DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara mendadak
sepi. Seumlah anggota yang sebelumnya sering memberikan
keterangan pers tiba-tiba "bungkam" sejak dua pekan terakhir.
Ada gerakan tutup mulut? Ternyata tidak.
Adapun penyebabnya: Surat edaran Gubernur E.W.P. Tambunan.
Gubernur yang suka mengenakan pakaian teluk belanga, berpeci
merah dan pekan depan akan mengakhiri masa tugasnya itu rupanya
mengikuti "pepatah": harimau mati meninggalkan belang, "gubernur
berhenti meninggalkan larangan," kata seorang anggota DPRD di
Medan.
Akhir Mei lalu para anggota DPRD Sum-Ut menerima tembusan surat
edaran gubernur yang ditujukan pada semua bupati dan walikota
Sum-Ut. Intisari isinya: "Untuk mencapai tertib pemerintahan di
daerah, semua pemberitaan, tanggapan dan pendapat DPRD harus
disalurkan meialui pimpinan DPRD." Selama ini, kata edaran
tersebut, keterangan pers anggota DPRD selalu tidak selaras
dengan pola kebijaksanaan pemerintah daerah dalam penyelesaian
masalah yang dipersoalkan, "hingga menimbulkan dualisme pendapat
yang berbeda antara legislatif dan eksekytif."
Menurut Tambunan, dalam negara demokrasi Pancasila, perbedaan
pendapat antara eksekutif dan legislatif wajar. Tapi dia ingin
agar perbedaan pendapat itu harus tetap satu dengan eksekutif,
"agar pembangunan dapat tercapai," katanya. "Perbedaan pendapat
juga akan menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan
stabilitas pemerintahan, keamanan, dan ketertiban masyarakat."
Tentu saja edaran Tambunan itu mengundang banyak tanggapan.
"Surat edaran itu sama artinya dengan melarang kami mengeluarkan
pernyataan dan pendapat," kata Buttu R. Hutapea, 39 tahun,
anggota DPRD Tingkat II Medan dari Fraksi PDI. Sesuai dengan
fungsinya, kata Buttu, anggota dewan kalau menganggap perlu bisa
mengeluarkan tanggapan, pendapat, dan pernyataan.
Kenapa pernyataan anggota dewan disalurkan lewat pers. "Supaya
masyarakat tahu bahwa aspirasi mereka telah kami tanggapi," ucap
Hasrul Aszwar dari F-PP. "Dengan begitu rakyat bisa mengetahui
bahwa kami, wakil-wakil mereka, tidak ongkang-ongkang di kursi
saja," tambahnya.
Menurut Buttu Hutapea, penyaluran pendapat melalui sidang pleno
itu "sulit". Sebab, "sidang pleno paling cepat dilakukan sekali
dalam enam bulan, sementara masalahnya mendesak untuk
diselesaikan. Hingga media massalah alat komunikasi terbaik
dengan masyarakat," katanya.
Nada keberatan yang sama juga datang dari Asad Lubis, anggota
DPRD Tingkat II Medan dari F-KP. Menurut Asad, penyampaian
pendapat melalui ketua DPRD menjadikan pimpinan lembaga ini
berada di atas anggota lainnya. "Padahal menurut tata tertib,
ketua DPRD itu bukan atasan anggotanya," ujarnya.
Menurut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD.
Dan kepala daerah menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban
pimpinan pemerintah daerah. DPRD mempunyai tata terib yang
mengatur pelaksanaan hak dan kewajibannya. Namun dalam Tata
Tertib DPRD Medan tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai hak
anggota memberi pernyataan pers.
Di luar kebiasaannya, Gubernur Tambunan tak bersedia menjelaskan
secara panjang lebar mengenai latar belakang surat edarannya.
Edaran itu, katanya, hanya untuk mengingatkan kembali anggota
DPRD agar patuh dengan peraturan yang berlaku. "Dalam surat
edaran itu saya tidak ada melarang mereka berbicara," katanya
pekan lalu. Untuk penjelasan lebih lanjut, "silakan hubungi
humas."
Amir Husin Nasution, kepala Humas Kantor Gubernur, menjelaskan:
sura edaran itu terpaksa dikeluarkan "karena sudah terlalu
banyak pernyataan yang menyimpang dari kebijaksanaan Pemda."
Tapi dia tak ingat lagi pernyataan yang mana saja. "Pokoknya
banyak," katanya singkat.
Dalam beberapa kesempatan, kata Amir Husin, Gubernur Tambunan
sudah berkali-kali mengingatkan anggota DPRD dalam memberikan
pernyataan agar selaras dengan kebijaksanaan Pemda. Bahkan
Tambunan pernah menegur ketua DPRD Medan, H.B. Hutasuhut, karena
sikap anggota dewan yang dianggapnya "galak".
Para anggota DPRD provinsi lain ternyata tak sesial rekan mereka
di Sum-Ut. "Selama ini di Jawa Timur belum pernah ada edaran
seperti itu," kata Soetam Soekarno, anggota DPRD Tingkat I
Ja-Tim dari F-PDI. Menurut dia, hubungan DPRD dan Pemda di
Ja-Tim selalu baik. "Boleh saja anggota DPRD bicara, selama
masalahnya menyangkut rakyat," ujarnya Namun para anggota dewan
membatasi dirl. Misalnya kalau yang akan dibicarakan itu
menyangkut penilaian masyarakat terhadap dewan, seyogyanya ketua
dewan yang berbicara. "Tapi itu juga tidak berbentuk peraturan,"
tambahnya.
Di Jawa Barat begitu juga. "Tak ada larangan bagi anggota DPRD
Jawa Barat untuk berbicara dengan pers," kata Yusacc S.A.,
kepala Humas Pemda Ja-Bar. "Soalnya para anggota dianggap telah
mengetahui etika berbicara dengan pers, atas nama pribadi,
fraksi atau komisi," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini