surat edarannya. Edaran itu, katanya, hanya untuk mengingatkan kembali anggota DPRD agar patuh dengan peraturan yang berlaku. "Dalam surat edaran itu saya tidak ada melarang mereka berbicara," katanya pekan lalu. Untuk penjelasan lebih lanjut, "silakan hubungi humas." Amir Husin Nasution, kepala Humas Kantor Gubernur, menjelaskan: sura edaran itu terpaksa dikeluarkan "karena sudah terlalu banyak pernyataan yang menyimpang dari kebijaksanaan Pemda." Tapi dia tak ingat lagi pernyataan yang mana saja. "Pokoknya banyak," katanya singkat. Dalam beberapa kesempatan, kata Amir Husin, Gubernur Tambunan sudah berkali-kali mengingatkan anggota DPRD dalam memberikan pernyataan agar selaras dengan kebijaksanaan Pemda. Bahkan Tambunan pernah menegur ketua DPRD Medan, H.B. Hutasuhut, karena sikap anggota dewan yang dianggapnya "galak". Para anggota DPRD provinsi lain ternyata tak sesial rekan mereka di Sum-Ut. "Selama ini di Jawa Timur belum pernah ada edaran seperti itu," kata Soetam Soekarno, anggota DPRD Tingkat I Ja-Tim dari F-PDI. Menurut dia, hubungan DPRD dan Pemda di Ja-Tim selalu baik. "Boleh saja anggota DPRD bicara, selama masalahnya menyangkut rakyat," ujarnya Namun para anggota dewan membatasi dirl. Misalnya kalau yang akan dibicarakan itu menyangkut penilaian masyarakat terhadap dewan, seyogyanya ketua dewan yang berbicara. "Tapi itu juga tidak berbentuk peraturan," tambahnya. Di Jawa Barat begitu juga. "Tak ada larangan bagi anggota DPRD Jawa Barat untuk berbicara dengan pers," kata Yusacc S.A., kepala Humas Pemda Ja-Bar. "Soalnya para anggota dianggap telah mengetahui etika berbicara dengan pers, atas nama pribadi, fraksi atau komisi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus